Kemarin sempat ketemu dengan teman lama di depan gedung HSBC premiere Office di Central, Hong Kong. Teman ini nampak gagah sekali dengan setelah jas mahal. Usianya masih belum 40 tahun. Tapi rasa percaya dirinya tinggi sekali ketika berbicara tentang bisnis yang sedang digelutinya. Dia bicara tentang “Business value” atau tepatnya meningkatkan value asset perusahaan melalui perbaikan structure permodalan perusahaan. Dia bercerita tentang berbagai strategy investment value melalui perbaikan management system dll. Menurut saya apa yang sedang dia lakukan tidak memerlukan keahlian banyak. Ungkapan yang dia sampaikan tidak lebih hanya untuk mengaburkan business dia sebenarnya. Apa itu. Memanfaatkan kelemahan structural perusahaan orang lain dan mendapatkan yield melalui pasar modal.
Memang business seperti ini haruslah didukung oleh financial network yang kuat dan sumber informasi yang terpercaya dari orang dalam bank yang sedang menangani nasabah yang kesulitan meningkatkan pinjaman karena terbentur oleh masalah DER ( debt to equity ratio). Sesuai ketentuan dari system risk management maka bank tidak dibenarkan memberikan kredit bila perbandingan hutang dan modal (DER) diatas ambang batas. Kalau sampai bank melanggar ketentuan ini maka BI langsung menetapkan posisi pinjaman itu sebagai NPL. Tentu akan mengurangi tingkat kesehatan bank dihadapan otoritas.Inilah yang menjadi inti business dari teman ini. Berdasarkan informasi dari dalam bank, teman ini diperkenalkan sebagai investor yang akan memberikan bantuan permodalan kepada nasabah. Singkat cerita setelah melalui proses jual beli saham tertutup maka jadilah nasabah itu dalam kondisi DER yang sehat. Tak berapa lama kemudian , maka bank kembali mengucurkan kredit kepada nasabah tersebut tapi kepemilikan perusahaan mayoritas sahamnya sudah dikuasai oleh teman ini.
Tentu yang menjadi target perburuan sebagai calon perusahaan yang akan diambil alih sahamnya adalah perusahaan yang secara business sehat namun karena tingginya permintaan pasar karena keunggulan product dan technology atau dukungan resource lainnya maka perusahaan mengalami kesulitan liquiditas untuk mendukung permintaan tersebut. Sementara untuk menambah hutang di bank sudah tidak mungkin karena factor DER. Pada posisi inilah teman ini datang sebagai juru selamat memberikan solusi. Tapi sebetulnya adalah perampokan cara halus. Inilah system kapitalis dimana pemilik modal tidak pernah mengambil resiko sebagai vionir. Mereka hanya diam dan memperhatikan siapa yang lolos dari pertarungan menghadapi resiko , kemudian melakukan konspirasi dengan pihak bank untuk pengambil alihan. Selama menanti itu, mereka tidak rugi sama sekali karena uangnya dibank terus bertambah karena bunga yang tinggi.
Setelah perusahaan diambil alih dan sehat, memungkinkan bank memberikan kucuran kredit kembali sesuai ambang batas DER yagn ada. Strategy terus dikembangkan untuk meningkatkan value perusahaan melalui aliansi dengan mitra strategis atau berbagai hal yang memungkinkan perusahaan nampak indah dipandang dari luar. Permainan akuntasipun dibuat sedemikian indahnya berkat dukungan akuntan bayaran. Maka selanjutnya perusahaanpun diizinkan masuk kebursa. Pada saat itulah investor mendapatkan yield dari value saham. Soal berapa value yang akan diperoleh bukanlah masalah sulit bagi pemain business seperti ini. Mereka dapat saja menempatkan credit enhancement kedalam perusahaan sehingga nampak neraca perusahaan sangat solid dan pantas mendaptkan yield yang diinginkan pada harga perdana.
Apakah setelah perusahaan masuk ke bursa lantas urusan menggali yield berhenti. Tidak. Structure permodalan semakin membaik karena masuknya investor public maka kembali bank pun dirayu untuk mengucurkan dana kredit kepada perusahaan. Data dari survei INBRA bulan Maret 2007 tentang kredit perbankan ke perusahaan publik, tercatat sebesar Rp 115 triliun atau setara 30 persen dari total kredit perbankan yang disalurkan ke dunia usaha swasta juga diserap oleh 261 perusahaan publik tidak termasuk jasa keuangan. Begitulah seterusnya. Sepanjang upaya ini berjalan didalam system yang benar dan transfarance tentu tidak ada masalah. Tapi fakta dilapangan dan banyak terjadi diluar negeri justru sebagian besar perusahaan emiten terjebak dalam management illusi untuk hanya sekedar menjaga performance balance sheet dihadapan otoritas dan public. Biasanya ketika terjadi masalah, semua sudah terlambat. Sementara creator dibalik permainan ini tidak pernah menjadi korban. Mereka tahu kapan masuk dan kapan harus keluar.Tetap saja public yang akan menjadi korban.
Sudah saatnya negeri ini mempunyai lembaga pembiayaan yang kuat. Sudah saatnya sumber pembiayaan dari bank tidak lagi menjadi satu satunya resource. Lembaga venture capital harus lebih diberdayakan agar entrepreneurship dapat berkembang secara sehat melalui system kelembagan keuangan yang sehat. Sehingga bila pada giliranya masuk ke bursapun dalam kondisi sehat lahir batin. Jauh dari creator yang hanya mengandalkan yield tanpa peduli dengan masa depan perusahaan. Maka tujuan ideal pasar modal sebagai spread ownership dapat terjelma.
Memang business seperti ini haruslah didukung oleh financial network yang kuat dan sumber informasi yang terpercaya dari orang dalam bank yang sedang menangani nasabah yang kesulitan meningkatkan pinjaman karena terbentur oleh masalah DER ( debt to equity ratio). Sesuai ketentuan dari system risk management maka bank tidak dibenarkan memberikan kredit bila perbandingan hutang dan modal (DER) diatas ambang batas. Kalau sampai bank melanggar ketentuan ini maka BI langsung menetapkan posisi pinjaman itu sebagai NPL. Tentu akan mengurangi tingkat kesehatan bank dihadapan otoritas.Inilah yang menjadi inti business dari teman ini. Berdasarkan informasi dari dalam bank, teman ini diperkenalkan sebagai investor yang akan memberikan bantuan permodalan kepada nasabah. Singkat cerita setelah melalui proses jual beli saham tertutup maka jadilah nasabah itu dalam kondisi DER yang sehat. Tak berapa lama kemudian , maka bank kembali mengucurkan kredit kepada nasabah tersebut tapi kepemilikan perusahaan mayoritas sahamnya sudah dikuasai oleh teman ini.
Tentu yang menjadi target perburuan sebagai calon perusahaan yang akan diambil alih sahamnya adalah perusahaan yang secara business sehat namun karena tingginya permintaan pasar karena keunggulan product dan technology atau dukungan resource lainnya maka perusahaan mengalami kesulitan liquiditas untuk mendukung permintaan tersebut. Sementara untuk menambah hutang di bank sudah tidak mungkin karena factor DER. Pada posisi inilah teman ini datang sebagai juru selamat memberikan solusi. Tapi sebetulnya adalah perampokan cara halus. Inilah system kapitalis dimana pemilik modal tidak pernah mengambil resiko sebagai vionir. Mereka hanya diam dan memperhatikan siapa yang lolos dari pertarungan menghadapi resiko , kemudian melakukan konspirasi dengan pihak bank untuk pengambil alihan. Selama menanti itu, mereka tidak rugi sama sekali karena uangnya dibank terus bertambah karena bunga yang tinggi.
Setelah perusahaan diambil alih dan sehat, memungkinkan bank memberikan kucuran kredit kembali sesuai ambang batas DER yagn ada. Strategy terus dikembangkan untuk meningkatkan value perusahaan melalui aliansi dengan mitra strategis atau berbagai hal yang memungkinkan perusahaan nampak indah dipandang dari luar. Permainan akuntasipun dibuat sedemikian indahnya berkat dukungan akuntan bayaran. Maka selanjutnya perusahaanpun diizinkan masuk kebursa. Pada saat itulah investor mendapatkan yield dari value saham. Soal berapa value yang akan diperoleh bukanlah masalah sulit bagi pemain business seperti ini. Mereka dapat saja menempatkan credit enhancement kedalam perusahaan sehingga nampak neraca perusahaan sangat solid dan pantas mendaptkan yield yang diinginkan pada harga perdana.
Apakah setelah perusahaan masuk ke bursa lantas urusan menggali yield berhenti. Tidak. Structure permodalan semakin membaik karena masuknya investor public maka kembali bank pun dirayu untuk mengucurkan dana kredit kepada perusahaan. Data dari survei INBRA bulan Maret 2007 tentang kredit perbankan ke perusahaan publik, tercatat sebesar Rp 115 triliun atau setara 30 persen dari total kredit perbankan yang disalurkan ke dunia usaha swasta juga diserap oleh 261 perusahaan publik tidak termasuk jasa keuangan. Begitulah seterusnya. Sepanjang upaya ini berjalan didalam system yang benar dan transfarance tentu tidak ada masalah. Tapi fakta dilapangan dan banyak terjadi diluar negeri justru sebagian besar perusahaan emiten terjebak dalam management illusi untuk hanya sekedar menjaga performance balance sheet dihadapan otoritas dan public. Biasanya ketika terjadi masalah, semua sudah terlambat. Sementara creator dibalik permainan ini tidak pernah menjadi korban. Mereka tahu kapan masuk dan kapan harus keluar.Tetap saja public yang akan menjadi korban.
Sudah saatnya negeri ini mempunyai lembaga pembiayaan yang kuat. Sudah saatnya sumber pembiayaan dari bank tidak lagi menjadi satu satunya resource. Lembaga venture capital harus lebih diberdayakan agar entrepreneurship dapat berkembang secara sehat melalui system kelembagan keuangan yang sehat. Sehingga bila pada giliranya masuk ke bursapun dalam kondisi sehat lahir batin. Jauh dari creator yang hanya mengandalkan yield tanpa peduli dengan masa depan perusahaan. Maka tujuan ideal pasar modal sebagai spread ownership dapat terjelma.
No comments:
Post a Comment