Disuatu sudut jalan , sang anak jalanan meringis bersandar didinding halte bus. Usianya mungkin belum genap 10 tahun tapi sudah merasakan kepedihan yang teramat sangat. Dari kepalanya mengucur darah segar dan menutupi hampir setengah wajahnya. Anak itu tidak menangis. Matanya memancar marah namun tak berdaya. Dia baru saja berkelahi mempertahankan uang disakunya yang akan dirampas oleh preman dewasa. Uang tetap lepas dari tangannya namun dia sudah tampil sebagai petarung gagah berani ditengah rimba ibu kota. Kelak bila dewasa anak ini akan terlatih menghadapi kekerasan dan akan menjadikan itu untuk bertahan hidup. Tidak ada bedanya dengan sekelompok mahasiwa IPDN/STPDN Jawa Barat yang tak berdaya ditangan seniornya. Mereka dipaksa kalah oleh arogansi para senior. Kekalahan yang harus dibayar dengan sepak dan pukulan , yang kadang berakhir dengan kematian. Kelak , para pradja ini akan tampil sebagai pemimpin kota yang akan menularkan sikap keras itu dengan menindas rakyat kecil. Menggusur pedagang kaki lima. Menggaruk tunawisma dan semua dilakukan tentu dengan kekerasan dan kekerasan.
Kekerasan dalam bentuk paling primitip adalah dengan cara memukul dengan kepalan tangan atau senjata tajam. Kekerasan seperti ini hanya menimbulkan korban terbatas. Apapun alasannya , kekerasan itu muncul tidak lebih sosok dari naluri binatang untuk mempertahankan hidup. Namun ada juga kekerasan yang sistematis dan berdampak sangat luas. Adalah kebijakan pemerintah dari penguasa korup. Kekerasan ini tidak nampak dalam kacamata primitip namun dapat dirasakan dengan semakin langkanya kesempatan kerja, rusaknya lingkungan, rendanya akses rakyat kepada dukungan sosial , penggusuran tempat usaha bagi rakyat kecil dengan alasan ketertiban, rendahnya nilai tukar produk pertanian, lemahnya posisi tawar buruh dihadapan majikan, dan seterarusnya seterusnya. Kita menonton suatu drama kehidupan dimana yang kuat menindas yang lemah. Keadaan ini berlangsung dari abad keabad.
Pembodohan melalui kemiskinan rakyat adalah satu cara efektif membuat penguasa tetap berkuasa. Penguasa itu adalah komunitas terbatas yang tahu bagaimana hidup senang dari kebodohan dan kelemahan orang banyak. Seakan dunia terjerembab dalam cermin yang salah. Cermin dari filsup Darwin yang membenarkan hidup bukanlah tempat yang nyaman bagi si lemah. Dalam bukunya The Origin of Species by Means of Natural Selection or the Preservation of Favoured Races in the Struggle for live. Salah satu pernyataan terpenting teori evolusi adalah "perjuangan untuk mempertahankan hidup" sebagai pendorong utama terjadinya perkembangan makhluk hidup di alam. Menurut Darwin, di alam terjadi perkelahian tanpa mengenal belas kasih demi mempertahankan hidup, ini adalah sebuah pertikaian abadi. Yang kuat selalu mengalahkan yang lemah. Thomas Malthus , juga memberikan penguatan tentang ini melalui teori tentang ” principle of population. Teori ini membenarkan bila kelompok yang kuat harus menindas yang lemah. Ini adaalah hukum alam yang tak dapat dihindarkan. Orang bodoh dimakan orang pintar.
Sebagaimana pemikiran Politikus pada paruh pertama abad ke-19, di seluruh Eropa, mereka membicarakan "masalah kependudukan" yang baru ditemukan, dan untuk merumuskan cara menerapkan anjuran Malthus untuk meningkatkan laju kematian orang-orang miskin: "Sebagai ganti ajakan hidup bersih kepada orang-orang miskin, kita harus menganjurkan kebiasaan hidup yang sebaliknya. Di kota-kota kita, kita hendaknya menjadikan jalanan semakin sempit, menjejali lebih banyak orang yang tinggal dalam rumah kumuh, dan mendorong munculnya kembali wabah penyakit. Di negeri ini kita harus membangun desa-desa di dekat tempat genangan air, dan secara khusus menganjurkan pemukiman di semua tempat basah rentan banjir dan tidak sehat," dan seterusnya, dan seterusnya...Seakan inilah menjadi lawan sejati dari kelompok agamais. Yang menginginkan kesetaraan, kemerdekaan untuk mencapai perdamaian dimuka bumi. Pertarungan antara yang benar dan salah atau antara YIN dan YANG.
Kekerasan dalam bentuk paling primitip adalah dengan cara memukul dengan kepalan tangan atau senjata tajam. Kekerasan seperti ini hanya menimbulkan korban terbatas. Apapun alasannya , kekerasan itu muncul tidak lebih sosok dari naluri binatang untuk mempertahankan hidup. Namun ada juga kekerasan yang sistematis dan berdampak sangat luas. Adalah kebijakan pemerintah dari penguasa korup. Kekerasan ini tidak nampak dalam kacamata primitip namun dapat dirasakan dengan semakin langkanya kesempatan kerja, rusaknya lingkungan, rendanya akses rakyat kepada dukungan sosial , penggusuran tempat usaha bagi rakyat kecil dengan alasan ketertiban, rendahnya nilai tukar produk pertanian, lemahnya posisi tawar buruh dihadapan majikan, dan seterarusnya seterusnya. Kita menonton suatu drama kehidupan dimana yang kuat menindas yang lemah. Keadaan ini berlangsung dari abad keabad.
Pembodohan melalui kemiskinan rakyat adalah satu cara efektif membuat penguasa tetap berkuasa. Penguasa itu adalah komunitas terbatas yang tahu bagaimana hidup senang dari kebodohan dan kelemahan orang banyak. Seakan dunia terjerembab dalam cermin yang salah. Cermin dari filsup Darwin yang membenarkan hidup bukanlah tempat yang nyaman bagi si lemah. Dalam bukunya The Origin of Species by Means of Natural Selection or the Preservation of Favoured Races in the Struggle for live. Salah satu pernyataan terpenting teori evolusi adalah "perjuangan untuk mempertahankan hidup" sebagai pendorong utama terjadinya perkembangan makhluk hidup di alam. Menurut Darwin, di alam terjadi perkelahian tanpa mengenal belas kasih demi mempertahankan hidup, ini adalah sebuah pertikaian abadi. Yang kuat selalu mengalahkan yang lemah. Thomas Malthus , juga memberikan penguatan tentang ini melalui teori tentang ” principle of population. Teori ini membenarkan bila kelompok yang kuat harus menindas yang lemah. Ini adaalah hukum alam yang tak dapat dihindarkan. Orang bodoh dimakan orang pintar.
Sebagaimana pemikiran Politikus pada paruh pertama abad ke-19, di seluruh Eropa, mereka membicarakan "masalah kependudukan" yang baru ditemukan, dan untuk merumuskan cara menerapkan anjuran Malthus untuk meningkatkan laju kematian orang-orang miskin: "Sebagai ganti ajakan hidup bersih kepada orang-orang miskin, kita harus menganjurkan kebiasaan hidup yang sebaliknya. Di kota-kota kita, kita hendaknya menjadikan jalanan semakin sempit, menjejali lebih banyak orang yang tinggal dalam rumah kumuh, dan mendorong munculnya kembali wabah penyakit. Di negeri ini kita harus membangun desa-desa di dekat tempat genangan air, dan secara khusus menganjurkan pemukiman di semua tempat basah rentan banjir dan tidak sehat," dan seterusnya, dan seterusnya...Seakan inilah menjadi lawan sejati dari kelompok agamais. Yang menginginkan kesetaraan, kemerdekaan untuk mencapai perdamaian dimuka bumi. Pertarungan antara yang benar dan salah atau antara YIN dan YANG.
Para agamais selelau mendengungkan tentang hidup damai dimuka bumi. Sementara kenyataan "Hidup memang tidak lagi bersahabat" ketika teori Darwin tentang gagasan "pertikaian di alam" memberikan bukti seperti adanya peperangan dengan mengatas-namakan rasisme, Fasisme, Komunisme, dan imperialisme. Kini teori Darwinisme telah dikemas dalam bentuk regulasi dan kebijakan kepada publik yang lebih santun namun tetap dilandasi keinginan golongan kuat untuk menindas orang-orang yang mereka anggap lebih lemah. Kita tidak perlu terkejut bila semakin banyak anak anak melata dijalanan dan pedagang digusur, tanah rakyat dianeksasi , lingkungan yang rusak dan tidak terjaminnya dukungan social bagi masyarakat miskin, lemahnya daya tahan hidup dan daya kompetisi petani. Karenanya sulit bagi kita kini bila harus menghentikan metode pendidikan calon pemimpin yang ada di IPDN/STPD yang mengutamakan pemahaman kekerasan sebagai cara memaksakan kehendak.
No comments:
Post a Comment