Tuesday, March 17, 2020

Lockdown dan kepanikan...




Darurat sipil?
Tadi saya sempat ngobrol lewat WA dengan teman aktifis. Dia katakan bahwa  sepertinya pemerintah Pusat sengaja membiarkan Daerah menghadapi sendiri Wabah C-19. Memang efisien tetapi jelas tidak ada kemanusiaan. 

Saya katakan “  sebelum kita menyimpulkan apa yang kita lihat, ada baiknya kita ketahui duduk persoalannya. Peran pemda dalam UU 24/2007 tentang bencana nasional, itu jelas sekali dalam pasal 8 dan 9. Dalam pasal 8 pemerintah daerah harus mengalokasi pos bencana dalam APBD nya. Atau disebut dana siaga. Semua Pemda punya pos anggaran itu. Kalau kurang, PEMDA diberi hak melakukan realokasi anggaran untuk focus kepada bencana. Jadi itu bukan Pusat menyerahkan kepada Daerah, tetapi amanah UU memang begitu.”

Tapi kan engga cukup” katanya cepat. Saya katakan.  Jangan terlalu cepat menyimpulkan soal anggaran. Dalam hal C-19 persoalan yang harus segera dilakukan dan bisa langsung inisiatif pemda tanpa perlu izi dari pusat adalah pengadaan rapid test, masker , APD, dan ventilator. Contoh untuk DKI anggarannya tidak sampai senilai anggaran lem aibon.  Rapid test. Harga impor engga mahal. Hanya USD 3,5 per unit.  Kalau Pemda impor katakanlah 500.000 kit. Itu hanya USD 1,75 juta atau Rp. 20 miliar. Masker. Harga impor USD 0,10. Kalau beli 10 juta unit untuk penduduk DKI , itu baru Rp. 18 miliar. Bagikan gratis kepada seluruh warga. 

Kemudian beli APD untuk RS. Harga APD pun tidak mahal. Hanya Rp. 50.000. Kalau untuk kebutuhan RS Daerah 10.000 lembar cukup, anggarannya sebesar Rp. 500 juta. Ventilator harganya cukup mahal, sekitar Rp 100 juta/unit. Kalau ditambah 100 unit dengan asumsi pasien RS Daerah yang butuh  ditangani dengan ventilator sebanyak 100, itu baru Rp. 10 miliar. Total kebutuhan hanya kurang lebih Rp 48,5 M. Dana itu engga perlu dari pusat, dan engga perlu realokasi APBD. Dana siaga sudah tersedia pada setiap Pemda.

Jadi, menurutnya, kalau dari awal katakanlah pada bulan januari Pemda sudah melakukan rapid test, tentu sudah diketahui data pasti berapa tingkat penyebaran C-19. Dengan data itu bisa dibuat rencana jelas. Sebelum kebijakan Social distancing, pemda bisa bagikan masker gratis, APD dan ventilator. Itu baru kerja dan itu engga perlu ongkos mahal. Engga perlu sampai korbankan anggaran infrastruktur apalagi batalkan ibukota baru” Katanya menyimpulkan. Saya membenarkan. Saya teringat cerita teman lain, rapid test dari sumbangan saja banyak di gudang. Belum dimanfaatkan oleh Pemda. Bahkan hanya untuk distribusikan APD saja , pemda masih lelet. Tetapi kalau bicara pecintraan kencang sekali. Jadi ini lebih kepada mental mantiko dari pejabat pemda.

Bagimana wacana lockdown? tanyanya. Saya katakan, kalau lockdown, kita mengacu kepada UU Karantina kesehatan.  Kalau itu diterapkan ongkos akan jadi sangat mahal. Karena mengharuskan pemerintah menanggung biaya kehidupan orang selama dikarantina. Belum lagi dampak ekonomi bagi mereka pekerja informal yang kehilangan pendapatan.Tidak termasuk sumber daya  yang dilibatkan besar sekali, dan ini tidak akan efektif bila penegakan hukum lemah. Jadi UU Karantina tidak cukup efektif. Kecuali dipadukan dengan UU darurat sipil, yang memungkinkan komando satu tangan langsung di bawah presiden selaku panglima tertinggi.  Dengan dibantu oleh pemda tentunya.

Tetapi dengan UU darurat sipil, praktis kekuasaan otonomi jadi tidak ada. Pemda akan jadi macan ompong. Apa engga menimbulkan masalah politik? Katanya. 

“ Loh itu kalau situasi terburuk terjadi, kalau UU otonomi tidak cukup efektif menghadapi pandemi nasional. Ya darurat sipil dialakukan dalam rangka melaksanakan UU Karantina kesehatan dan UU bencana alam.”

“ Jadi sebenarnya , tanggung jawab pusat itu apa?

“ Kalau tanggung jawab financial yang berkaitan dengan pencegahan penanggulangan, otonomi daerah sudah lebih cukup untuk selesaikan. Kalau anggaran pemda kurang, mereka diberi hak oleh presiden untuk realokasi APBD. Masih kurang juga?, Pusat punya dana siaga Rp. 4 triliiun di APBN yang bisa dipakai. Apalagi? Pusat hanya koordinasi saja. Tapi kalau menyangkut dampak ekonomi nasional dari adanya C-19, nah itu tanggung jawab pusat.”

“ Paham saya sekarang. Enaknya ngobrol dengan kamu, semua mudah dipahami dan keliatan kamu tidak berpolitk. Rasional sekali. Sebetulnya tidak rumit. Masalahnya sederhana kalau masalah C-19 ini tidak di bawa ke ranah politik dan hanya focus sesuai dengan amanah UU. “ katanya. Kami sudahi telp itu. 


Realokasi APBD untuk Corona
Saya perhatikan selama ini Abas sangat atraktif melakukan sosialisasi virus corona tetapi miskin tindakan yang efektif secara langsung bisa dirasakan untuk mengatasi penyebaran corona. Mengapa saya katakan tanpa tindakan efektif ? karena sampai sekarang Abas telah membuat kebijakan begitu banyak untuk mengatasi penyebaran virus corona seperti perintah gubernur melakukan sosial distancing. Bahkan ada wacana mau lakukan lockdown. Tapi itu hanya omongan doang. Mengapa?

Sampai sekarang Abas belum melaksanakan realokasi APBD. Sesuai arahan Presiden, pemerintah daerah dalam hal ini gubernur dan DPRD wajib membahas relokasi anggaran yang mengutamakan pencegahan COVID-19. DKI hanya menggunakan biaya tidak terduga (BTT) dalam APBD 2020 senilai Rp 183 miliar untuk penanganan Corona. Namun dana tersebut dirasa masih kurang dan perlu pengalihan dari alokasi anggaran untuk penanganan Corona. Apalagi DKI menerapkan social distancing secara ekstrim. Menutup semua tempat keramaian dan wisata.

DKI punya anggaran sebesar Rp 87,95 Triliun. Sesuai perintah Presiden agar APBD itu di realokasi untuk COVID 19. Kalaulah anggaran non prioritas bisa dialokasikan untuk COVID-19, itu sedikitnya bisa mencapai 10% dari APBD atau Rp. 8,7 triliun. Itu besar sekali untuk memerangi COVID 19. Dengan begitu DKI punya uang untuk melakukan aksi nyata memerangi COVID-19. Punya uang beli sendiri masker dan bagikan gratis kepada Rakyat yang diwajibkan social distancing. Bagikan APD kepada paramedis dengan cepat. Beli alat rapid test agar bisa segera dilakukan test massal. Memberi BLT kepada mereka terkena dampak ekonomi akibat social distancing. Yang ada sekarang DKI hanya jadi distribusi dari hasil sumbangan publik dan anggaran BPBN.

Apapun kebijakan tanpa uang , itu hanya omong kosong. Padahal uang ada. Tetapi mengapa lambat sekali PEMDA melakukan realokasi APBD? Ini berkaitan dengan proyek yang sudah terlanjur dijanjikan kepada rekanan dan para stakeholder. Kalau terjadi realokasi, pasti banyak proyek batal atau tertunda. Padahal sebentar lagi mau PILKADA serentak. Semua partai butuh uang untuk jadi pemenang menempatkan kadernya jadi raja kecil di Daerah.

Dengan belum adanya realokasi APBD apakah bisa dikatakan PEMDA serius memerangi COVID-19? Apakah sesuai dengan omongannya: engga penting Ekonomi, utamakan kemanusiaan. Saran saya, udahan wacana yang engga jelas. Segera rapat DPRD dan GUBERNUR/Walikota/Bupati. Hapus semua anggaran non prioritas dan alihkan ke COVID1-19. Lakukan segera.! Kalau engga mau, sebaiknya DIAM!

UU Karantina (Lockdown ).
Selama ini kita sering mendengar istilah lockdown. Yang dimaksud lockdown itu adalah menutup pintu keluar masuk wilayah, dan melarang orang keluar dari rumah tanpa izin dari pemerintah. Dalam UU yang dimaksud dengan lockdown itu adalah karantina wilayah atau nasional. Mari kita bahas UU karantina itu.

Yang dimaksud dengan UU itu adalah UU Karantina Kesehatan No 6/2018. Apa jadinya kalau Pemerintah menerapkan karantina ? Contoh karantina diberlakukan di Jakarta. Maka pemda DKI harus memperlakukan sama kepada setiap orang ( pasal 7). Tidak ada kaya atau miskin. Apa perlakuan itu? Pasal 8, hak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama Karantina.

Kemudian apakah segampang itu PEMDA menetapkan lockdown? Perhatikan Pasal 10 ( Bab IV). Sebelum menetapkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, Pemerintah Pusat terlebih dahulu menetapkan jenis penyakit dan faktor risiko yang dapat menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Ukuran faktor resiko ini tidak bisa berdasarkan persepsi, feeling, rumor dan kepanikan. Tetapi atas dasar data yang akurat sehingga memastikan tingkat resiko yang ada. Masalahnya apakah PEMDA sudah melakukan Test secara massal? Berapa tingkat orang terinpeksi, suspek yang jadi patokan?. Seratus, seribu atau berapa? kan engga bisa hanya 1 atau 5 orang lantas mengumumkan karantina.

Lantas apa benar pemerintah harus melaksanakan Karantina itu? Pada pasal 11 disebutkan, harus mempertimbangkan kedaulatan negara, keamanan, ekonomi, sosial, dan budaya. Jadi kalau karantina itu seperti pasal 7, 8, jelas tidak bisa diterapkan karantina. Mengapa ? Apakah sudah dipikirkan dampak logistik kalau sampai menutup pintu masuk atau keluar wilayah. Kalau karantina dilakukan secara ektrim, orang dipaksa tinggal di rumah. Melanggar berarti pidana. Maka apakah ada anggaran untuk itu kasih makan semua orang? Apakah siap peralatan medis dan RS untuk itu? Bagaimana dampaknya kalau anggaran tidak tersedia sementara karantina dilakukan? pasti Chaos. Pasal 11 jelas jadi dasar mengapa pemerintah tidak menempatkan lockdown sabagai opsi pertama.

Bagaimana dengan anggaran? pada pasal 6, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap ketersediaan sumber daya yang diperlukan dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan. Jokowi sudah instruksikan PEMDA bersama DPRD melakukan realokasi APBD untuk anggaran penanggulangan Virus Corona. Apakah sudah ada PEMDA dan DPRD melakukan realokasi APBD? sampai sekarang menurut catatan saya belum ada realokasi APBD. BIsa ditebak. Anggaran yang ada itu sudah ada jatah proyek, dan anggota DPRD dan PEMDA udah kadung janji sama rekanan. Itu soal fee.

Jokowi sudah siapkan PERPPU untuk recovery Bond dalam rangka penyediaan anggaran corona, tetapi tetap butuh DPR. Apakah akan disetujui DPR? Belum tahu. Mengapa? Keliatannya kalau soal duit, DPR dan DPRD ogah ada perubahan alokasi. Susah banget. Apalagi dana stimulus ini akan menguntungkan Jokowi dan PDIP secara politk, maklum itu termasuk anggaran BLT.

Jadi anda bisa nilai sendiri. Mengapa terjadi keterlambatan proses penanganan Corona ini?. Semua elite politik dan kepala Daerah adu jago ngomong soal kepedulian kepada rakyat, adu cepat mau lockdown, tetapi kalau soal duit, semua mingkem. Mengapa? mereka tahu dan sangat paham bahwa lockdown bukan opsi yang dipilih tetapi sosial distancing dan physical distancing. Namun lockdown itu jadi istilah seksi agar mereka dianggap peduli kepada rakyat dan itu perlu menjelang PILKADA serentak sebentar lagi.

Tanya jawab sosial media
“ Babo, [Awal Januari 2020] Anies udah ngawasin orang sejak awal. Anies satu2nya pejabat yang concern banget sama Corona pada saat itu sampe dikritik sama lawan politiknya dengan alasan bikin takut. sampe buzzer kubu pemerintah ngehujat abis anies baswedan 

“ Apa yang disampaikan Anies itu tanpa data dan fakta. Seharusnya ada data analis secara konprehensinve terhadap penyebaran Virus Corona itu. Dia libatkan Dinas kesehatan untuk melakukan test sampling pada setiap orang datang dari luar negeri untuk mengetahui sejauhmana kecurigaan penyebaran itu. Nah data itulah yang dipakai untuk disampaikan kepada publik dan DPRD, maupun pusat. Mengapa itu tidak dilakukan? Mengapa cuma omong doang? Mau cari panggung?

“ Disaat itu pemerintah pusat masih sombong dengan bantah Riset Harvard melalui mulut kemenkes (https://katadata.co.id/.../menkes-terawan-tantang... ), termasuk diantaranya ngebantah keraguan PM Australia karena idonesia masih zero case.(https://www.cnbcindonesia.com/.../heboh-pm-australia... ).

“ Pemerintah itu kerja bukan berdasarkan rumor dan feeling tetapi fakta. Memang saat itu tidak ada laporan dari RS ada kasus corona.
“ Jangan lupa meme-meme buzzer kubu pemerintah Permadi arya (Abu Janda) yang giring opini "Orang "indonesia kebal corona karena imunnya beda sama orang luar negeri, cukup minum tolak angin lah, dikerokin lah, indonesia ga takut corona lah dll". (https://twitter.com/permadiakt.../status/1234692301932224514 ).

“ Dampak kepanikan berlebihan jauh lebih buruk dari corona itu sendiri. Karena bisa berimplikasi kepada menurunnya daya tahan tubuh dan chaos sosial. Mereka berusaha membantu agar tidak ada kepanikan berlebihan.”

“ [Januari-Februari] Bandara masih dibuka untuk umum termasuk turis dari China, pemerintah bahkan sempet2nya mikir CUAN dari pariwisata (entah apa yang merasuki] kalian) dan sempat keluar wacana Promosi tiket,( https://twitter.com/jokowi/status/1229357732630650881 ) termasuk 72 Miliar buat influencer, meskipun udh ditunda, kenapa ga dialihkan buat corona ya ? hmm (https://bisnis.tempo.co/.../indonesia-positif-corona... ).

“ Kamu harus tahu. Untuk menutup Bandara tidak bisa atas dasar rumor dan feeling saja. Harus ada data faktual sebagai dasar penutupan bandara. Mengapa? Bandara itu berhubungan langsung dengan international dan banyak stakeholder terkait dengan bandara. Kalau ditutup tanpa data yang akurat maka pemerintah bisa dituntut secara international. Penutupan bandara untuk turis China saja, itu dilakukan lewat politik tingkat tinggi antara Jokowi dan Xijinping. Nah setelah ada fakta confirmed Corona, barulah kita punya dasar hukum untuk menutup bandara secara resmi bukan hanya china tetapi beberapa negara.

“ [Awal Maret 2020] Anies ngasih data Orang dalam pengawasan dan pasien dalam pengawasan ke masyarakat supaya aware sama corona, dibantah sama Kemenkes, (https://www.wartaekonomi.co.id/.../terawan-bungkam-mulut... ). Alasan Pemerintah pusat simpel "JANGAN BIKIN KEPANIKAN", padahal transparansi data itu perlu. Bahkan sampe saat itu Pemerintah pusat belom ngeluarin istilah2 "social distancing" seperti yang dikampanyekan saat ini. Pemerintah pusat masih sibuk bantah sana sini. nih salah satunya yang greget. (https://republika.co.id/.../kelakar-menhub-kita-kebal... ).

“ Data yang disampaikan Anies itu semua sudah di Check. Menurut Terawan, semua pemeriksaan terhadap pasien yang diduga terinfeksi virus novel corona (Covid-19) menunjukkan hasil negatif.”
“ [2 Maret 2020] Tepat 2 Hari setelah anies dibantah sama terawan (menkes), presiden jokowi umumin 2 orang positif corona dimana 2 orang itu udah jadi pasien dalam pengawasan anies dan pemprov. Baru lah mulai tuh kalian (TELAT) teriak "social distancing" dimana penyebaran udah jelas2 dari bulan februari berdasarkan data pnemonia pemprov. Artinya secara tuh Orang Jepang yang positif corona udah masuk ke Indonesia dan ga tau dia kemana aja selain ke pesta dansa itu (yg nularin pasien 01 dan 02).”

“ Apakah data dua orang yang terinfeksi itu termasuk dalam data yang diberikan Anies ?kan engga. Fakta dua orang itu bukan data yang diberikan anies. Tetapi data yang tidak terjangkau oleh Anies. Kalaulah dari awal anies memberikan data dengan serius dan benar, tentu boleh dikatakan anies kerja benar. Engga bisa koinsiden jadikan pembenaran ramalan.”

“ Bayangin kalo tuh virus ga kedetect dan udah nyebar dari pertengahan bulan Februari, tapi belum ada gejala (secara alat deteksi corona di indonesia belom ada, cuma pake thermal scaner), sedangkan pada saat itu bisa aja virus masuk lewat KRL, TJ, atau angkutan umum lainnya, ya mau gimanapun pasti itu udah nyebar di jakarta, apalagi KRL itu dilewati 3 kota (jakarta-depok-bogor).

“ Engga perlu dibayangin. Karena data membuktikan memang sejak februari tidak ada confirmed corona.”

“ Jadi jelas dari awal pemerintah pusat itu ga jelas dalam penanganan corona terus sekarang dimata netizen yg dulu teriak2 "indo kebal corona" pemerintah pusat dianggap hero. Bos, hero tuh tenaga medis, dokter dll. Mereka yang layak kalian Apresiasi. Bukan pemerintah pusat. Dokter aja banyak yang berselisih pendapat sama pemerintah pusat kok, jangan lo anggep mereka sejalan, coba nonton ILC corona (https://www.youtube.com/watch?v=t6eugsqoJlk ). “

“ Virus Corona itu tidak menyebar lewat airbone, khususnya daerah tropik. Itu valid dari ahli virulogi. Penyebaran yang terjadi bukan dari udara tetapi dari orang ke orang yang dalam kondisi closer to closer. Makanya kita tidak memilih opsi lockdown ekrim seperti di Wuhan tetapi social distancing. Dan lagi tidak ada satupun negara yang siap menangani corona seperti China lakukan.”

"Terus sekarang kita beratu lawan corona, jangan pecah2, gausah saling menyalahkan", halah bahasa lu kaya buzzer udah kalah argumen, kaya politikus lagi pencitraan di media, kata2 gini tuh harusnya keluar dari januari, MENCEGAH LEBIH BAIK DARIPADA MENGOBATI, meskipun gabisa dicegah ya at least dari awal kalo ada yang ngingetin JANGAN NGEBANTAH bos, kerjaan pemerintah diawal kan ngebantah2 doang, mungkin karena takut investor kabur, padahal investor itu ngeliat dari bagaimana negara serius nanganin masalah (https://tirto.id/dana-rp72-miliar-buat-influencer-redam... ).

“ Selagi belum ada dana realokasi APBD untuk covid 19, itu sama saja bohong alis omong doang. Sebaiknya diam saja. Jadi engga ada polemik.”

“ Lo suruh rakyat jangan mudik, tapi lo masih buka akses antar kota buat umum, bandara masih diablak buat turis asing. Lamban bos. kebanyakan evaluasi, mentingin cuan, keburu virus nyebar. (https://money.kompas.com/.../banyak-pemda-ingin-tutup... )

“ Pencegahan lewat penutupan akses keluar masuk itu harus sesuai dengan UU karatina. Apakah pemda sudah alokasikan anggaran untuk lockdown wilayah? Sampai sekarang belum PEMDA yang mau realokasi anggaran untuk covid 19.”

“ Gw nulis ini karena ada beberapa pihak yang ingin cuci tangan melalui buzzer2 dan meme2 yang bilang "pemerintah cape2 ngasih aturan, rakyat susah dibilangin", coy pemerintah pusat ae ngebanyol dari awal, jadi 22nya salah. (Rakyat yang mudik karena kurang informasi dan edukasi dan Pemerintah pusat yang jelas2 dan sangat jelas telat dan banyak ngebanyol dari awal ga ada kebijakan yang jelas). Inget bos, pemerintah itu ngelola pajak, pajak yang kita bayar setiap hari lewat PPN, setiap tahun lewat PPh, dll. Mereka kalo ga becus ngelola ya jangan ngejabat. "yaudah lu aja sana jadi pemerintah, kaya bisa aja lu", gw ga bisa tapi kalo di kritik sama ahli2 yang diluar pemerintahan itu di dengerin jangan Denial mulu. Terutama lewat 2 congor istana si ngabalin dan fajroel rahman. (https://www.tribunnews.com/.../indonesia-bersih-dari... ),  Jadi stop cuciin tangan pemerintah pusat dengan ngolok2 warga yg mudik karena kurang informasi dan edukasi karena dari awal pemerintah pusat sendiri nyepelein.

“ Sudah dibilang bahwa penyebaran virus di indonesia itu dari orang ke orang bukan dari udara ( airbone). Jadi pelarangan mudik itu yang bisa menimbulkan keramaian berpotensi terjadi penyebaran virus.

“ Terakhir, kalo emang ga mau ada mudik kenapa transportasi masih open buat warga ? buat apa tuh kemenhub punya otoritas ? mungkin warga mikir "toh terminal aja masih buka ya artinya boleh mudik". Pemerintah pusat tuh punya otoritas lewat kebijakan yang kemudian jadi HUKUM, mau lewat Permen atau Perpu terserah asal jelas ngurangin mobilitas. kalo kata bang Haris Azhar, pemerintah ikut2an teriak himbauan doang mah ga guna karena itu tugasnya dokter2 + influencer bos, bukan pemerintah.”


“ Tidak ada larangan kendaraan keluar masuk karena kita belum menerapkan UU Karantina kesehatan. Yang ada adalah social distancing. Kalau terminal ramai, maka polisi wajib bubarkan. Nah tinggal kalau mau mudik, bisa engga angkutan melakukan operasi tanpa ada keramaian. Itu tugas PEMDA memikirkan. Artinya bukan angkutan dikurangi tetapi justru ditambah agar tidak berdesakan dan jarak antar penumpang tetap sesuai dengan aturan social distancing.”

Essay corona
Baru saja saya bercengkrama dengan teman teman via WG. Kami asyik mengulas apa saja secara ringan. Kadang saling olok soal tidak penting. Ada juga share begitu saja tulisan, gambar, video soal  Covid 19.  Semua kami memang punya waktu luang. Tidak seperti biasanya WG hanya sekedar wahana share tanpa ada komen. Entah dibaca atau tidak. Karena semua sibuk dengan dirinya masing masing. Namun kini semua begitu asyik. WG ramai , saling bertaut. Andaikan tidak ada  WG mungkin stay at home sangat membosankan. 

Sehabis sholat Ashar saya pergi ke depan komplek perumahan saya. Tidak lupa pakai masker. Karena saya akan pergi ketempat cukur rambut.  Tempatnya bersih. Ada AC. Ongkos cukup murah saja. Hanya Rp. 25.000. Bayangkan kalau di plaza indonesia tempat cukur pavorit saya ongkosnya Rp 150.000. Tukang cukurnya orang Sunda dan ramah. Dia juga pakai masker. 
“ Kamu engga tahu kalau pemerintah himbau agar kurangi kegiatan di luar rumah? tanya saya.
“ Tahu pak. Tapi kalau saya engga kerja, darimana dapat duit. Kan hari hari perlu ongkos. “ Katanya.
“ Engga kawatir dengan Virus Corona?
“ Kan saya udah pakai masker. Kalau kena juga ya pasrah saja. Mau gimana  lagi.”

Kebanyakan orang Indonesia seperti tukang cukur itu. Kehidupan utopia hanya mereka dengar menjelang pemilu dan di tempat kotbah. Dalam kesehariannya mereka harus menghadapi realitas. Jangankan perang dengan wabah, perang dengan kehidupan untuk bertahan hidup saja mereka sudah sangat lelah. Mereka tidak punya tabungan sebagai penyangga bila ada krisis. Hidup mereka rentan sekali. Bahkan sedikit saja ada gejolak, itu adalah lonceng menuju prahara yang tak siap mereka hadapi.

Teringat kemarin saya berbicara via facetime dengan teman yang bekerja di Bank di London. Banyak negara yang tidak siap menghadapi wabah Corona.  Pakistan dan India termasuk Afrika, Amerika Latin, mereka lebih memilih pasrah. Mungikin banyak korban berjatuhan namun angka sepertinya disembuyikan.  Bukan karena mereka sengaja menutupi angka itu, tetapi untuk apa ? kalau faktanya mereka memang tidak siap menghadapi wabah ini. Defisit angaran mereka menganga. Hutang bertumpuk dan masalah sosial akibat konflik politik jauh lebih besar daripada wabah corona itu sendiri dan itu tidak pernah bisa mereka selesaikan. Dan dunia tidak peduli. Berbuih lidah mereka berharap ada moratorium hutang tetapi apakah negara kaya pernah mendengar keluhan mereka. 

Jadi apa yang harus mereka lakukan? 

Mungkin seperti kata hukum alam. Alam yang akan menyelesaikannya. Waktu yang akan memperbaikinya. Kalau negara maju seperti AS dan China belum bisa menemukan vaksi  dengan cepat, maka biarkan proses alam terjadi untuk menciptakan vaksin alami. Mungkin herd Immunity adalah pilihan sebagai pecundang. Namun menerima konsekwensi alam tanpa keluh kesah adalah keberanain itu sendiri. Karena banyak orang siap hidup tapi tidak siap mati.  Mungkin saja karena proses herd immunity semua orang atau sekitar 60%  tertular virus  dan 10% akan jadi meninggal. Tetapi kalau karena itu bisa melahirkan komunitas kebal, itulah yang terbaik menurut titah alam. Tetap harus bersyukur. 

Setidaknya rakyat sudah paham bahwa mereka harus menjaga diri dari penularan. Menggunakan masker dan menghindari keramaian.  Menjauhkan orang tua dari orang muda dan anak anak. Agar tidak menular. Karena dampak virus corona bagi orang tua sangat fatal.  Tidak seperti penularan bagi orang muda dan anak anak yang katanya tingkat fatalnya hanya 0,2%. Namun lockdown bukanlah pilihan bijak. Ketika negara tidak bisa menghadapi masalah, Alam punya cara untuk menyelesaikannya.. Walau itu beresiko namun bukankah hidup memang beresiko. 

Seusai cukur rambut saya memberi uang pecahan Rp 100.000 tanpa berharap kembalian. Tukang cukur itu tersenyum senang dan berterimakasih. Saya sempat termenung. Teringat dengan kata kata teman saya di China waktu wabah terjadi di Wuhan. 

“ Mungkin sebagian kelompok menengah selama ini sibuk menikmati keramaian di pusat wisata dunia, makan di restoran mahal, dan menghabiskan waktu di cafe berkelas. Di sisi lain ada kerumunan orang banyak yang penghasilannya sebulan sama dengan bill mereka sekali makan di restoran atau cafe berkelas.  Di saat ada wabah virus ini semua peduli akan resiko kematian, sementara kaum bawah setiap hari mereka mengalami resiko dalam banyak hal. Apakah bijak bila memaksa mereka punya sikap sama dengan kita sementara masalah utama mereka selama ini kita acuh. 

Virus adalah makhluk kecil. Tak bisa dilihat dengan mata. Hanya dipahami dari media massa, dan dipercaya apa kata orang. Namun dari sebuah nama corona, Tuhan sedang berdialogh dengan kita tentang kepedulian dan rasa syukur. Dan itu narasinya mengingatkan kepada resiko kematian. Tuhan tidak berbicara tentang sorga dan neraka sebagai solusi. Tetapi kebersamaan atas dasar cinta-lah sebagai solusi. Kalau anda tidak ingin orang miskin tidak menjadi sumber penularan wabah, maka mulai kini dan besok yakinkan kepada diri sendiri untuk peduli kepada mereka. Suka tidak suka, hidup anda bergantung kepada orang lain. Tidak bisa hidup sendirian di bumi ini. Membantu orang lain sesungguhnya membantu diri anda sendiri…

Akankan keberadaan virus corona ini bisa melahirkan transformasi ekonomi , sosial dan politik termasuk kehidupan beragama  dari kepentingan atas nama  kelompok atau bangsa , menjadi kepentingan cinta bagi semua? 

***
Jangan panik
Tadi sempat ngobrol santai dengan teman. Satunya panik karena beberapa saham yang dia tahan, kini harganya terjun bebas. Mata uang rupiah jatuh. Apa yang terjadi ? kekayaannya menyusut di bursa. Bisnis barang impor semakin mahal, sementara permintaan menurun. “ Saya tidak tahu apa yang akan terjadi kalau sampai kota di lockdown. Kalau bisnis jatuh, terpaksa PHK. Mau gimana lagi”. 

Ada juga teman yang punya pabrik mengeluh. Bisnis sekarang sudah sulit, katanya. Karena modal kerja dan investasi dari bank dipersulit sejak berlakunya sistem akuntasi yang baru, yang mengharuskan perbankan memiliki cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) yang lebih besar dibanding sebelumnya. Akibatnya bank hanya akan memberikan pinjaman yang aman. Atau istilah keren back to back. Ekspansi kredit beresiko sudah terhenti sama sekali dengan sistem akuntasi ini. Produktifitas jelas menurun. Jadi wajar saja ekpektasi bursa sangat rendah terhadap masa depan perusahaan. Apalagi kalau sampai ada lockdown seperti di China.

Saya hanya tersenyum.  


Salah satu petugas cafe, bertanya kepada saya ketika menyediakan minuman. “ Pak jadi ya Jakarta di lokdon?   
“ Apa yang kamu tahu soal lokdon” tanya saya balik.
“ Kita engga bisa keluar rumah dan engga bisa kerja.”
“ Terus “
“ Saya mikirkan gimana nasip saya. Saya harus bayar kosan, bayar cicilan motor, dan makan. Kalau saya engga kerja, pasti engga terima gaji. Walau hanya dua minggu tetap saja gaji saya dipotong.”
“ Kamu engga ada tabungan?
“ Boro boro nabung.  Gaji aja kadang kurang. “
“ Ya udah tenang saja. Jokowi sudah bilang tidak akan ada lokdon. Kalaupun terpaksa dilakukan secara terbatas,   pasti ada kebijakan membantu anda yang jadi korban dari dampak kebijakan lokdon itu”

Dia tersenyum senang. 

Kedua teman saya saling tatap. “ Kita dan dia sama saja. Kita panik memikirkan keadaan pendapatan yang turun. Ancaman lockdown jauh lebih menakutkan daripada virus corona itu sendiri.” Kata saya. Mereka berdua tertawa. 

“ Jadi sebenarnya pantasikah kita panik soal corona ini ? tanya mereka.

“ Yang paling penting, para ahli dapat mengenali penyakit dengan sangat cepat dibandingkan dengan wabah lainnya. Virus ini diidentifikasi dalam waktu tujuh hari sejak pengumuman resmi pada tanggal 31 Desember 2019, dan kemudian tiga hari kemudian, urutan gennya diketahui. Aids, sebaliknya, butuh dua tahun untuk mengidentifikasi. Sudah ada alat test virus corona  untuk  mengetahui dengan cepat seseorang itu terkena infeksi atau tidak”

“ Bagaimana dengan di China?

“ Berdasarkan pengalaman di Cina, 81 persen orang yang tertular virus hanya akan mengalami penyakit ringan yang tidak terlalu berbeda dengan flu musiman. Orang muda khususnya, termasuk anak-anak, sebagian besar tidak terpengaruh oleh infeksi dan bahkan orang di bawah 40 tahun hanya menghadapi angka kematian 0,2 persen. Tingkat penularan di antara anggota keluarga adalah 10,5%. Itu berarti bahwa hanya sekitar 1 dari 10 anggota keluarga yang kena tular. “

“ Jadi memang tidak seharusnya panik.” kata mereka.

“ Benar, tetapi kamu harus mengubah standar hidup kamu. Mulailah hidup bersih. Konsumsi vitamin C agar tingkat imune kita  tinggi. Sering sering cuci tangan. Tidak perlu berjabat tangan. Jaga jarak. Hindari kemaraian. Yakinkan pada diri sendiri, bahwa kalau kita sehat, kita telah ambil bagian membuat orang lain juga sehat. Kalau sampai kita terkena virus segera  ke RS atau mengkarantina diri agar orang lain tidak tertular. Tanamkan pada diri sendiri, bahwa kita boleh sakit, tetapi tidak boleh orang sakit karena kita. 

Jadi ini masalah mindset, masalah mental. Kalau kita perbaiki mental kita, maka bukan hanya corona bisa kita hindari, penyakit lain juga akan terhindar. Kalau badan sehat, pikiran juga sehat, masalah ekonomi dan bisnis juga bisa kita hadapi dengan jenial. Jangan panik dan nikmat hidup dengan cara sederhana.

***
Dalam Fatwa MUI, point 2, “ Orang yang telah terpapar virus corona, wajib menjaga dan mengisolasi diri agar tidak terjadi penularan kepada orang lain. Baginya shalat Jumat dapat diganti dengan shalat zuhur di tempat kediaman, karena shalat Jumat merupakan ibadah wajib yang melibatkan banyak orang sehingga berpeluang terjadinya penularan virus secara massal. Baginya haram melakukan aktivitas ibadah sunnah yang membuka peluang terjadinya penularan, seperti jemaah shalat lima waktu atau rawatib, shalat tarawih, dan ied, (yang dilakukan) di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan tabligh akbar.

Saya ingin menggaris bawahi istilah “ Haram” yang dipakai MUI dalam Fatwa tersebut. Hukumnya “ haram” bagi yang terpapar (sesuai point 2). Pertanyaannya adalah bagaimana orang bisa tahu , dia terpapar atau tidak kalau dia sendiri tidak pernah periksa ke Rumah sakit sesuai dengan standar medis? Ada diatas 200 juta umat islam di Indonesia, apakah mereka sudah memeriksakan dirinya terpapar atau tidak? Nah kalau dia tidak tahu karena tidak mau memeriksakan diri ke RS, dan apakah dia termasuk point 2 dalam fatwa MUI itu?

Mungkin pertanyaan saya itu sudah terjawab lewat Fatwa pada point 1, “ Setiap orang wajib melakukan ikhtiar menjaga kesehatan dan menjauhi setiap hal yang diyakini dapat menyebabkannya terpapar penyakit, karena hal itu merupakan bagian dari menjaga tujuan pokok beragama (al-Dharuriyat al-Khams). Artinya, tanpa perlu memeriksakan diri di RS ( apakah terpapar atau tidak) sebaiknya umat islam mengikuti ketentuan fatwa point 2.

Mengapa ?

Itu sudah di jelaskan “pada point 3”, Orang yang sehat dan yang belum diketahui atau diyakini tidak terpapar COVID-19, tetap waspada di wilayah yang tingkat penularannya tinggi. “ Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia boleh meninggalkan salat Jumat dan menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat kediaman, serta meninggalkan jamaah shalat lima waktu atau rawatib, tarawih, dan ied di masjid atau tempat umum lainnya.

Nah ukuran kawasan yang potensi penularan itu, bukan dari MUI tetapi dari pemerintah. Jadi kalau pemerintah sudah himbau jangan beraktifitas di luar rumah dan hindai keramaian maka point 3 (a) itu berlaku. Sampai kapan? sampai pemerintah mencabut himbauan itu, sehingga point hurup b dalam fatwa MUI, bisa berlaku. Itu sebabnya, UAS pun membatalkan semua acara tablik nya.

Saya paham, bagi aliran Salafi, sholat di Masjid itu wajib hukumnya. Tentu fatwa MUI ini sangat bertentangan dengan mahzab mereka. Seyogianya bisa bijak, jangan hanya meliat fatwa MUI sabagai hal berdiri sendiri, tetapi juga lihat dalam rangka mengikuti himbauan pemerintah, dimana Islam patuh kepada pemimpin atau umarah, dan itu bagian dari keimanan. Engga usah ngeyel. Kalau anda menularkan penyakit kepada orang lain, itu akhlak buruk. Apa artinya sholat kalau akhlak buruk.

***
Fatwa MUI sudah jelas  dalam menyikapi wabah virus corona. Singkatnya ikuti dan dengar himbauan pemerintah.  Pemerintah Arab dan negara lain seperti Malaysia juga melakukan larangan sholat berjamaah di Masjid. Mengapa? Untuk menghindari orang terpapar virus corona dari adanya keramaian. Apakah karena itu orang islam harus kecewa dengan sikap Pemerintah dan MUI? bukankah ALlah maha Penolong dan Penjaga. Mengapa takut dengan Virus Corona. ?

Untuk menjawab itu, saya ingin uraikan secara singkat hal sebagai berikut :

Pertama, hak anda untuk melaksanakan ritual agama, itu tidak dilarang. Tetapi hak orang lain agar tidak terpapar virus juga harus dihormati. Contoh dari kegiatan tablig akbar di Malaysia, itu telah ikut menyebarkan virus kemana mana. Masalahnya virus tidak mengenal agama untuk menulari orang lain. Apa jadinya kalau ada menularkan virus itu kepada orang non muslim, padahal mereka tidak ikut dalam tablig akbar itu. Islam harus menebarkan kebaikan dan menjaga diri agar tidak merugikan orang lain. Kalau karena kegiatan agama, lantas kita menularkan penyakit kepada orang lain, lantas dimana  nilai nilai agama?

Kedua, benar bahwa Allah maha penjaga. Tetapi rumah anda tidak dikunci, jangan salahkan Allah kalau maling masuk. Memang Allah maha pemberi rezeki, tetapi kalau anda tidak bekerja , mana mungkin rezeki datang. Apa artinya? kehidupan ini selain kita percaya kepada Allah, kita juga harus percaya hukum ketetapan Allah atau sunatullah. Hukum sebab akibat.  Kalau engga, kita tidak bisa dikatakan beriman secara kaffah.

Ketiga, kita tidak takut kepada selain Allah, apalagi virus yang kecil. Tetapi kita wajib menghindari bala kalau kita tahu pasti bala itu akan datang. Kalau kita menghindar dari sarang harimau bukan berarti kita takut kepada harimau. Tetapi kita wajib menghindar karena petugas kebun binatang sudah peringatkan agar menjauh. Harimau tidak meliat agama apa orang itu untuk memangsa anda. Nah virus corona itu sudah dinyatakan sebagai bencana nasional non alam oleh pemerintah. Artinya bala itu sudah diketahui oleh semua orang. Hindarilah sesuai anjuran pemerintah dan MUI.

Seharusnya ormas islam di garis depan memimpin bantuan kepada orang ramai, dengan membantu pemerintah mesosialisasikan agar orang menghindari keramaian. Memberikan masker gratis kepada orang banyak. Mengadvokasi masyarakat mendapatkan akses layanan test kesehatan berkaitan dengan virus corona. Ikut mencerahkan masyarakat agar tidak panik dan tetap tenang. Jangan malah menciptakan hoax bernada provokasi menciptakan instabilitas politik dan kebencian. Ada baiknya belajar dari China bagaimana mereka bersatu dan bahu membahu malakukan apa saja yang bisa mereka lakukan membantu pemerintah menghadapi perang melawan virus.  Nah, kalau yakin Islam rahamatan lilalamin, maka pastikan islam harus lebih baik dari China, bukan dengan retorika tetapi dengan perbuatan. Buktikan itu. Saatnya sekarang membuktikan itu kalau ingin syiar islam terpancar keseluruh dunia. Jangan tiru Abas, ngomong doang tapi tindakan tidak ada, malah bikin panik dan menimbulkan masalah baru.

***
Dalam kasus Corona, Mardani mengatakan, ”Dalam kondisi pandemik, kebijakan yang berbeda-beda tidak efektif. Pola Pak Jokowi menyerahkan pada kepala daerah seperti lepas tanggung jawab. Mesti ada satu kebijakan nasional yang diikuti oleh seluruh pihak, termasuk seluruh kepala daerah.”

Saya ingin mendudukan persoalan secara proporsional. Kasus Virus Corona ini sudah masuk dalam bancana nasional. Presiden sebagai Kepala Negara sudah perintahkan agar BNPB untuk masuk. Itupun agar peran BNPB tetap di bawah koodinasi, Presiden membentuk gugus tugas, dimana BIN, TNI dan POLRI duduk sebagai team gugus tugas dan dibantu oleh menteri terkait. Mengapa Presiden tidak langusung terlibat memimpin penanggulangan Virus Corona ini ? UU kita tidak begitu. Presiden hanya menjalankan amanah UU.

Perhatikan, berdasarkan UU No. 24 tahun 2007 wewenang ada pada BNPB ( Badan Nasional Penanggulangan Bencana ). Nah mengatasinya bencana itu sesuai dengan pasal 35 dan 36 UU No. 24/2007, agar setiap daerah dalam upaya penanggulangan bencana, mempunyai perencanaan penanggulangan bencana. Secara lebih rinci disebutkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.

Apa artinya? Sistem kita memang menyerahkan masalah penanggulangan bencana kepada Daerah. Sementara peran pusat adalah memberikan bantuan teknis dan anggaran yang diperlukan. Tentu harus berkoordinasi dengan BNPB. Engga bisa Pemda main langsung aja berbuat sesukanya tanpa koordinasi dengan BNPB. Itu contoh seperti Abas yang buat kebijakan mengurangi transportasi publik, langsung dicemes oleh Jokowi dan terpaksa batalkan kebijakan mengurangi trasportasi publik.

Nah kalau PKS, atau Mardani inginkan Presiden terlibat langsung, maka anda sebagai anggota DPR cobalah usulkan kepada DPR agar UU itu direvisi sesuai maunya anda. Jangan menyalahkan presiden yang justru patuh melaksanakan UU. Saya paham, sebagian oposisi dan pengamat inginkan agar presiden bersikap ektrim terhadap wabah virus corona ini. Jelas sama saja itu menempatkan posisi Jokowi tersudut secara politik. Karena secara UU tidak bisa Jokowi lakukan itu. Lockdown kota atau wilayah, perlu UU yang memberikan hak kepada jokowi melakukan apa saja seperti Omnibus Law atau persetujuan DPR,. Karena ini akan berimplikasi kepada politik, sosial, budaya, agama, dan pasti menguras anggaran tidak sedikit. Semoga Mardani paham.

Pemerintah terlambat?
Team ahli dari China yang bertugas di Italia setengah putus asa. Apa pasal? karena ketidaksiapan secara mental orang Italia menghadapi wabah. Mereka panik namun mereka tidak bisa disiplin mengikuti standar pencegahan Wabah. Bukan hanya Italia tetapi negara2 Eropa lainnya juga hampir sama. Mereka panik namun tidak siap secara mental. AS juga sama. Upaya Trumps begitu keras ingin me lockdown kota tetapi tindakan itu tidak bisa sepenuhnya dilakukan. Karena anggaran lockdown tidak semudah itu lolos dari DPR. Akibatnya upaya lockdown hanya setengah setengah.

Sementara negara yang mayoritas islam sulit bergerak cepat karena alasan menjaga emosi umat islam. Lockdown akan mengurangi aktifitas Masjid. Arab Saudi baru dua hari lalu secara resmi melarang orang sholat jumat di hamalan Masjid di dua kota suci Makkah dan Madinah. Malaysia, baru dua hari lalu menyatakan lockdown. Itupun setelah ada bukti 50% yang terinfeksi virus corona adalah mereka yang ikut dalam tablikh akbar. Indonesia baru bisa bersikap melakukan lockdown terbatas setelah MUI mengeluarkan fatwa. Sementara Iran dan Irak yang punya sumber daya alam besar, namun terbatas sumber daya keuangan dan kesehatan. China membantu kedua negara itu namun tidak bisa sepenuhnya mengatasi Covid 19.

India, daerah Subkontinental, dan negara-negara Afrika, memilih pasrah. Mereka lebih memilih herd immunity. Apa itu herd community? adalah terbentuknya kekebalan komunitas terhadap wabah. Caranya ada dua. Pertama, dengan memberikan vaksin kepada orang sehat. Namun untuk kasus Covid 19 belum bisa. Karena belum ditemukan vaksinnya. Kedua, dengan membiarkan orang terpapar dan terinfeksi Covid 19. Mengingat dampak mematikan kepada usia muda dan anak sangat kecil, atau hanya 0,2%. Sementara dampak kepada orang tua usia diatas 60 sangat tinggi atau fatal. Maka sebaiknya orang tua dipisahkan dari anak anak dan orang muda. Agar orang tua tidak tertular. 

Orang yang terpapar dan terinfeksi dsarankan menjaga kesehatannya. Agar bisa melawan virus tersebut. Mungkin akan banyak makan korban. Karena tidak semua imun tubuhnya kuat. Namun tentu akan lebih banyak yang kuat. Dari yang lolos dari serangan Covid 19 ini akan kebal terhadap serangan Covid 19 selanjutnya. Maka terbentuklah komunitas imun. Virus akan mati dengan sendirinya. Herd immunity ini secara teori benar namun secara ilmiah belum bisa dipastikan untuk virus jenis Covid19. Tapi negara miskin, engga ada  pilihan. Mereka harus menerima cara herd immunity. Mereka sangat sadar kemampuan mereka tidak ada untuk bertahan menghadapi virus corona. Apalagi mengikuti standar protokol WHO secara penuh. Yang bisa mereka lakukan adalah menutup bandara secara terbatas dan lockdown secara terbatas pada wilayah tertentu.

Singkatnya bagi negara di luar China, tidak ada satupun yang bisa meniru cara China dalam hal menghadapi covid 19. Jadi tidak ada istilah terlambat bagi mereka menangani wabah virus corona.

Mengapa?

Secara budaya dan politik, mereka tidak bisa se-solid China menghadapi wabah, yang mengharuskan lockdown. Walau mereka mengagungkan agama namun secara mental mereka tidak siap menghadapi wabah virus. Secara ekonomi mereka tidak siap menahan wabah virus ini. Walau seperti AS dan Eropa, mampu dan punya uang namun kecepatan penyediaan anggaran tidak secepat China, yang seketika mengalir tanpa harus bertele tele dengan DPR. Ini juga menjadi kendala dalam upaya bergerak cepat menghadapi Covid 19.

Jadi kalau ada yang bilang pemerintah terlambat, sebetulnya mereka paham akan kemampuan sosial, politik dan ekonomi Indonesia tidak akan mampu menghadapi virus corona seperti China lakukan. Namun mereka berharap Jokowi terdorong panik hingga ketahanan ekonomi kita hancur, dan chaos terjadi. Tetapi dari awal Jokowi sangat realistis menghadapi wabah Virus corona ini. Apa itu?. Jangan panik. Pemerintah melakukan segala galanya dengan sistematis dan terukur. Karena apapun pada akhirnya harus rasional. Tidak bisa panik sehingga irasional dan ekonomi bangkrut.

Kita akan menghadapi wabah Covid19 ini secara bersama sama. Apakah kita akan melakukan soft lockdown atau full lockdown atau herd immunity, itu hanya upaya yang memang manusia ada keterbatasannya. Kuncinya persatuan dan kesatuan. Yang kaya bersabar dulu untuk tidak produksi dan membantu yang miskin. 95 juta rakyat miskin akan mendapatkan bantuan dana jaring pengaman dari pemerintah. Semua kita patuhi: Hindari keramaian. Jangan panik! Jangan mudah terprovokasi hoax. Bantuan dari negara manapun terima. Masalah kita adalah masalah dunia. Jangan sikapi negatif bantuan darimanapun datangnya, termasuk dari China. Lupakan sentimen agama dan politik. Bersama kita bisa!

Tuesday, March 10, 2020

BPJS dan SJSN

Mahkamah Agung (MA) mengabulkan judicial review Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur iuran BPJS Kesehatan. Dalam putusannya, MA membatalkan kenaikan iuran BPJS per 1 Januari 2020 yang sudah diteken Presiden Jokowi. Dengan dibatalkannya pasal di atas, maka iuran BPJS kembali ke iuran semula Rp 25.500 untuk kelas 3, Rp 51 ribu untuk kelas 2 dan Rp 80 ribu untuk kelas 1 Keputusan MA ini bermula saat Komunitas Pasien Cuci Darah (KPCDI) keberatan dengan kenaikan iuran itu. Mereka kemudian menggugat ke MA dan meminta kenaikan itu dibatalkan. Gayung bersambut. MA mengabulkan permohonan itu.

Persoalan BPJS tidak bisa dilepaskan dari adanya program JKN ( jaminan Kesehatan Nasional) yang tertuang dalam UU SJSN ( Sistem Jaminan Sosial Nasional ). Dalam UU No 40/2004 tentang SJSN prinsip gotong royong dijelaskan sebagai mekanisme saling membantu. Orang yang mampu membantu orang yang tidak mampu, orang yang sehat membantu orang yang sakit. Mekanisme ini diarahkan untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Membayar iuran JKN tidak hanya melindungi diri sendiri, tetapi juga melindungi orang lain. Nah tugas BPJS melaksanakan amanah dari UU SJSN ini, agar mekanisme gotong royong itu terlaksana.

Ini senafas dengan Pancasila sila kedua dan kelima, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab dan Keadilan sosial. Apa tujuan sebenarnya UU SJSN itu? mendudukkan hubungan konstitusional antara negara dengan warganegara. Artinya, Jaminan Kesehatan Nasional itu adalah tanggung jawab bersama antara Negara dan Warga negara ( yang mampu). Ini yang dimaksud keadilan sosial. Sementara Negara membantu mereka yang tidak mampu atau tidak punya akses kepada kesehatan, ini yang disebut dengan kemanusiaan yang adil dan beradab.

Apakah negara telah melaksanakan tanggung jawabnya? Sudah.  ada 96 juta rakyat yang tidak mampu mendapatkan gratis iuran atau disebut dengan peserta PBI atau penerima bantuan iuran.  Tahun 2019 saja negara keluar uang lewat APBN mencapai Rp. Rp 41 triliun. Tahun 2020 Rp 48,8 triliun. Ini bukan defisit BPJS , tetapi memang sumber pendapatan dari BPJS. Sisanya adalah warga negara yang mampu bayar. Namun dari mereka yang mampu bayar ini saja, BPJS masih defisit. Negara harus bailout. Apa artinya? peran serta warga negara yang mampu tidak sesuai dengan UU SJSN dan UU BPJS, apalagi dikaitkan dengan sila ke lima, keadilan sosial.

Menurut saya keputusan MK itu lebih karena adanya tumpang tindih antara UU No.40 tahun 2004 tentang SJSN dan UU No.24 tahun 2011 tentang BPJS yang multi interpretasi. Kalau DPR tidak revisi UU tersebut dalam satu payung yang jelas, maka dalam jangka panjang program Jaminan Kesehatan Nasional akan gagal. Karena tidak mungkin tercapai financial sustainability, customer satisfaction dan Universal Health Coverage (UHC). Kalaupun dipaksakan, APBN bisa jebol. Kalau jebol , tidak ada lagi keadilan sosial. Karena kan engga lucu pembayar pajak harus ngalah dengan kebijakan negara memenggal anggaran infrastruktur ekonomi demi tanggung jawab sosialnya. 

Tinjaun UU SJSN.
Dalam UU No 40/2004 tentang SJSN prinsip gotong royong dijelaskan sebagai mekanisme saling membantu. Orang yang mampu membantu orang yang tidak mampu, orang yang sehat membantu orang yang sakit. Mekanisme ini diarahkan untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Membayar iuran JKN tidak hanya melindungi diri sendiri, tetapi juga melindungi orang lain.
Yang harus dipahami, keadilan sosial bukan berarti negara menjadi penjamin atau penanggung jawab secara financial masalah sosial rakyat. Negara kita bukan komunis yang menjamin semua kebutuhan sosial rakyat. Negara kita menerapkan keadilan sosial dalam arti keadilan yang proporsional. Apa itu proporsional? Hanya mereka yang tidak mampu yang ditanggung negara. Sementara yang mampu tidak di tanggung, bahkan mereka yang mampu harus ikut bertanggung jawab terhadap kewajiban negara bagi mereka yang tidak mampu. 

Mengapa ? kalau negara menanggung semua biaya sosial, maka struktur APBN kita juga berubah. Tidak lagi menggunakan sistem I tetapi T, yaitu neraca berimbang. Dengan sistem APBN berimbang, tidak mungkin lagi negara bisa mendapatkan sumber pembiayaan dari publik kecuali dari G2G. Karena mana ada publik mau beli SBN kalau APBN dibebani biaya sosial yang tinggi.  Nah kalau G2G, kita akan terjebak dalam pinjaman bersifat politik seperti era Orde Baru. Ini sangat rentan bagi negara kita terjebak dalam neokolonialis. Jadi, sistem keadilan sosial itu tak lain, adalah memastikan rakyat ambil bagian menjaga negara ini berdiri secara mandiri menyelesaikan masalah sosial tanpa harus melibatkan bantuan asing.

Juga harus dicatat bahwa 86 % sumber pendapatan negara berasal dari pajak orang kaya. Apa artinya? kewajiban ekonomi negara sangat besar kepada pembayar pajak yang jumlahnya berdasarkan NPWP dan SPT yang masuk sebanyak 7,6 juta, silahkan bandingkan dengan jumlah penduduk 260 juta. Apa kewajiban negara tersebut ? memberikan lingkunga kerja dan bisnis yang kondusif dengan menjamin rasa aman, dan nyaman lewat penyediaan infrastruktur ekonomi dan kepastian hukum.  Ini memakan ongkos yang mahal. Nah kalau uang pajak itu habis untuk kewajiban sosial negara terhadap mayoritas penduduk yang tidak bayar pajak, maka bisnis tidak tumbuh, dan pada gilirannya penerimaan pajak akan turun, dan pasti pemerintah akan gagal melaksanakan fungsi sosialnya. Negara bubar. 

Itulah pengertian dari keadilan sosial. Dimana negara menanggung rakyat yang tidak mampu namun pada waktu bersamaan negara juga mewajibkan mereka yang mampu ikut membiayai program Jaminan Kesehatan Nasional. Artinya tidak semua menjadi tanggung jawab negara lewat APBN, tetapi ada juga peran serta masyarakat di dalamnya dalam bentuk iuran.

Keberadaan BPJS.
Untuk melaksanakan amanah UU SJSN itu maka dibentuklah UU BPJS. Tapi sayang sekali bahwa BPJS tidak bisa menterjemahkan amanah dari UU SJSN. Mengapa ? dalam UU BPJS tahun 2011 yang sudah revisi, ada pasal 4 hurup b, bahwa BPJS  menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional  berdasarkan prinsip “nirlaba”. Dengan prinsip ini memungkinkan BPJS menjadi beban negara dan tidak sesuai dengan UU SJSN.  Seharurnya prinsip “ nirlaba” itu tidak ada. Hubungan antara negara dengan BPJS sama seperti hubungan bisnis. Gimana ?

Baik saya analogikan sederhana. BPJS menghitung besaran premi yang harus dibayar oleh peserta berdasarkan prinsip bisnis asuransi dengan memperhatikan jenis asuransi, jangka waktu pertanggungan, usia dan kondisi kesehatan peserta dan jumlah pertanggungan. SOP ini harus dipatuhi. Katakanlah dari SOP ini keluar angka pertanggungan untuk kelas 1 Rp. 100.000. Kelas 2 50.000 dan kelas 3 25.000. Bagi yang tidak mampu membayar premi, negara tanggung lewat subsidi. Yang mampu, membayar. Untuk yang tidak mampu, BPJS tagih langsung ke pemerintah Daerah. Menteri keuangan salurkan subsidi itu lewat APBD. Sementara yang mampu, BPJS tagih langsung kepada peserta.

Apabila BPJS bekerja secara bisnis, maka siapapun rakyat, baik peserta bayar maupun tidak bayar, tetap berhak untuk mendapaktan layanan terbaik. Akuntabilitas lebih terjamin. Transfaransi lebih terjamin. RS juga harus melaksanakan program JKN itu secara bisnis. Tidak lagi terkesan seperti sekarang yang apa adanya. Ya sama seperti bisnis asuransi kesehatan pada umumnya. Kalau pelayangan RS buruk, BPJS bisa tuntut secara perdata. Tapi saya yakin RS juga akan enjoy karena SOP nya akan sama dengan SOP perusahaan asuransi pada umumnya.  Ya menguntungkan. Tentu mereka akan berusaha meningkatkan kualitas layanan agar mereka tidak delisting dari kemitraan dengan BPJS.

Gimana kalau BPJS untung? ya engga apa. Memang harus untung. Apakah keuntungan itu milik negara? tidak. Uang itu milik masyarakat  peserta yang dilindungi oleh UU BPJS. Itu merupakan kekayaan yang terpisah dari negara. Di semua negara yang menerapkan UU SJSN, semua penyelenggara BPJS nya untung besar, dan ini cara smart pooling fund sebagai bagian dari financial engineering  negara di luar APBN. Mengapa ? Laba itu bisa dikelola secara financial engineering untuk di leverage dalam berbagai portfolio secure investment, dan keuntungannya bisa digunakan untuk program pemberdayaan ekonomi rakyat seperti, program UKM, atau pembiayaan usaha mikro, pengadaan rumah murah, dan lain lain. 

Agar apa? dalam jangka panjang ekonomi ikut bergerak, dan orang miskin tertolong ekonominya secara langsung,  yang pada gilirannya bisa membayar sendiri iuran BPJS tanpa harus di subsidi  lagi oleh negara. Sementara akumulasi laba dari pendapatan premi tetap utuh atau tidak hilang. Ia akan menjadi jaringan pengaman sosial bagi rakyat dalam situasi andai terjadi krisis. Jadi makna gotong royong untuk kemandirian dapat terimplementasikan sesuai dengan amanah UU SJSN.

Kesimpulan.
Seyogianya Pemeritah dan DPR harus duduk bersama menyelesaikan masalah BPJS ini, dan engga bisa terus berlarut   larut defisit yang menimbulkan  polemik tak berujung. Padahal ini bukan masalah ruwet. Ini masalah sederhana dan terukur. Tinggal masalah inflementasinya. Mau engga ?

Pemerintah Suriah jatuh.

  Sebelum tahun 2010, kurs pound Syuriah (SYP) 50/1 USD. Produksi minyak 400.000 barel/hari. Sejak tahun 2011 Suriah dilanda konflik dalam n...