Ketika yang kalah kecewa maka rasa tidak suka pada yang menangpun terbentuk. Biasanya rasa kecewa itu semakin membukit dan menimbulkan amarah. Inilah sifat dasar kekanak kanakan, yang lebih mengedepankan emosi kepentingan bukan kesadaran. Budaya politik kita memang tidak lebih sama seperti itu. Makanya tidak aneh bila Gus Dur sempat melontar kata kata jenakanya dengan menyebut anggota DPR adalah taman kanak. Dalam konteks budaya kepemimpinan , yang kalah selalu membenci yang menang. Sulit sekali melihat ada tergur sapa antara president yang baru terpilih dengan yang mantan president. Lihatlah, Soekarno tidak bertegur sapa dengan Soeharto, Soeharto tidak bertegur sapa dengan Habibie, Habibie tidak bertegur sapa dengan Gus Dur, Gus Dur tidak bertegus sapa dengan Megawati, Megawati tidak bertegur sapa dengan SBY.
Dari sikap ini jelas sekali kita bertanya, mengapa kekalahan adalah kekecewaan? Apakah mungkin menganggap “ sayalah yang terbaik dan pantas memimpin , bukan orang lain”. Atau karena kekuasaan adalah sumber nafkah yang aman dan mudah sehingga harus dipertahankan. Sama seperti para petualang yang berebut memburu harta karun. Yang kuat ,yang menang. Yang kalah tentu kecewa. Kita tidak tahu sebetulnya ada apa dibalik kecewa dan marah sehingga terputusnya silahturahmi. Padahal senyatanya ketika mereka berkuasa tidak ada satupun prestasi yang patut dicatat tinta emas oleh sejarah, kecuali deretan kekecewaan rakyat karena janji yang tak kunjung terbayar.
Dari budaya inilah yang mewarnai kehidupan social politik kita. Mencapai puncaknya arogansi kekuatan kelompok dan golongan ketika masuk era multi partai. Demokrasi liberal bergerak dengan berbagai bendera, tentu dengan berbagai jargon. Tidak jelas apa yang mereka perjuangkan. Yang pasti ukhuah islamiah menjadi kabur. “Kita berbeda dan kita saling berhadapan untuk menentukan siapa yang kuat.” Kita membayangkan suatu sikap kejujuran berpolitik yang dapat berbicara dengan nurani dan kemudian melihat orang lain dengan objective. Sehingga kalau ada yang lebih mampu dan berkualitas, maka tidak ada salahnya untuk didukung. Keliatannya bayangin ini jauh panggang dari api.
Ketahuilah bahwa kehidupan negeri ini tidak akan selesai bila budaya politik tidak dirubah. Kita merindukan suatu budaya dimana kepentingan golongan dan pribadi sudah tidak ada lagi maka kebersamaan menjadi sacral untuk dibela sampai mati. Maka masyarakat sejahtera bukan lagi illusi. Ini sudah dibuktikan dalam sejarah rasul. Betapa kelompok Ansyar dan Muhajirin berangkulan satu sama lain. Mereka menyattu karena Allah dan berbuat karena mengejar keridhoan Allah. Seperti Firman Allah “ ..dan mereka mengutamakan kepentingan orang lain atas diri mereka sendiri sekalipun pada waktu bersamaan mereka sangat memerlukannya. ( QS, AL –Hasyr ( 59): 9). Sifat seperti inilah yang membuat sifat iri dengki dan kecewa tergantikan dengan kasih sayang dan ketulusan. Diantara mereka saling berbagi dan mengasihi. Apalagi Rasullah bersabda “ sebaik baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain”
Lihatlah bila kebersamaan menjadi ruh dalam kehidupan bermasyarakat , maka soerang Hakim bernama Umar Bin Khaththab menganggap kedudukan hakim tidak diperlukan lagi untuk menciptakan keadilan. Mengapa ? inilah alasan yang disampaikannya kepada Khalifah Abu Bakar “ Rakyat sudah tahu haknya masing masing sehingga tidak ada yang menuntut lebih dari haknnya. Mereka juga sudah tahu kewajbannya sehingga tidak seorang pun yang merasa perlu menguranginya. Mereka satu sama lain saling mencitai seperti mereka mencintai dirinya sendiri. Saling menjenguk kepada sisakit, Saling membantu kepada yang lemah. Saling berduka bila ada yang terkena musibah. Agama mereka adalah nasihat. Akhlak mereka adalah amar ma’ruf nahi munkar. Karena itulah tidak ada alasan mereka untuk saling bertengkar, kecewa dan tak bertegur sapa.
Benarlah , bahwa semua yang salah karena lahir dari masyarakat yang sakit. Tidak akan mungkin dapat dilahirkan pemimpin yang sehat ditengah masyarakat yang sakit. Hanya masyarakat agamais yang dapat memilih pemimpin yang jujur dan berkualitas amanah untuk kejayaan bangsa. Bukan masyarakat materialistis dan individualis.
Dari sikap ini jelas sekali kita bertanya, mengapa kekalahan adalah kekecewaan? Apakah mungkin menganggap “ sayalah yang terbaik dan pantas memimpin , bukan orang lain”. Atau karena kekuasaan adalah sumber nafkah yang aman dan mudah sehingga harus dipertahankan. Sama seperti para petualang yang berebut memburu harta karun. Yang kuat ,yang menang. Yang kalah tentu kecewa. Kita tidak tahu sebetulnya ada apa dibalik kecewa dan marah sehingga terputusnya silahturahmi. Padahal senyatanya ketika mereka berkuasa tidak ada satupun prestasi yang patut dicatat tinta emas oleh sejarah, kecuali deretan kekecewaan rakyat karena janji yang tak kunjung terbayar.
Dari budaya inilah yang mewarnai kehidupan social politik kita. Mencapai puncaknya arogansi kekuatan kelompok dan golongan ketika masuk era multi partai. Demokrasi liberal bergerak dengan berbagai bendera, tentu dengan berbagai jargon. Tidak jelas apa yang mereka perjuangkan. Yang pasti ukhuah islamiah menjadi kabur. “Kita berbeda dan kita saling berhadapan untuk menentukan siapa yang kuat.” Kita membayangkan suatu sikap kejujuran berpolitik yang dapat berbicara dengan nurani dan kemudian melihat orang lain dengan objective. Sehingga kalau ada yang lebih mampu dan berkualitas, maka tidak ada salahnya untuk didukung. Keliatannya bayangin ini jauh panggang dari api.
Ketahuilah bahwa kehidupan negeri ini tidak akan selesai bila budaya politik tidak dirubah. Kita merindukan suatu budaya dimana kepentingan golongan dan pribadi sudah tidak ada lagi maka kebersamaan menjadi sacral untuk dibela sampai mati. Maka masyarakat sejahtera bukan lagi illusi. Ini sudah dibuktikan dalam sejarah rasul. Betapa kelompok Ansyar dan Muhajirin berangkulan satu sama lain. Mereka menyattu karena Allah dan berbuat karena mengejar keridhoan Allah. Seperti Firman Allah “ ..dan mereka mengutamakan kepentingan orang lain atas diri mereka sendiri sekalipun pada waktu bersamaan mereka sangat memerlukannya. ( QS, AL –Hasyr ( 59): 9). Sifat seperti inilah yang membuat sifat iri dengki dan kecewa tergantikan dengan kasih sayang dan ketulusan. Diantara mereka saling berbagi dan mengasihi. Apalagi Rasullah bersabda “ sebaik baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain”
Lihatlah bila kebersamaan menjadi ruh dalam kehidupan bermasyarakat , maka soerang Hakim bernama Umar Bin Khaththab menganggap kedudukan hakim tidak diperlukan lagi untuk menciptakan keadilan. Mengapa ? inilah alasan yang disampaikannya kepada Khalifah Abu Bakar “ Rakyat sudah tahu haknya masing masing sehingga tidak ada yang menuntut lebih dari haknnya. Mereka juga sudah tahu kewajbannya sehingga tidak seorang pun yang merasa perlu menguranginya. Mereka satu sama lain saling mencitai seperti mereka mencintai dirinya sendiri. Saling menjenguk kepada sisakit, Saling membantu kepada yang lemah. Saling berduka bila ada yang terkena musibah. Agama mereka adalah nasihat. Akhlak mereka adalah amar ma’ruf nahi munkar. Karena itulah tidak ada alasan mereka untuk saling bertengkar, kecewa dan tak bertegur sapa.
Benarlah , bahwa semua yang salah karena lahir dari masyarakat yang sakit. Tidak akan mungkin dapat dilahirkan pemimpin yang sehat ditengah masyarakat yang sakit. Hanya masyarakat agamais yang dapat memilih pemimpin yang jujur dan berkualitas amanah untuk kejayaan bangsa. Bukan masyarakat materialistis dan individualis.
No comments:
Post a Comment