Kakek saya pernah becerita dulu ketika perang mempertahankan kemerdekaan. Dia bersama para pemuda dikumpulkan oleh guru mengaji untuk ikut berjihad mempertahankan kemerdekaan. Regu dibentuk dan masing masing regu dipimpin oleh kepala regu. Kepala regu ini dipilih dari murid mengaji yang paling pintar dan paling paham soal Al-Quran dan Hadith. Cerita berikutnya, ketika dalam perang gerilya mereka dikejar oleh tentara Belanda. Sampailah mereka didepan sungai Batanghari. Sementara dibelakang Tentara Belanda terus mengejar sambil melepaskan tembakan. Bila mereka tidak menyeberangi sungai maka mereka harus menghadapi tentara belanda yang bersenjata lengkap. Sementara dipinggir sungai itu terdapat buaya yang sedang berjejer. Bila menyeberang maka resiko dimakan buaya.Tidak menyembrang sungai maka akan dihantam senjata Belanda. Mereka dalam situasi kritis,terpojok. Mereka bingung.
Kemudian kakek saya melanjutkan, Kalau mundur, taktik grilya masih bisa diterapkan untuk menghancurkan belanda, Tapi kalau maju, kandaslah. Karena harus menghadapi senjata mesin belanda sementara mereka hanya bersenjatakan ala kadarnya. Tapi bila menyebrangi sungai , ada buaya. Ketika itulah ketua regu berkata kepada mereka. “Seberangi sungai dan bacalah salawat Nabi”. Dengan patuh mereka membaca salawat Nabi, dan terus menyeberangi sungai. Kakek saya menggambarkan betapa buaya itu sempat menghindar ketika mereka masuk kedalam sungai.
Dalam operasi grilya berikutnya, mereka berhasil membebaskan ketua regunya dari tahanan Belanda namun dalam kondisi lumpuh dan buta akibat disiksa oleh tentara Belanda. Cerita ini selalu diulang oleh kakek saya. Saya tahu kakek saya ingin menegaskan bahwa bukan banyak ilmu agama yang perlu kamu kejar tapi keyakinan yang harus kamu kejar. Sedikit ilmu tapi diyakini dengan seyakinnya maka itu lebih baik daripada banyak ilmu tapi membuat kamu bingung.
Kalau ingin tahu tingkat keimanan orang , maka lihatlah ketika dia diuji. Orang banyak sabar ketika diuji dalam kesulitan dan penderitaan tapi tak banyak orang tahan ketika mendapatkan limpahan harta dan kekuasaan. Keimanan itu tidak akan bernilai dihadapan Allah sebelum di uji. Ilmu agama boleh tinggi. Tapi soal keyakinan harus dipahami dengan hati. Menjauhkan akal kecuali menyelaminya dengan hati. Lewat hati kehadiran Allah dirasakan dan aqidah tertanam kedalam qalbu untuk berbuat karena Allah. Tak penting apakah dia dalam keadaan lapang maupun sempit, longgar maupun kepepet, bebas maupun terpojok, dia akan tetap mengutamakan Allah diatas segala galanya. Baginya sebagaimana sabda Rasul “ Sungguh sangat menakjubkan urusan seorang mukmin, karena segala urusannya adalah berupa kebaikan. Dan tidaklah didapatkan keadaan yang seperti ini kecuali pada diri seorang mukmin saja. Ketika dia mendapatkan kebahagiaan, dia segera bersyukur. Maka itu menjadi kebaikan baginya. Dan ketika dia mendapatkan kesusahan dia bersabar. Maka itu menjadi kebaikan baginya.” (HR. Muslim dari shahabat Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu)
Ya, siapapun kita akan mendapatkan ujian dari Allah. Apapun bentuknya tak lain sebagai bentuk menghilangkan “aku “ kecuali Allah. Pada momen dimana kita harus melepaskan sesuatu yang pada waktu bersamaan kita sangat menginginkannya. Mengambil sesuatu yang pada waktu bersamaan kita sangat tidak menyukainya. Pada momen inilah tak banyak orang siap untuk disebut beriman. Karena terjebak dengan akal nafsunya dan kadang iblis mencoba mencerahkan dengan berbagai dalil AL Quran dan Hadith yang dipaksakan, yang sehingga lupa hakikat tentang kecintaan kepada Allah bukanlah hal yang mudah dan murah(QS,Al Anbiya: 35)
No comments:
Post a Comment