Sunday, August 01, 2010

Boros , culas dan melelahkan

Islam adalah agama untuk orang yang suka berjamaah. Sebaik baiknya sholat adalah berjamaah yang dipimpin oleh Imam. Imam ini dipilih bukan karena kedudukannya , hartanya tapi karena kualitas aqidahnya serta penguasaan agama dengan baik , tentu bacaannya pasti juga baik. Dalam budaya masyarakat Indonesia , system ini tidak pernah ditentang karena hampir semua budaya dari seluruh suku di Indonesia mengenal istilah imam. Budaya kita mengenal apa yang disebut dengan “orang yang dituakan” Tempat masyarakat bertanya dan mendapatkan pituah serta menjadi pemimpin ( imam) dalam bermusyawarah. Ketika islam diperkenalkan , inline dengan budaya itu sendiri hingga tak dipertentangkan ketika agama mengatur dan adat (budaya ) memakai ain. Dalam keseharian Islam di Indonesia akan sangat berbeda coraknya dengan Islam di Arab itu sendiri tapi esensinya tetap sama.

Ketika orang barat berpikir mengenai masyarakat bebas dan demokratis mereka berpikir tentang structur horisontal, tempat individu memiliki hak pilih setara dan secara berkala memilih pemimpin mereka. Sebagian besar system demokrasi Barat mengacu seperti ini. Namun bagaimana ada cara yang sama sekali berbeda dalam memandang kebebasan dan demokrasi, yang berasal dari warisan budaya berbeda serta cara pandang berbeda terhadap masyarakat dan dunia ? Bagaimana demokrasi tersebut vertikal , bukannya horizontal ? Islam punya princip dasar bahwa semua orang dilahirkan saling terhubung satu sama lain dan setiap individu adalah bagian dari keseluruhan. Harmoni dengan orang lain adalah kunci hidup di tengah masyarakat kita. Akuntabilitas personal tak sepenting kualitas ( akhlak ) hubungan kita dengan orang disekitar kita

Dalam hubungan tesebut diatas, kehidupan masyarakat tidak dijalankan oleh kelompok atau partai yang saling bersaing untuk mencapai tujuan., tapi melalui musyawarah dengan proses top down dan bottom up. Para Wali ketika menyiarkan agama tidak merubah budaya yang sudah ada tapi meluruskannya sesuai dengan aqidah islam. Wali bermusyawarah ketika menetapkan ajaran islam agat tidak merusak budaya lokal. Apa yang terjadi , orang tidak lagi melihat budaya sebagai tempat bersandar atau raja tempat bernaung tapi Islam itu sendiri tujuan hidup mereka. Menurut saya Islam tidak mempersoalkan seperti apa model suatu pemerintahan. Ini hanya cara akal manusia untuk berbuat yang lebih baik menurut mereka. Karena islam tidak menempatkan kepemimpinan berdasakan simbol atau institusi tapi kepada aqidah. Agar aqidah ini dapat tegak maka diperlukan kepemimpinan secara vertikal. Imam selalu ada didepan ketika memimpin sholat dan tidak boleh satupun membangkang kecuali Imam melakukan kesalahan atau batal demi rukun sholat.

Kepemimpinan vertikal ini bukan berfocus untuk lahirnya diktator dalam bentuk presidentil atau otokratis. Bukan!. Tapi sekali lagi kepemimpinan yang mengikuti aturan yang tetap. Jadi kekuasan itu ada bukan kepada kedudukan seseorang tapi lebih kepada ketaatan kepada aturan itu sendiri. Dimata Barat, justifikasi pemimpin sebuah bangsa tegak atau jatuh terrantung siapa yang dipilih. Dalam islam, justifikasi itu lebih ditentukan oleh pencapaian ( keteladanan positip atau akhlak ). Bila pemimpinnya memberikan keteladanan yang baik , jujur, kerja keras, cerdas dan amanah maka bangsa itu akan kuat dan bila pemimpinnya culas korup maka bangsa itu akan hancur /jatuh. Kalau system demokrasi barat ada istilah, andai setan mendapatkan mayoritas suara maka dia akan terpilih menjadi pemimpin. Citra apapun harus di create untuk menjadi pemenang walau harus membayar suara. Tapi dalam islam, setan atau siapa yang bermoral rendah, secara sistem akan jatuh dengan sendirinya. Hukum moral dalam islam lebih besar daripada hukum tertulis.

Hukum moral ini diajarkan dalam Islam dengan mendominasi hampir sebagian besar ajaran Islam. Tapi dengan adanya sistem demokrasi liberal di Indonesia kini, maka sebetulnya kita telah keluar dari tata nilai kita sendiri. Masyarakat yang lebih banyak diatur dalam hukum moral yang mengutamakan musyawarah untuk mencapai tujuan,kini dihadapkan oleh system dimana hukum moral tak lagi dilihat. Semua hal terikat dengan standard hukum tertulis dan semuanya menjadi procedural. Tak penting karena itu esensi moral diabaikan. Akibatnya, apa yang kita rasakan bahwa kepempinan itu menjadi barang dagangan bukan lagi proses keteladanan yang diuji berdasarkan hukum moral dimasyarakat. Sistem Pilpres, Pilkada sangat bertolak belakang dengan budaya kita dan sangat sulit untuk diterima sebagai sistem yang menentramkan dan murah. Ia boros, culas dan melelahkan.

Mengapa tidak kembali kepada esensi agama kita, dimana UUD 45 sebelum diamandemen dan Pancasila sudah menjabarkannya dengan indah...bahwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan...Artinya pemimpin itu dipilih oleh orang orang yang hikmat ( adil ) dan bijaksana ( terdidik baik dan bermoral baik ) bukan dipilih langsung oleh rakyat yang bodoh dan mudah dibeli dengan uang receh...

Pria minang...

  Orang tua saya mengingatkan saya, “ Kalau hanya sekedar makan untuk mu dan keluargamu, monyet di hutan juga begitu.” Kata orang tua saya. ...