Uang ada.
Indonesia menghadapi dua krisis, yaitu krisis ekonomi dan pandemi COVID-19. Kedua krisis ini saling kait-mengkaitk. Kalau engga ada duit, COVID-19 engga selesai. Covid-19 engga selesai, ekonomi engga jalan. Pandemi COVID-19 telah menghantam sektor riil. Selama Pandemi dan PSBB, bisnis yang masih bagus adalah farmasi, telekomunikasi hingga e-commerce. Sementara yang lainnya seperti industri makanan kemasan juga tetap tumbuh bagus. Namun yang lainnya seperti industri tourism, transportasi udara dan laut, otomotif, konstruksi dan real estate, manufaktur, serta jasa keuangan jelas suffering. Di samping itu, usaha informal dan outlet toko jelas tengkurep. Dampaknya sangat luas terhadap perekonomian negara. Pajak jelas drop. Pertumbuhan jangan diharap, bisa bertahan saja sudah bagus. PHK secara terselubung tidak bisa dihindari khususnya tenaga kerja kontrak.
Dengan situasi tersebut diatas, mereka yang kaya pasti berkurang kekayaannya. Yang miskin jadi tambah miskin. Yang tambah miskin teracam kelaparan. Kalau melihat data terbaru angka kemiskinan BPS persentase penduduk miskin pada September 2019 sebesar 9,22% atau sebesar 24,79 juta orang. Dengan adanya pandemi ini bisa saja bertambah menjadi 30 juta orang. Pemerintah harus cepat memberikan bantuan tunai kepada rakyat yang 30 juta itu. Engga bisa terlambat. Kecepatan memberikan bantuan menjadi concern ketika membelakukan PSBB. Pada waktu bersamaan juga Pemerintah harus cepat menyalurkan dana stimulus kepada pengusaha dan sistem keuangan agar gelombang PHK tidak meluas.
Banyak pihak menyarankan agar pemerintah cetak uang. Walau cara cetak uang itu bisa saja dilakukan pemerintah tetapi cara itu sudah jadul. Lebih besar resikonya terhadap ekonomi. Walau memang itu cara mudah. Yang benar itu tetap kosisten melalui kebijakan fiskal dan moneter yang terukur. Secara fiskal, pemerintah merealokasi APBN sebesar Rp. 255,1 triliun. Dana itu berasal dari K/L Rp 95,7 triliun dan TKDD [Transfer ke Daerah dan Dana Desa] sebesar Rp 94,2 trilun, dan realokasi cadangan sebesar Rp 54,6 triliun. Kemudian pemerintah menambah pembiayaan anggaran sebesar Rp. 150 triliun. Sumber dananya dari utang. Jadi total semua Rp. 405,1 triliun.
Agar program Ekonomi dan pendanaan itu tidak melanggar UU yang ada, maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Dengan PERPPU 01/2020 ini memungkinkan negara bisa suplai uang ke dunia usaha dan sistem keuangan. Dengan demikian goncangan krisis yang terjadi terhadap dunia usaha dan sistem keuangan dapat diatasi.
Dengan asumsi setiap orang mendapat Rp. 1 juta perbulan. Kalau per keluarga miskin anggota keluarga ada 4 oragn maka itu jumlah Rp. 4 juta per bulan. Dan diberikan selama 3 bulan. Maka total dana bantuan tunai mencapai Rp. 90 triliun. Apakah dananya tersedia? Saya perhatikan Jokowi ketika mengeluarkan PP PSBB dan PERPPU 01/2020 sudah menghitung dampak ekonomi dari adanya PSBB. Dari anggaran stimulus Rp 405 triliun terkait penanganan virus Corona. Sebanyak Rp 110 triliun di antaranya akan digunakan untuk program jaring pengaman sosial (social safety net). Apa artinya ? secara ekonomi dan financial kita sangat aman dan siap menghadapi pandemi COVID-19.
Lantas apa masalahnya ? Pertama, belum ada pengesahaan dari DPR tentang PERPPU 01/2020. Sehingga dana stimulus berupa penambahan APBN dan realokasi APBN yang dianggarkan sebesar Rp. 405 triliun masih belum bisa dicairkan. PEMDA juga masih talik ulur dengan DPRD soal dana realokasi APBD. Kedua, sistem desentralisasi (pemda ) pedinstribusian BLT ini sangat lambat proses sampai ke tangan rakyat. Bahkan cenderung boros. Bahkan seperti Banten, dananya tersandera oleh Bank Banten karena gagal bayar. Sehingga dana Jaring pengaman belum bisa dibagikan. Sementara PSBB sudah berlaku di 20 wilayah. Dampak tersendatnya BLT ini bisa megakibatkan terganggunya stabilitas nasional.
Lantas apa masalahnya ? Pertama, belum ada pengesahaan dari DPR tentang PERPPU 01/2020. Sehingga dana stimulus berupa penambahan APBN dan realokasi APBN yang dianggarkan sebesar Rp. 405 triliun masih belum bisa dicairkan. PEMDA juga masih talik ulur dengan DPRD soal dana realokasi APBD. Kedua, sistem desentralisasi (pemda ) pedinstribusian BLT ini sangat lambat proses sampai ke tangan rakyat. Bahkan cenderung boros. Bahkan seperti Banten, dananya tersandera oleh Bank Banten karena gagal bayar. Sehingga dana Jaring pengaman belum bisa dibagikan. Sementara PSBB sudah berlaku di 20 wilayah. Dampak tersendatnya BLT ini bisa megakibatkan terganggunya stabilitas nasional.
BPS punya data orang miskin. Mendagri dan semua PEMDA punya data orang miskin. Segera sajalah salurkan dana itu. Di sini kita menguji kelenturan sistem birokrasi dan demokrasi dalam menghadapi keadaan darurat. Kalau memang sistem tidak mendukung, ya saatnya UU Darurat yang menjadi acuan PP PSBB diterapkan. Engga usah ragu. Selagi media massa, publik tetap diberi hak bersuara, tidak ada kebocoran yang bisa bebas begitu saja. KPK pasti akan mendapatkan laporan dari masyarakat kalau memang ada penyelewengan oleh aparat. Segera salurkan atau terlambat maka yang terjadi, terjadilah..Karena uang ada! kita engga bangkrut.
Abas Gagal
Mitigasi CORONA
Saya baca kompas. Ada video orang tidur di trotoar jalan di kawasan Tanah Abang. Mereka tidak punya uang untuk bayar kontrakan dan kos. Jaraknya hanya sejengkal dari Istana dan Balaikota. Abas begitu pedulinya dengan nyawa orang. Itu disampaikan dengan raut wajah sedih dan suara bergetar di hadapan media massa. Orang terharu begitu mulianya gubernur pilihan umat. PSBB diajukan kepada Menteri Kesehatan. Izin didapat. PSBB pun berlaku bagi warga jakarta. Semua kegiatan bisnis berhenti kecuali kegiatan yang dibolehkan oleh aturan PSBB.
Apa yang terjadi? ada ribuan pekerja informal yang di toko, pusat perbelanjaan, pusat pujasera, restoran, cafe, hotel terpaksa di rumahkan. Begitu pula pekerja bangunan terpaksa kehilangan pekerjaan karena proyek semua terhenti. Karena mereka bukan pekerja tetap, maka tidak bekerja tidak ada gaji atau upah. Juga usaha informal seperti pemulung, pedagang kaki lima, supir taksi, bajay , udah bisa dipastikan kehilangan pendapatan. Karena kebijakan staying home. Jumlah mereka jutaan di Jakarta.
Pertanyaannya adalah kapan mereka akan dapat dana bansos. Mereka tidak butuh sembako. DKI tegas mengatakan tidak ada bantuan uang tunai. Padahal mereka butuh uang tunai untuk bayar kontrak rumah atau kos. Untuk makan dan minum. Mereka tidak punya tabungan untuk bertahan hidup lebih dari semingu tanpa penghasilan. Mau pulang kampung saat PSBB ini juga engga mudah. Karena angkutan umum terkena protokol PSBB. Kalaupun ada, tentu ongkosnya mahal karena tidak bisa berdesakan dalam kendaraan.
Memang sudah ada 20 wilayah yang terapkan PSBB. Namun Jakarta adalah episentrum COVID-19, juga adalah ukuran kewibawaan pemerintah menghadapi pandemi. DKI sudah setuju mengeluarkan dana realokasi COVID 19 sebesar lebih dari Rp 10 triliun. Tetapi anggaran tunai untuk mereka yang jadi korban akibat PSBB tidak ada. Padahal DKI punya anggaran belanja pegawai Rp. 25 triliun. Kalau ada kemauan dan niat baik tentu tidak sulit. Karena jumlahnya lebih dari cukup menanggung mereka yang hilang pendapatan selama masa PSBB.
Sudah saatnya Jokowi bersikap tegas kepada DKI. Secara fakta Abas sudah gagal. Apalagi data menunjukan setelah PSBB, jumlah positif COVID-19 DKI bertambah. Jadi sudah saatnya gunakan UU darurat sipil untuk memastikan Abas demosioner dan selanjutnya penanganan COVID-19 di Jakarta dikendalikan langsung oleh pusat. Mengapa ? Kalau terlambat, chaos sosial hanya masalah waktu. Orang lapar dan frustrasi bisa melakukan apa saja dan sangat mudah diprovokasi. Apalagi partai pendukung Abas dan para oposisi selalu menyalahkan pusat. Ini akan terus bergulir menjadi masalah politik yang kalau meledak sulit dipadamkan.***
Sudah saatnya Jokowi bersikap tegas kepada DKI. Secara fakta Abas sudah gagal. Apalagi data menunjukan setelah PSBB, jumlah positif COVID-19 DKI bertambah. Jadi sudah saatnya gunakan UU darurat sipil untuk memastikan Abas demosioner dan selanjutnya penanganan COVID-19 di Jakarta dikendalikan langsung oleh pusat. Mengapa ? Kalau terlambat, chaos sosial hanya masalah waktu. Orang lapar dan frustrasi bisa melakukan apa saja dan sangat mudah diprovokasi. Apalagi partai pendukung Abas dan para oposisi selalu menyalahkan pusat. Ini akan terus bergulir menjadi masalah politik yang kalau meledak sulit dipadamkan.***
Mitigasi CORONA
Saya nonton Video jumpa pers yang diadakan di Gedung Putih. Dalam jumpa pers ini di hadiri oleh Team gugus tugas Coronavirus AS, William N. Bryan, juga wakil menteri untuk sains dan teknologi di Departemen Keamanan Dalam Negeri dan disaksikan oleh Presiden Trump dan Wakil Presiden Pence. Yang membuat saya tertarik dan akhirnya menjadi referesi bahan tulisan saya di blog tentang cara efektif mitigasi COVID-19 adalah karena Team Gugus Tugas AS itu menyampaikan hasil laporan dari laboratorium biosekuriti Angkatan Darat AS di Fort Detrick, Md.
William Bryan, menyebut bahwa kombinasi sinar ultraviolet (UV) serta temperatur lebih hangat membuat COVID-19 tidak berdaya. “ Observasi kami sejauh ini yang paling mencolok adalah efek powerful sinar Matahari sepertinya membunuh virus itu, baik di permukaan maupun di udara," cetus Bryan. Hasil temuan ini engga main main. Karena disampaikan di Gedung Putih. Riset dilakukan di Lab milik Angkatan Darat. Jadi tingkat validitasnya tinggi sekali.
William Bryan, menyebut bahwa kombinasi sinar ultraviolet (UV) serta temperatur lebih hangat membuat COVID-19 tidak berdaya. “ Observasi kami sejauh ini yang paling mencolok adalah efek powerful sinar Matahari sepertinya membunuh virus itu, baik di permukaan maupun di udara," cetus Bryan. Hasil temuan ini engga main main. Karena disampaikan di Gedung Putih. Riset dilakukan di Lab milik Angkatan Darat. Jadi tingkat validitasnya tinggi sekali.
Agar tidak misleading atas pernyataan virus corona mati karena tempratur panas, sehingga diartikan udara panas seperti di Indonesia itu aman dari Corona. Karena di dalam ruangan ber AC tentu suhu dingin dan jauh dari matahari. Penyebaran bisa saja terjadi dari orang ke orang. Maka saya jelaskan secara singkat seperti uraian dari video itu. Bahwa virus itu tidak efektif tersebar lewat udara, apabila suhu panas UV langsung ada dari matahari. Misal, seribu partikel virus tersebar lewat udara. Dalam 18 jam, virus turun menjadi 500. Dalam 18 jam setelah itu, turun menjadi 250, dan seterusnya dan seterusnya. Artinya berlalunya waktu, penyebaran virus lewat udara itu akan menurun dan akhirnya hilang.
Atas dasar itu, maka metode mitigasi atas pandemi ini jadi mudah di rancang khususnya di Indonesia, yang tempraturnya diatas 24 derajat celcius. Kita tidak perlu ada lockdown dan tak perlu social distancing terlalu ekstrim. Biarkan saja orang terus beraktifitas secara normal. Kita harus syukuri karena kita berbeda dengan negara yang berada di sub tropik. Kita berada di daerah equatorial yang kaya UV. Tentu berbeda cara mitigasi kita dengan mereka. Nah dengan asumsi semua orang terinfeksi virus corona, maka cara mitigasi dilakukan sebagai berikut :
Pertama, pastikan semua tempat yang berada di ruangan tertutup menyediakan bahan disfektan. Orang dipaksa untuk disiplin agar sering sering cuci tangan. Mengapa? Cairan dari orang yang terinfeksi virus corona bisa bertahan lama di ruangan tertutup tanpa sinar matahari. Bisa nempel di tombol lift, di pegangan eskalator, di toilet, di sofa cafe, di pegangan jendela atau pintu , tempat duduk angkutan umum dan lain lain. Pemerintah dan pengelola gedung dan fasilitas umum harus menyediakan petugas menjaga dan mengawasi tempat tempat yang berpotensi sebagai penyebaran virus. Mereka harus dilengkapi dengan alat disfektan.
Kedua, Pastikan semua orang menggunakan masker bila berada di ruangan tertutup termasuk dalam kendaraan. Kalau bisa di setiap tempat atau gedung, di pintu masuk sediakan masker gratis sesuai standa kesehatan. Karena dokter dan paramedis berhadapan langsung dengan pasien terinfeksi, jadi tidak bisa menghindari sebaran virus corona. Pastikan semua dokter dan paramedis punya APD. Yang lebih penting lagi adalah perbanyak ventilator agar proses penyembuhan secara alami dapat berlangsung dan tidak berakibat fatal.
Ketiga, cara pertama dan kedua itu harus disosialisasikan terus menerus kepada publik agar mereka sadar akan kesehatannya. Jangan sampai menakuti nakuti. Berita soal kematian tentang virus corona sebaiknya dikurangi. Yang diperbanyak adalah berita orang sembuh. Ini penting agar orang tetap waspada namun tidak panik. Karena kepanikan justru membuat imune orang berkurang.
Apakah cara mitigasi tersebut diatas salah. Kita bisa liat fakta di China. Setelah masuk musim semi, dan matahari mulai menampakan diri, musim dingin berlalu. Mitigasi COVID-19 tidak ada lagi seperti lockdown yang pernah dilakukan di Wuhan. China kembali beraktifitas seperti normal namun mitigasi corona tetap dilakukan seperti langkah pertama dan kedua itu. Mereka memang melakukan sosial distancing tetapi tidak ekstrim sehingga menghentikan semua fasilitas umum. Kehidupan berjalan normal namun gaya hidup udah berubah.
BLT penting, kerja jauh lebih penting.
Saya nonton video yang ditayangkan lewat sosial media. Seorang wanita bernama Yuli. Warga banten. Dia berkata dengan raut wajah memancarkan putus asa dan air mata berlinang seraya memeluk buah hatinya yang masih balita. Sudah dua hari tidak makan. Suaminya Kholid sebagai pekerja lepas yang menerima upah Rp. 25.000 perhari. Kalau tidak bekerja tentu tidak dapat upah. Sudah dua hari tidak bekerja sejak ada ketentuan social distancing. Seperti Yuli itu bukan hanya satu itu. Tetapi ada banyak Yuli lain yang harus terpaksa sabar menerima kenyataan suaminya di rumah tanpa penghasilan.
Pandemi Covid-19 adalah satu hal tetapi korban kemanusiaan akibat sikap kita menghadapi pandemi ini sangat luar biasa. Pandemi ini sangat mengkawatirkan karena sering dibicarakan oleh mereka kelas menengah atau mereka yang punya akses kepada informasi sosial media. Yang tentu mereka yang punya tabungan untuk bertahan selama masa staying at home. Saya menonton video aksi demo di Amerika serikat. Ketika ditanya “ When it come to the pandemic. Are you scared at all? Do you think it, do you believe in it. Mereka berkata “ Kami percaya. Tetapi kami tetap butuh pekerjaan. “
Mereka yang rentan miskin, tak hendak mengemis. Tak hendak BLT. Tak hendak dibagi gratis Masker. Mereka hanya butuh kerja dan karena itu mereka bisa membayar kebutuhannya. Mereka sangat percaya akan resiko virus corona. Tapi apakah cukup meyakinkan mereka akan bahaya Corona lantas membuat mereka takut keluar rumah. Tidak! Mungkin bagi anda yang belum pernah merasakan betapa susahnya tak punya uang dan hidup tidak secure secara financial, akan sulit memahami bagaimana mereka kelas bawah itu seperti tidak takut mati dan tidak peduli resiko Corona.
Di saat kita sering bicara tentang angka kematian akibat Corona, jauh sebelumnya orang miskin sudah akrab dengan kematian. Bisa karena gizi buruk. Bisa karena lingkungan yang kumuh, yang mudah membuat mereka terkena DBD, malaria. Mati di jalan akibat kecelakaan angkutan umum. Atau bisa apa saja. “ People are gonna die. They die no matter what.” Apakah sebelumnya kita pernah peduli dengan mereka, seperti kepedulian kita sekarang terhadap ancaman corona?
Bantuan tunai atau sembako, tidak akan bisa membayar rasa takut kehilangan pekerjaan dan masa depan. Tidak sebanding dengan ancaman kematian akibat corona. Bagi mereka bekerja itu adalah hope, dan karena itu mereka bisa bertahan hidup dalam kemiskinan dan derita tak bertepi. Yang jelas, akibat kekawatiran kelas menengah yang berlebihan ini, mereka yang miskin jadi korban. Dan memberi amunis politisi untuk menaikan citra, bahwa mereka peduli. Realokasi anggaran didengungkan bombamdis. Namun sulit cair atau hanya menetes tak sampai kepada Yuli. Yang akhirnya Yuli harus mati, karena kelaparan. Tragis!
Saya tak hendak menghakimi siapapun. Saya juga tidak ingin mengabaikan COVID-19. Namun saya berharap pemerintah pusat dan daerah benar benar menjadikan perang terhadap COVID-19 ini sebagai perang total. Jangan lagi gunakan covid-19 ini sebagai alat politik. Masyarakat juga harus mendukung penuh. Patuhi PSBB. Agar perang bisa segera kita akhiri. Terlambat? sangat besar resikonya bagi NKRI. Karenanya DPR segeralah pengesahan PERPPU 1/2020. PERPPU itu sangat penting untuk menyelamatkan ekonomi dan pembiayaan pandemmi. Bukan hanya kita yang suffering tetapi semua negara di dunia suffering. Terlambat siap menyediakan payung hukum maka secara politik kita tidak siap menghadapi chaos. Maka yang terjadi , terjadilah...
Mitra saya di China mengatakan kalau ingin dapatkan refund tax secara real time dari pemerintah, maka saatnya beli produk dan jasa UKM. Apapun itu. Pemerintah China menggelontorkan dana stimulus dalam bentuk pemotongan pajak sangat gila gilaan. Pada waktu bersamaan industri dan manufaktur juga mendapatkan dana stimulus dalam bentuk pemotongan bunga bank, dan pelonggaran kredit untuk pengadaan stok barang dan pembelian barang / jasa dari para supply chain UKM. Para distributor juga mendapatkan pelonggaran kredit dari pabrikan. Triliunan Yuan disuplai dari APBN agar ekonomi kembali bergerak.
Saya nonton video yang ditayangkan lewat sosial media. Seorang wanita bernama Yuli. Warga banten. Dia berkata dengan raut wajah memancarkan putus asa dan air mata berlinang seraya memeluk buah hatinya yang masih balita. Sudah dua hari tidak makan. Suaminya Kholid sebagai pekerja lepas yang menerima upah Rp. 25.000 perhari. Kalau tidak bekerja tentu tidak dapat upah. Sudah dua hari tidak bekerja sejak ada ketentuan social distancing. Seperti Yuli itu bukan hanya satu itu. Tetapi ada banyak Yuli lain yang harus terpaksa sabar menerima kenyataan suaminya di rumah tanpa penghasilan.
Pandemi Covid-19 adalah satu hal tetapi korban kemanusiaan akibat sikap kita menghadapi pandemi ini sangat luar biasa. Pandemi ini sangat mengkawatirkan karena sering dibicarakan oleh mereka kelas menengah atau mereka yang punya akses kepada informasi sosial media. Yang tentu mereka yang punya tabungan untuk bertahan selama masa staying at home. Saya menonton video aksi demo di Amerika serikat. Ketika ditanya “ When it come to the pandemic. Are you scared at all? Do you think it, do you believe in it. Mereka berkata “ Kami percaya. Tetapi kami tetap butuh pekerjaan. “
Mereka yang rentan miskin, tak hendak mengemis. Tak hendak BLT. Tak hendak dibagi gratis Masker. Mereka hanya butuh kerja dan karena itu mereka bisa membayar kebutuhannya. Mereka sangat percaya akan resiko virus corona. Tapi apakah cukup meyakinkan mereka akan bahaya Corona lantas membuat mereka takut keluar rumah. Tidak! Mungkin bagi anda yang belum pernah merasakan betapa susahnya tak punya uang dan hidup tidak secure secara financial, akan sulit memahami bagaimana mereka kelas bawah itu seperti tidak takut mati dan tidak peduli resiko Corona.
Di saat kita sering bicara tentang angka kematian akibat Corona, jauh sebelumnya orang miskin sudah akrab dengan kematian. Bisa karena gizi buruk. Bisa karena lingkungan yang kumuh, yang mudah membuat mereka terkena DBD, malaria. Mati di jalan akibat kecelakaan angkutan umum. Atau bisa apa saja. “ People are gonna die. They die no matter what.” Apakah sebelumnya kita pernah peduli dengan mereka, seperti kepedulian kita sekarang terhadap ancaman corona?
Bantuan tunai atau sembako, tidak akan bisa membayar rasa takut kehilangan pekerjaan dan masa depan. Tidak sebanding dengan ancaman kematian akibat corona. Bagi mereka bekerja itu adalah hope, dan karena itu mereka bisa bertahan hidup dalam kemiskinan dan derita tak bertepi. Yang jelas, akibat kekawatiran kelas menengah yang berlebihan ini, mereka yang miskin jadi korban. Dan memberi amunis politisi untuk menaikan citra, bahwa mereka peduli. Realokasi anggaran didengungkan bombamdis. Namun sulit cair atau hanya menetes tak sampai kepada Yuli. Yang akhirnya Yuli harus mati, karena kelaparan. Tragis!
Saya tak hendak menghakimi siapapun. Saya juga tidak ingin mengabaikan COVID-19. Namun saya berharap pemerintah pusat dan daerah benar benar menjadikan perang terhadap COVID-19 ini sebagai perang total. Jangan lagi gunakan covid-19 ini sebagai alat politik. Masyarakat juga harus mendukung penuh. Patuhi PSBB. Agar perang bisa segera kita akhiri. Terlambat? sangat besar resikonya bagi NKRI. Karenanya DPR segeralah pengesahan PERPPU 1/2020. PERPPU itu sangat penting untuk menyelamatkan ekonomi dan pembiayaan pandemmi. Bukan hanya kita yang suffering tetapi semua negara di dunia suffering. Terlambat siap menyediakan payung hukum maka secara politik kita tidak siap menghadapi chaos. Maka yang terjadi , terjadilah...
Mitra saya di China mengatakan kalau ingin dapatkan refund tax secara real time dari pemerintah, maka saatnya beli produk dan jasa UKM. Apapun itu. Pemerintah China menggelontorkan dana stimulus dalam bentuk pemotongan pajak sangat gila gilaan. Pada waktu bersamaan industri dan manufaktur juga mendapatkan dana stimulus dalam bentuk pemotongan bunga bank, dan pelonggaran kredit untuk pengadaan stok barang dan pembelian barang / jasa dari para supply chain UKM. Para distributor juga mendapatkan pelonggaran kredit dari pabrikan. Triliunan Yuan disuplai dari APBN agar ekonomi kembali bergerak.
Mengapa? dampak pandemi COVID-19. Akibat kebijakan lockdown dan social distancing Ekonomi China suffering. Laporan Biro statistik China, Ekonomi pada kuartal I-2020 terkontraksi alias tumbuh negatif -6,8% year-on-year (YoY). Ini adalah kontraksi pertama sejak China mencatat pertumbuhan ekonomi secara YoY pada 1992. Kalau ini berlanjut sampai kwarta 2 maka diperkirakan ratusan juta orang kehilangan pekerjaan. Makanya, pemerintah China sejak awal maret mulai start work. Dana stimulus digelontorkan. Tidak dalam bentuk BLT tetapi dalam bentuk membanjiri likuiditas sektor produksi.
China pernah mengalami pandemi yang lebih buruk dari COVID-19 namun bencana kelaparan di era revolusi kebudayaan, itulah yang paling menakutkan. 25 juta orang mati begitu saja.” Kami telah melewati proses pilihan kami dalam perang melawan COVID-19, dan kami sudah membayarnya dengan Lockdown selama 3 minggu. Apa hasilnya? tidak menghentikan kematian akibat COVID-19. Tidak menjamin setelah sembuh aman dari corona. Kita tidak bisa melawan kematian, namun kita bisa melewati hal terburuk dalam kehidupan. Kuncinya adalah bergerak. Kerja!
Harus diakui bahwa angin badai resesi sudah sampai disetiap negara. Negara kaya karena minyak, kini suffering. Karena tidak ada yang membeli sebanyak dulu. Hargapun jatuh. Semua negara Timur Tengah ramai ramai gedor IMF minta bantuan hutang. Ramai ramai menggedor pasar uang untuk terbitkan obligasi. Negara sehebat China dalam produksi, kehilangan power untuk tumbuh. Bahkan di AS orang lebih memilih mati karena corona daripada kehilangan pekerjaan. Indonesia jangan terlalu lama panik dengan staying at home. Jadikan social distancing itu sebagai mindset baru untuk hidup bersih dan menjaga kesehatan.
Di dunia ini hanya China, india dan Indonesia yang masih tumbuh. Kebangkitan ekonomi tiga negara ini bisa menyelamatkan dunia dari lubang resesi. Kita tidak bisa meniru budaya orang AS dan Eropa yang terlalu sibuk membahas politik karena corona. Kita punya tanggung jawab lebih besar terhadap dunia. Jadi jangan karena corona lantas kita kehilangan human being dan passion hidup sebagai orang modern. “ Katanya melalui email.
Saya mencermati kebijakan ekonomi Jokowi berkaitan dengan pandemi COVID-19. Sangat rasional. 70% dana stimulus diarahkan kepada stabilitas Ekonomi dan moneter. Hanya 30% untuk COVID-19. Apa artinya? masalah serius itu bukan COVID-19 tetapi masalah ekonomi. Yang dikawatirkan Jokowi adalah resesi ekonomi, wabah kelaparan. Kalau sudah bicara ekonomi, maka kecepatan berproses melewati kendala non ekonomi harus lebih cepat. Itu sebabnya Pemerintah mengeluarkan PERPPU 1/2020. Sehingga penyaluran dana untuk perang terhadap covid-19 dapat segera dilakukan, termasuk membantu mereka yang rentan miskin agar tidak kelaparan. Agar apa yang dilakukan China setelah melewati focus COVID-19 bisa juga kita lakukan. Yaitu genjot ekonomi secara all out. Agar orang kembali kerja dan ekonomi kembali tumbuh. Semoga MK bisa menolak pembatalan PERPPU dan DPR segera sahkan itu.***
Saya mencermati kebijakan ekonomi Jokowi berkaitan dengan pandemi COVID-19. Sangat rasional. 70% dana stimulus diarahkan kepada stabilitas Ekonomi dan moneter. Hanya 30% untuk COVID-19. Apa artinya? masalah serius itu bukan COVID-19 tetapi masalah ekonomi. Yang dikawatirkan Jokowi adalah resesi ekonomi, wabah kelaparan. Kalau sudah bicara ekonomi, maka kecepatan berproses melewati kendala non ekonomi harus lebih cepat. Itu sebabnya Pemerintah mengeluarkan PERPPU 1/2020. Sehingga penyaluran dana untuk perang terhadap covid-19 dapat segera dilakukan, termasuk membantu mereka yang rentan miskin agar tidak kelaparan. Agar apa yang dilakukan China setelah melewati focus COVID-19 bisa juga kita lakukan. Yaitu genjot ekonomi secara all out. Agar orang kembali kerja dan ekonomi kembali tumbuh. Semoga MK bisa menolak pembatalan PERPPU dan DPR segera sahkan itu.***
Akhirnya ..
Andaikan ilmuwan dari Johns Hopkins Center for Health Security, tidak membuat simulasi yang menakutka dunia tentang COVID-19. Bahwa dalam enam bulan ke depan hampir setiap negara di dunia akan terkena wabah ini. Dalam 18 bulan, diperkirakan 65 juta orang bisa mati karena virus ini. Mungkin panggung teater lockdown Wuhan tidak akan meriah. Media massa tidak punya referensi kuat untuk membuat orang takut dan kawatir. Padahal sebelumnya ada Wabah Flue di AS, yang membuat 50.000 meninggal, namun tidak ada reaksi apapun. Dianggap biasa saja.
Kalau anda jeli mengamati dan sedikit memahami tentang Pilsafat kehidupan, anda mungkin akan tersenyum sendiri. Mengapa ? Semua respon yang berhubungan dengan ekonomi, sosial, politik, agama dan budaya serta seperangkat nilai dari itu semua, menjadi no meaning dihadapan COVID-19. Hanya respon WHO, dan CDC atau Lembaga Penyakit Menular yang punya otoritas menentukan seperti apa yang harus dilakukan. Semua informasi harus diragukan kecuali dari WHO dan CDC. Semua negara selain komunis harus tunduk kepada WHO. Dia menjadi diktator diatas rasa takut.
Tetapi apakah semua by design? entahlah. Yang pasti karena COVID-19, drama collosal dengan peran tunggal aktor CORONA telah meyingkirkan narasi agama, kebudayaan dan ekonomi. Tanpa disadari kita semua kehilangan nilai sebagai makhluk sosial yang harus menjadi mesin ekonomi dan meninggikan peradaban melalui nilai nilai agama. Planet bumi ini memang tidak aman, terutama bagi yang lemah. Cara dan respon terhadap COVID-19 telah menempatkan kita sebagai makhluk terlemah di planet bumi ini. Padahal Tuhan menyerahkan bumi ini kepada kita, bukan kepada makhluk lain. Kita kehilangan nilai nilai lama, yang terbiasa cerdas living in dangerous place.
Apakah ini semua by design ? entahlah. Yang pasti dengan adanya drama COVID 19 ini, media massa yang terancam bangkrut karena korporat gagal bayar iklan bisa selamat. Mengapa ? korporat akan mendapatkan dana stimulus dari pemerintah. Iklan akan terbayar lagi. Pemerintah punya dana segar berkat stimulus dan bisa menjadi robin hood dihadapan kaum miskin. Para banker yang terancam collapse karena NPL terselamatkan berkat stimulus ekonomi. Para IT provider semakin kaya raya. Karena dengan adanya COVID-19 bisnis berbasis daring melonjak 350%. Dan industri pharmasi semakin tajir dan terus tajir diatas ancaman penyakit. Sementara Agama kehlangan spirit dan narasi.
Semua negara seakan sepakat bahwa panggung drama COVID-19 ditutup bulan juli. Sama dengan Indoensia. Setelah itu ? Orang akan kembali membuat jalanan macet. Kembali melakukan senggama dan berbiak. Kembali meramaikan pasar. Semua normal dan yang kaya semakin kaya dan simiskin punya harapan. Yang hidup pasti mati. Yang sakit akan terobati, kalau tidak, modar. Namun tidak akan ada berita heboh soal kematian dan sakit, bahkan kelaparan. Lantas apa arti semua ini ? selalu pesta ada akhirnya. Yang tersisa hanyalah sejarah, bahwa kita pernah terlalu lemah dan bego diatas status orang modern…Rendah hatilah selalu, ya sayang.
Semua negara seakan sepakat bahwa panggung drama COVID-19 ditutup bulan juli. Sama dengan Indoensia. Setelah itu ? Orang akan kembali membuat jalanan macet. Kembali melakukan senggama dan berbiak. Kembali meramaikan pasar. Semua normal dan yang kaya semakin kaya dan simiskin punya harapan. Yang hidup pasti mati. Yang sakit akan terobati, kalau tidak, modar. Namun tidak akan ada berita heboh soal kematian dan sakit, bahkan kelaparan. Lantas apa arti semua ini ? selalu pesta ada akhirnya. Yang tersisa hanyalah sejarah, bahwa kita pernah terlalu lemah dan bego diatas status orang modern…Rendah hatilah selalu, ya sayang.