Trump ingin mengurangi defisit Anggaran. Caranya? Dia tidak naikkan pajak penghasilan. Tetapi menaikkan pajak tidak langsung atau pajak impor dan pada waktu bersamaan Trump memangkas anggaran belanja dengan menugaskan Elon Musk melaksanakannya lewat DOGE. Dengan begitu, AS bisa keluar dari defisit APBN. Begitu kebijakan ekonomi Trump dengan agenda Make American Great Again.
Tapi kalau lihat implikasinya sangat luas terutama terhadap inflasi. Sulit dipahami kalau kebijakan tarif resiprokal itu adalah kebijakan ekonomi. Maklum tarif itu pada akhirnya akan dibebankan kepada konsumen AS. Belum lagi dampak dari adanya tarif balasan dari mitra dagang AS. Yang bisa menyulitkan dunia AS yang beroperasi di luar negeri dan yang bergantung kepada supply chain kepada negara lain. Kan tidak semua AS mampu sediakan. Dunia sudah terintegrasi dalam globalisasi. Kebijakan tarif Trump itu paradox terhadap system WTO dan globalisasi.
Menurut hitungan AS bahwa Indonesia yang mengenakan tarif 64% kepada barang impor AS. Maka dikenai tarif balasan setengahnya atau 32%. Yang jadi pertanyakan adalah bagaimana hitungannya sampai ketemu angka 64%? Padahal rata rata tarif impor barang dari AS hanya berkisar 4-5%. Katanya berdasarkan rumus : defisit perdagangan AS terhadap Indonesia dibagi dengan total ekspor Indonesia ke AS. Sepertinya cocok logi. Terkesan menyederhanakan.
Karena data rincian hitungan tarif kepada negara lain lebih jelas seperti China, tarif timbal balik 34%, di samping tarif eksisting 20%, sehingga totalnya menjadi 54%. Vietnam, Tarif Tambahan (Timbal Balik): 46%. Tarif Dasar: 10%. Total Tarif: 10% + 46% = 56%. Uni Eropa. Tarif Tambahan (Timbal Balik): 20%. Tarif Dasar: 10%. Total Tarif: 10% + 20% = 30%. Inggris, Australia, Brasil. Tarif Tambahan: 10%. Tarif Dasar: 10%. Total Tarif: 10% + 10% = 20%.
Kalau memperhatikan tarif pada China, Vietnam, dan Indonesia ada tambahan perhitungan yaitu terkait dengan non tariff barrier termasuk manipulasi mata uang ( manipulate currency ). AS memang mendorong terbentuknya WTO. Namun dalam prakteknya. Banyak negara hanya melaksanakan dari sisi formal WTO itu. Sementara hambatan non tarif terus aja terjadi. Udah lama AS ingatkan negara lain untuk konsisten menjaga kesepakatan WTO. Namun negara lain selalu berdalih dengan data formal. Dan AS punya bukti data intelligent pelanggaran tarif itu.
Indonesia impor jagung dan Kedelai dari AS. Tarip impor murah. Hanya 0%. Tapi AS tahu, procedure impor itu dengan system quota. Artinya pemerintah Indonesia memberikan konsesi monopoli kepada importir. Secara tak lengsung punya bargain position dalam negosiasi harga. Petani AS tentu dirugikan. Kalau dihitung dengan tarif barrier, itu lebih 50% AS dirugikan. Dan yang miris, negara Indonesia juga engga untung. Yang untung pengusaha rente.
Sama hal nya juga, kita impor shale gas dari AS. Lagi lagi procedure impor walau monopolisi Pertamina namun dibalik itu terjadi kartel. Walau Indonesia kenakan tarif 5% untuk impor namun karena adanya kartel, harga tidak bisa bargain. Eksportir AS dirugikan. Secara tidak langsung tarif jadinya bisa lebih tinggi diatas 30%. Lagi lagi yang untung bukan pemerintah, tetapi pengusaha atau oligarki doang.
Kita terus berupaya membuat lemah kurs IDR dengan RER dibawah 100. Tujuannya agar eksportir bergairah. Bagi AS itu dianggap pelanggaran WTO dan korup dalam mengelola kurs atau terkesan manipulasi. AS merasa dirugikan adanya moneter barrier itu dan itu berdampak sulitnya industry dalam negeri AS bersaing dengan produk impor.
China memang melakukan moneter barrier tetapi itu untuk kepentingan industry padat karya. Tapi kita? yang nikmati moneter barrier adalah eksportir tambang yang nilai tradable nya rendah. Sementara Industri padat karya, tidak tumbuh malah terjadi deindustriaisasi. BI juga tidak diuntungkan. Terbukti DHE masih banyak nangkring di luar negeri. Dan akhirnya kurs IDR loss control pelemahanya. Yang korban ya industry padat karya.
ASTRA memang produk indonesia. Namun AS tahu, pabrik itu hidup dari proteksi pemerintah sejak berdirinya. Nah saat Astra ekspor kendaraan ke AS, tentu harga nya bisa bersaing dengan produk buatan AS. Karena produsen mobil AS tidak dapat proteksi dari pemerintah. Nah sekarang kena tarif 32 % ayolah bisa engga bersaing ASTRA. Pasti keok, entar lagi kena PHK tuh buruhnya. Dan lagi selama ini yang kaya raya pemegang saham ASTRA. Negara hanya dapat secuil.
Dampak kepada perekonomian nasional
Apakah misi team negosiasi Indonesia ke AS akan sukses menurunkan tarif resiprokal. Menurut saya, masalah tarif itu bukan big deal. Kalaupun sukses menurunkan tarif, tidak akan mengurangi PHK terjadi. Karena itu memang sudah terjadi sebelum ada tarif resiprokal. Kalaupun gagal misi tersebut, keadaan tetap saja sama. Ekonomi lesu yang memang sudah terjadi sejak tahun lalu
Jadi apa sebenarnya yang dikawatirkan oleh Indonesia? Yang kita kawatirkan adalah kebijakan suku bunga the Fed. Kalau karena tarif resiprokal ini mengakibatkan inflasi di AS, terpaksa Fed naikan suku bunga. Kita pasti resesi. Karena capital outflow akan terjadi di Indonesia. Orang kaya akan pindahkan uangnya ke USD. Rupiah akan jatuh. Krismon terjadi. Tapi kalau BI tahan kejatuhan kurs Rupiah dengan menaikan suku bunga, gimana? Otomatis suku bunga bank juga naik. NPL akan meningkat. Likuiditas mongering. PHK meluas. Krisis juga yang terjadi akhirnya.
Nah kalau the fed akhirnya mengalah kepada Trump dengan menurunkan suku bunga. Otomatis terjadi kelebihan likuiditas USD di pasar global. Uang akan mengalir ke emerging market termasuk Indonesia. Rupiah akan menguat. Suku bunga akan turun. Seperti paska kejatuhan wallstreet tahun 2008. Dunia usaha bangkit. Dunia happy. Tapi itu tidak pasti.
Terus siapa yang diuntungkan dari situasi ini? Pengelola hedge fund. Kenapa ? Kalau suku bunga the fed naik, mereka cuan dari jatuhnya harga obligasi. Kalau suku bunga turun, mereka cuan dari jual funds kepada negara berkembang. Dapatkan margin tinggi dari excess liquidity. Kan engga ada negara yang engga butuh USD untuk jalankan roda ekonominya. Dan itu semua sudah diantisipasi oleh pengelola hedge fund.
Itu sudah dibuktikan saat krisis lehman. Pengelola hedge fund ada yang cuan 2 kali lipat dari dana kelolanya. Ada juga yang jatuh tetapi cepat recovery. Ketika COVID, pengelola hedge fund untung 40 kali. Dan kalau nanti resesi global terjadi akibat tarif trump, bisa jadi mereka cuan diatas 100 kali. Artinya negara yang punya utang luar negeri tinggi akan masuk kubangan jebakan yang mematikan.
Surrender or die. Geopolitik global berubah. Game changer. Itu tujuan Trump. Dia kerja untuk penyandang dana pemilu dia. 3 orang sponsor dia kan semua pengelola hedge fund. Di negara manapun yang menerapkan demokrasi, Presiden kerja untuk penyandang dana kampanye nya. Mana ada mikir untuk rakyat. Kita aja baper engga jelas.
Solusi.
Bagaimana sikap Indonesia seharusnya terhadap AS. Tanya teman. Menurut saya, pertama kita tetap perbaiki tataniaga impor dan ekspor kita. Agar lebih fair dan transfarance. Udahan aja bisnis rente. Karena non tarif barrier itu hanya nguntungi pengusaha rente. Engga ada manfaatnya bagi negara. Contoh kita quota gula , kedelay, jagung, dengan harapan bisa melindungi petani local dan bisa mandiri. Nyatanya udah lebih 10 tahun bukannya mandiri malah terus tergantung impor.
Kita tetapkan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) dengan harapan bisa mendorong penggunaan produk dalam negeri dan mendukung pertumbuhan industri lokal. Nyatanya selama 10 tahun malah terjadi deindustrialisasai. Malah semakin membuat kita sulit menggandeng mitra atau vendor tekhnologi high tech yang diperlukan untuk kemajuan. Sebaiknya lepaskan aja TKDN itu.
Kedua, setelah kita perbaiki non tarif barrier, engga perlu negosiasi dengan AS. Karena memang tarif kita udah rendah banget terhadap barang AS, Kebetulan apa yang kita impor dari AS itu memang barang yang kita perlukan dan kita belum bisa buatnya lebih baik. Biarkan aja AS dengan tariff nya. Toh itu akan membebani dalam negeri AS sendiri.
Ketiga, kalaupun Indonesia masuk negosiasi dengan AS. Itu tidak akan mengubah sikap AS kepada Indonesia. Paling tarif diturunkan. Teman saya di Vietnam beritahu. AS inginkan Vietnam meninggalkan semua kerjasama dengan China. Keluar dari BRICS dan batalkan SWAP currency settlement dengan China. Karena Vitnam keberatan usulan non tarif itu, maka usulan tarif 0% oleh Vietnam dibuang ke tong sampah oleh Trumps.
Apa iya Indonesia tega dan berani tinggalkan China. Kita punya hutang besar dengan China untuk pembangkit listrik, pelabuhan dan Kereta cepat. Investasi China di Indonesia juga besar, di nikel saja 90% adalah investasi China. Kalau kita paksakan, itu akan membuka masalah baru dan bisa jadi kena trap seperti presiden Ukraina yang disuruh perang dengan Rusia oleh AS. Setelah babak belur, AS minta agar Ukraina menyerahkan semua mineral tambang kritis kepada AS.. Kalau engga, AS tidak mau lagi memberikan bantuan uang untuk perang. Itu bisa saja terjadi pada Indonesia yang terprovokasi perang dengan China di LCS.
Jadi kita selow aja. Hubungan dengan AS anggap seperti biasa saja. Begitu juga dengan China. Biasa aja. Tapi kalau pro AS apakah PHK akan terhindar? Engga. Tetap aja terjadi PHK. Karena masalah struktur cost industry kita memang engga efisien. Benahi aja strucktur cost industry dengan deregulasi. Pada waktu bersamaan remove semua program populis seperti MSB, pengadaan 3 juta rumah, koperasi merah putih dan IKN. Focus menghadapi badai di depan dan perkuat persatuan dan kesatuan.