Sunday, February 07, 2016

Belajar dari yang gagal..

Ketika saya terpuruk secara ekonomi dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Saya mendatangi sahabat yang juga mengalami kegagalan dalam bisnis dan sedang berproses untuk bangkit. Kami berbicara banyak. Dari teman itu saya dapat pelajaran yang luar biasa bahwa ketika kita gagal sebetulnya Tuhan sedang berdialogh kepada kita. Itu merupakan jawaban atas doa kita. Apa dialogh nya ? kita melakukan banyak kesalahan yang membuat kita lemah. Ketika kita lemah maka dengan mudah di mangsa oleh predator. Jadi itu cara Tuhan menyampaikan pesan cinta agar kita berubah karena waktu. Jangan pernah berprasangka buruk dengan nasip apalagi menyalahkan Tuhan tidak adil. Jangan pernah berputus asa dengan pertolongan Tuhan. Lalui sajalah hidup dan pastikan belajar dari kesalahan yang ada. 

Apa kelemahan kita itu ? kita kadang lupa bahwa hidup harus rendah hati. Bukan merendahkan diri tapi menjadi kuat apa adanya. Tidak perlu aksesoris kata kata atau penampilan agar orang menaruh hormat tapi cukuplah menjadi diri kita sendiri yang lebih mengutamakan Tuhan, dengan menjaga diri kita selalu ikhlas.Tidak sombong dengan apa yang kita punya. Tidak berkeluh kesah dengan kegagalan kita atau menyalahkan orang lain. Mengapa ? keluh kesah itu salah satu ciri sifat sombong ditengah kegagalan dan kemiskinan. Dampaknya kita terjebak dengan berpikir sempit dan menutup diri kita terhadap hal hal yang ada di luar kita. Padahal salah satu kelemahan kita adalah tidak bisa membuka diri dan belajar dari kesuksesan orang lain. Jadi berhentilah berdoa dengan keluh kesah tapi mohon kepada Tuhan agar kita selalu kuat ditengah hantaman , merasa lapang ditengah sempit, merasa dekat ditengah rezeki menjauh. Akan selalu ada harapan selagi kita bertekad untuk berubah. Rezeki dibentangkan Allah seluas langit dan tidak ada satupun yang ada di bumi yang tidak di jamin rezekinya asalkan mau mengikuti sunatullah.

Apalagi kelemahan kita ? Kita kadang lupa bahwa hidup harus penuh cinta. Bukan mengobral cinta tapi menanamkan empati kepada siapapun dan menempatkan rasa hormat kepada siapapun. Dari itu kita sedang membangun jembatan terbukanya rezeki untuk mendapatkan modal cinta bila kelak kita habis. Bukan tidak mungkin salah satu dari mereka menjadi pembuka jalan kita meraih cahaya ditengah gelap. Seorang teman dari Korea mengenal seorang di dunia maya di Amerika. Persahabatan terbangun walau kadang banyak sikap orang amerika itu tidak dia suka namun dia berusaha mengerti. Suatu saat ketika dia berniat membangun kawasan kota di Busan, ketika semua pintu tertutup, sahabatnya didunia maya itu datang ke Seoul memberikan bantuan venture fund melalui networknya. Dia sukses...Hidup penuh cinta akan membuat anda selalu aman dan nyaman, selalu ada harapan ditengah keterpurukan karena akan selalu ada yang peduli.

Apalagi kelemahan kita ? Kita kadang lupa bahwa hidup adalah proses perjuangan melewati sunatullah. Tidak ada yang too good to be true. Semua orang harus berani melewati ketidak pastian,terluka, kadang terjatuh. Agar manusia menjadi lebih baik karena waktu. Kebanyakan kita selalu ingin gampangan dan takut mengambil resiko..Hidup selalu ingin aman. Kerjapun ingin yang gampangan. Kelola bisnis juga ingin yang gampangan. Kalau nyaman sebagai broker kenapa harus produksi. Kalau bisa dagang kenapa harus buat pabrik. Padahal ketika kita merasa aman maka saat itulah kita tidak aman. Kita memilih cara hidp dan kita sendiri yang akan menanggungnya...

Apalagi kelemahan kita ?Kurang sabar. Kita ingin semua serba tergesa gesa. Kalau buat proposal ingin segera ada orang yang peduli meng aktualkan mimpi kita,  padahal tidak mungkin deal tercipta tanpa ada cinta. Dan cinta itu butuh proses sampai orang percaya dan siap menghadang resiko bersama sama. Kita abaikan proses membangun cinta itu. Kita kurang sabar merebut hati orang untuk percaya kita dan jatuh cinta. Maunya ketemu langsung tembak.ya engga mungkinlah...

Apalagi kelemahan kita ? terlalu mencintai diri kita sendiri.Apapun yang kita miliki hanyalah cara kita mengungkapkan cinta kita pada diri kita sendiri, lupa bahwa Tuhan lah satu satunya yang berhak di cintai. Umumnya 90% kegagalan manusia dan akhirnya terpuruk tiada ujung sampai akhirnya yang sesat adalah karena terlalu mencintai dirinya sendiri. 

Jadi bila gagal diusia muda, atau terpuruk sementara badan masih sehat, maka bersyukurlah karena itu persan cinta dari Tuhan agar kita berubah sesuai yang Tuhan mau..

Sunday, January 24, 2016

Jodoh,rezeki,maut..

Ahli tasawuf mengajarkan manusia harus memikirkan diri sebagai manifestasi Tuhan. God as me. Tuhan sebagaimana saya. Sebagaimana paham wahdatul wujud, bahwa kehendak seseorang bersatu dengan kehendak Tuhan. Pada tingkat tertentu, menurut pandangan itu, dalam pengalaman ruhani yang sangat tinggi, yakni paling ujung dari seluruh perjalanan sufi, manusia tidak lagi bisa membedakan mana dirinya dan mana Tuhan. Pada tahap ini kemampuan akal tak lagi berfungsi untuk membedakan antara khalik dan makhluk, antara Tuhan dan saya. Karena berbagai peristiwa di alam ini tak lepas dari hasil yang dibentuk oleh pemikiran kita, persepsi kita, maka kita harus bertanggungjawab atas berbagai peristiwa di sekitar kita.  Jodoh ,rezeki dan maut itu adalah takdir dari Allah. Benar, karena itulah keyakinan orang ber-agama. Namun persepsi tentang takdir soal ini harus dipahami dengan baik agar kita tidak putus asa ber-agama dan bahkan berprasangka buruk kepada Allah.
Jodoh
Benar jodoh itu telah ditentukan Tuhan namun anda berperan membuat ketentuan Tuhan terwujud. Terwujudnya jodoh itu, cepat atau lambat atau tidak sama sekali berjodoh maka itu tergantung persepsi anda sendiri tentang jodoh itu . Selagi jodoh itu atas dasar persepsi "keinginan"maka siap siaplah mendapatkan kesulitan mendapatkan jodoh, kalaupun dapat maka siap siap lah berselancar di gelombang panas. Tidak siap, maka perceraian terjadi. Tapi bila persepsi tentang jodoh adalah atas dasar "kebutuhan" maka jodoh akan datang dengan mudah, bila kelak terjalin ikatan maka dua akan dipersatukan Tuhan, yang sulit dimudahkan, yang sempit akan lapang..Nah, jujurlah pada diri sendiri apakah persepsi jodoh itu atas dasar keinginan atukah kebutuhan? liatlah diri anda seutuhnya dan nilaiah sendiri, kemudian liatlah sekeliling anda siapa yang pantas untuk anda..tunggu dan itu akan datang dengan sendirinya...

Rezeki,
Setiap makhluk disediakan rezeki oleh Allah. Bumi dibentangkan tuhan sebagai rezeki yang tak akan habisnya sampai hari kiamat. Ini jaminan Allah. Namun rezeki itu tidak diberikan begitu saja.Untuk makan saja anda harus melewati proses dari menyuap nasi kemulut dan mengunyah untuk sampai keperut. Apalagi mendapatkan rezeki tentu ada proses. Kalau persepsi anda bahwa rezeki itu datang dari mujizat atau kemudahan dari Tuhan maka anda akan kalah bersaing dengan orang yang percaya bahwa Tuhan tidak memberi kemudahan proses untuk meraih rezeki. Kalau persepsi anda bahwa rezeki itu adalah atas dasar "keinginan" maka anda tidak akan mendapatkan "rezeki" yang dimaksud Tuhan. Rezeki itu akan menyusahkan hati anda.Tapi kalau persepsi rezeki atas dasar " kebutuhan " maka rezeki itu akan datang sebagai rezeki yang menentramkan dan menyehatkan lahir batin.

Mati,
Semua orang pasti mati.Ini takdir manusia dari Tuhan. Sehebat apapun anda menjaga kesehatan maka kematian itu pasti terjadi. Namun bila persepsi anda bahwa kematian itu hak Tuhan yang kapanpun bisa mati maka anda akan lalai menjaga kesehatan sehingga merusak tubuh anda dengan sifat rakus dan tidak peduli menjaga istirahat, dan berperang tanpa merperhatikan kekuatan diri, maka itu mati konyol. Tapi kalau persepsi anda bahwa kehidupan adalah berkah Tuhan,yang harus di jaga sebaik mungkin maka anda tahu menjaga tubuh agar tetap sehat dan menghindari bunuh diri karena hilang harapan. Kehidupan akan menjadi nilai anda sesungguhnya untuk menemui kematian dengan sebaik baiknya kesudahan..

Benar Jodoh, rezeki maut adalah hak Tuhan namun anda bertanggung jawab untuk mewujudkan takdir itu, dan untuk itu sebaiknya utamakan atas "kebutuhan", bukan karena "keinginan "..

Monday, January 11, 2016

Sedekah, bukan bisnis

Seseorang mengirim pesan kepada saya lewat Inbox Fb. Awalnya pesan itu tidak sempat terbaca oleh saya karena begitu banyaknya inbox yang masuk setiap hari. Namun pengirim pesan memberikan comment di wall saya untuk mengingatkan saya agar membaca pesannya. Setelah saya baca pesannya. Saya terhenyak. Apa pesannya ? inilah  pesannya " Apa yang salah degan saya ?? kata Keajaiban sedekah yang sering di ceritakan oleh para kyai dan ustadz belum terbukti pada saya. Dan janji Allah yang akan melipat gandakan setiap harta yang di sedekahkan pun belum terbukti. Beberapa tahun yang lalu saya menjual satu buah motor dan semua uangnya saya sedekahkan pada yatim, fakir miskin dan dhuafa. Selang 2 tahun kemudian saya menjual satu ekor kerbau untuk beli 2 ekor kambing buat qurban abah dan umy. Namun apa yang terjadi pada saya? Alih2 saya berharap keajaiban sedekah, sekarang saya malah menganggur setelah beberapa bulan menikah dan punya satu anak. Bahkan mertua dan orang tua saya sekarang membenci saya karena saya nganggur. Apa yang terjadi pada saya pak ?? Hancur hati saya.." 

Memang di era sekarang banyak dai selebrititas. Dengan piawai sang dai melantunkan berbagai dalil ( teori) tentang memberi akan dapat menggandakan harta, sebagian orang awam beragama tak peduli apakah itu hadith atau firman Allah jadi dalil benar tafsirnya. Mereka mungkin kagum kepada pendakwah, tapi tak peduli kebenaran yang disampaikan.. Di pikiran mereka hanya dalil hebat bahwa sedekah bisa menggandakan harta. Apa yang dikatakan Marx tepat di sini: firman Tuhan ditangan pendakwah menjadi dalil ”sifat metafisik yang halus” dan ”kesantunan theologis”.atau tesis Kapitalisme ber Tuhan,tepatnya. 

Tapi ada yang tak disebut Marx: mereka datang mendengar pendakwah bukan dengan kepala kosong. Mereka bukan tabula rasa. Mereka memilih pergi ke sana dan tertarik karena mereka hidup di antara fantasi, mimpi, hasrat, yang sudah mengisi diri mereka, bertaut dengan hal-hal yang telah membentuk impian sosial dan ekonomi. Antara aku dan laba dalam dalil itu ada satu proses perantaraan, terutama oleh media—majalah, sosmed , buku, berbicara menjadi kaya karena sedekah, sinetron ala Raam Punjabi, dan entah apa lagi—yang membentuk rakus: sorga dan harta berlipat bila bersedekah..

Keliatannya banyak pendakwah menjadi Madoff yang membujuk jamaat gereja untuk menginvestasikan uangnya di pasar derivatif agar untungnya disumbangkan untuk amal. Madoff begitu piawai meyakinkan jamaat bahwa niat investasi karena Tuhan akan menggandakan uang sehingga lebih banyak orang miskin yang tertolong..Nyatanya mereka para jamaat itu yang jatuh miskin lebih dulu dan madoff semakin kaya. Walau akhirnya Madoff masuk penjara karena tuduhan penipuan,namun orang orang yang percaya dakwahnya tetap miskin.

Sehingga mereka lupa bahwa Rasul yang paling hebat bersedekah tetap miskin. Para sahabat Rasul yang jadi khallfah, yang terus bersedekah namun tetap miskin. Bahkan Umar abdul Azis yang tadinya kaya raya , setelah jadi khalifah mendermakan semua hartanya..dan dia tetap miskin diatas singgasana. Mereka bersedekah tidak untuk kaya tapi untuk semakin dekat kepada Tuhan. Sangking cintanya kepada Tuhan mereka takut kaya. Mengapa ? orang kaya itu berat sekai cobaannya.

Nah..anakku, benar rezeki itu dari Tuhan namun Tuhan tidak pernah kirim uang ke rekening mu. Kamu harus bekerja keras agar uang datang ke rekeningmu. Karena itu Tuhan bangga akan dirimu. Mengapa ? karena kamu telah melaksanakan sunatullah. Kalau mendapat maka berbagilah sepantasnya tanpa membuatmu zolim terhadap dirimu sendiri. Ketika memberi sedekah maka tak usah dipikirkan apapun, apalagi mujizat berlipat gandanya harta, kecuali ridho Allah. Ingat Tuhan menilai kamu bukan dari jumlah yang kamu beri tapi dari ikhlasnya.

Memberilah karena Tuhan Titik. Selanjutnya biarlah itu urusan Tuhan dan kamu harus terus bekerja keras sepanjang usia untuk hidup. Ingat tidak ada too good to be true. Hasilnya tergantung seberapa besar effort, kecerdasan mu, bukan seberapa besar sedekahmu.

Wednesday, December 09, 2015

Tahukah kamu, kasih..

Friendship will grow day by day 
Even when we're far away
I know we'll be okay
Friends forever we'll stay
Though the future's still unknown
I will never be alone
Though we change, though we've grown
In my heart is our home 

Time has passed, we've grown up 
Sharing hope, sharing love
Because faith helped us through
I know I can count on you 

In your eyes I can see 
How we fit perfectly
Best of friends, always be you and me

 ***
Tahukah kamu bahwa bulan hanya nampak indah ketika malam. Cahayanya membiaskan warna perak berkilau pada langit. Terutama ketika dia tampil utuh bulat. Sang pujangga memandang kebulan, syair dan prosa tercipta. Sang pencinta akan mengurai bait bait cinta. Walau orang telah pergi kebulan dan telah pula menginjak bulan ternyata taka da yang luar biasa namun bulan tetaplah lambang cinta, lambang perasaan terdalam untuk mengungkapkan sepatah kata tentang cinta. Tentang makna dari sebuan kerinduan yang tak bertepi. Pernahkah kamu melihat bulan bulat mengkilat cahaya keperakan?  Mungkin pernah, yak an. Itu hanya terjadi setahun sekali. Ketika itu pekat akan menyingkir dari semesta galaksi. Langit bersih seperti baru dicuci oleh hujan. Gelembung-gelembung harum alam merintik dari segenap pori-pori awan. Pada saat itu orang  Cina berkumpul di halaman rumah mencecap kue manis berisi biji lotus, kacang hijau, dan gula merah yang manis. Mereka bercengkerama memandang bulan purnama ditemani teh sepat sampai lewat malam.

Bagi orang china ketika bulan penuh adalah saatnya untuk bertemu dan melabuhkan hatinya. Mengapa ? ada hikayatnya, pada suatu waktu, ada seorang putri terkurung di bulan. Namanya Chang Erl. Kekasihnya, Hou Yi, si pemanah ulung yang berhasil memadamkan sembilan matahari dengan anak-anak panahnya. Mereka hanya bisa bertemu sekali dalam setahun, bertemu pada saat bulan paling sempurna untuk rindu yang tidak pernah purna, tidak pernah punah. Orang-orang Cina menyebut saat itu sebagai zhong qiu ye wan. Konon, pada saat itu Chang Erl akan menjatuhkan kembang bulan untuk sepasang sejoli. Begitulah ceritanya. Tak lebih berbicara tentang kekuatan cinta, Power of love. 

Mungkin kasih,  yang agaknya diabaikan oleh mu ialah bahwa cinta itu akan selalu mengimbau seperti surya di pangkal akanan. Kita akan selalu mendapatkan hangat dan cahayanya, dan kita senantiasa berikhtiar ke sana. Tapi mungkinkah mencapai kaki langit itu, menjangkau terang itu, dengan doa, dengan niat saja, ? Hidup jadi berarti bukan karena dicintai. Hidup jadi berarti karena mencintai dan berkorban untuk itu. Kasih, apakah kamu sadar bahwa mencintai itu butuh keberanian mengambil resiko. Cinta harus diperjuangkan dengan kerendahan hati bahwa kita tidak berdaya atas takdir. Mengingkari ini sama saja menapik kehendak Tuhan. Tahukah kamu bahwa perjalanan hidupku tak sepi dari kesulitan yang mendera dan  aku selalu bisa berdamai dengan kesulitan itu. Namun hal yang tersulit bagiku adalah melupakanmu. Aku sadar mungkin inilah hidupku. Aku berharap lebih dan kelebihan itu sesuatu yang mewah bagiku

Kasih tahukah kamu sebuah untaian indah bait lagu  Yue Liang Dai Biao Wo De Xin  ( Sang bulan perwujudan hatiku ). Baitnya sangat dalam maknanya. Untaian perasaan terdalam tentang harapan, kebersamaan berbagi rasa sepanjang usia. Berbagi rasa untuk selamanya. Betapa tidak ? Ni wen wo ai ni you duo shen ( kau bertanya padaku betapa dalam cintaku padamu? )  Wo ai ni you ji fen, ( betapa aku benar benar mencitaimu). Namun bagaimana bila tanya itu tidak pernah sampai keperaduan? Kamu membuat kita berjarak. Kamu bagaikan bulan diatas sana dan aku dibumi ini. Jarak yang terlalu jauh , kasih kecuali hanya sekedar memandang dengan sejuta imaginasi tentang cinta. Akhirnya sampai pada saatnya kita tak lagi bisa lagi bersedekat. Aku sadar kamu sengaja menciptakan dinding tebal yang membuat kita harus terpisah. Tentu tak elok bagi ku hidup dalam imaginasi. Memang aku butuh kekuatan itu , untuk sekedar meyakinkan bahwa aku bisa menjadi pemanah hebat. Namun aku bukan pemanah. Aku hanya pengembara hidup. Aku pergi dengan perasaan hatiku dan kamu entahlah. 

Kucoba untuk melupakan semua kenangan terindah walau tidak mudah. Kini ingin aku bertanya kabar tentang mu tapi pintu tertutup sudah. Padahal tak mengapalah  bila aku bertanya tentangmu. Sekedar memastikan kamu sahabatku baik baik saja. Tapi itupun tak kudapat. Mungkin aku sanggup mengarungi samudra, melintasi lima benua, membenamkan diri dalam dunia yang keras tak bersahabat ini, berada ditengah tengah orang yang rakus membeli apa saja termasuk membeli kembang plastik. Namun aku tidak sanggup untuk memaksamu seperti yang kumau. Kecuali menerima dan berdamai dengan kenyataan bahwa mungkin kau tidak dilahirkan untuk ku. Entahlah ! Waktu berlalu, tentu kamu tak lagi mengingatku. Dan itu pasti. Aku sadar sesadarnya. Tapi aku tetap mengingatmu, selalu.

Entah kenapa di musim dingin ketika kaki menjejak cafĂ© lounge executive Paninsula Beijing, terdengar lagu  Yue Liang Dai Biao Wo De Xin begitu merasuk kedalam hatiku, wajahmu membayang. Ya, Dalam usia yang semakin menua, sampai kini aku hanya mampu mengingat , untuk ku tetap bisa tersenyum dengan perjalanan hidupku. Salahkah itu ? Oh cinta bukanlah dosa. Cinta adalah anugerah terindah dari Allah... Inilah takdirku. Walau  jiao wo si nian dao ru jin. Mengapa ? akupun tidak tahu..Kehidupan didunia ini serba fana dan tak ada satupun orang berhak memilikinya kecuali Tuhan. Karena Tuhan,  pesan cinta datang kepadaku dan karena Tuhan pula aku berdamai dengan kenyataan bahwa cinta tidak harus bersedekap. Semua berasal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan. Tahukah kamu,kasih...

Monday, December 07, 2015

Selamat tinggal...

Senja itu menyimpan makna tentang kegundahan yang tak pernah terjawabkan. Keindahan cahaya tamaram lampu disenja Laut Cordoba. Ingin rasanya berlari mengejar setiap noktah cahaya senja yang terus merangkak keufuk peraduannya. Tapi hati ini begitu tak berdaya diatas kehampaan makna hasrat yang tersembunyi. Bagai lenguhan nafas manusia yang lelah berburu tanpa tujuan. Kemanakah langkah harus diarahkan.? Sementara rasa rindu yang tak bertepi selalu hinggap didalam kalbu. Benarkah aku jatuh cinta padanya ? Apakah ini hanya photomorgana ditengah gurun sepi, yang membuatku berlari menggapainya karena dahaga akan cinta dari seorang pria. Ataukah kehadiranya hanya sebatas intermezo disela sela panantian jodohku.

“ Sedang apakah kamu kini ?”.Mungkin itu katanya bila ingat akan aku. Seperti biasa , dia akan selalu tersenyum bila meririndukanku. Kemudian hayalannya terbang kedunia yang antah berantah. Hayalan akan kesempurnaan dari seorang wanita sahabat sejiwanya.Hari berlalu ,minggu terlewati dan bulanpiun berganti, sosoknya menghias hidupku. Mengisi hari hariku dengan penuh warna keindahan. Tapi aku tak bisa mengakui itu semua. Aku biarkan rindu berlalu namun aku tak bisa menghentikan satu kata  "... aku rindu ... “

"Mungkin kamu terlalu baik bagi ku “ Katanya. Itu menyayat hatiku dibalik lirih suara ketakberdayaannya. Ingin segera kudekap kesenduaanya tapi ada hijab yang membuatku harus percaya bahwa dia tidak pantas untuk didekati, apalagi dimiliki.

Tak pernah kumengerti bagaimana ada awal namun sulit sekali dakhiri. Berawal dari kuridor Hilton Hotel , Shanghai, Pudong , dari ayunan langkah seorang pria yang nampak percaya diri dan anggukan berhias senyuman, datang menghampiriku. Kali petama mengenalnya, dia mempesonaku. Seakan begitu mudah menjadi kenyataan. 

“ Ni Hau “ kalimat yang keluar dari bibirnya menyapaku. Kemudian dan selanjutnya selalu menjadi indah. Kebesamaan denganya membuat aku mengenal dunia yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Dia membuat ku selalu tersanjung. Dia mendengar keluhanku dan berbuat untuk menjagaku. Dia mengerti segala sikapku. Dia sabar dibalik keperkasaannya untuk merengkuhku. Dia punya segala galanya untuk menaklukanku namun itu tidak pernah dilakukannya. Dia begitu sederhana bersikap dan selalu menjadikanku istimewa.

“ Aku pria beristri. Aku menyukaimu karena kesederhanaanmu. Tak banyak ku berharap kecuali mendapatkan rasa aman dan nyaman dari hubungan kita “ 

Sekali lagi aku terjerambab tak berdaya. Dia bagai elang kehilangan sayap. Ingin mencapai langit namun kakinya terantai. Sementara asanya selalu ada untuk ku. Tapi mengapa aku tak bisa mengakiri ini semua. Mengapa aku membiarkan kelelahannya dalam penantian. Kugapai bayangan dari setiap makna yang tersirat namun aku tak pernah mampu menggapainya menjadi kenyataan.

Ketika pagi bersinar cerah. Aku berlari kearahnya sambil merentangkan tanganku dan dia menyambut dengan hangat. Selalu begitu. Membuat diriku begitu berartinya. Terasa mentari hanya untuk menerangi keindahan dan kecantikanku. Dibalik lesung pipiku , wajahku merona kemerahan “ Senang sekali , kamu datang untuk menemuiku. Duh rasa rindu terobati jua. Berbulan dalam penatian , larutlah sudah. “ Kataku

lagi lagi dia kehilangan kekuatan untuk menyusun kata. ‘ aku juga rindu kamu...” hanya kalimat lemah ini yang mampu terangkai. Kubiarkan dia bercoleteh tentang bisnisnya dan obsesinya. Kucoba menatap keceriaanya dalam senyuman. Ingin kugali dibalik keperkasaannya untuk kutentukan langkahku.

“ Ada yang tak mungkin bertaut diantara kita. “ akhirnya aku mengatakan jua.

“ Ada apa , ....”

“ Agama kita berbeda “ kuberanikan diri untuk sampai kedermaga kegalauanku. Ada mendung dibalik wajah pria itu. Nampak wajah lelah dan kalah. Aku tahu itu sebagai tanda aku harus pergi dari dia.Pergi untuk tidak akan kembali lagi…

“ Mengapa baru kini kamu sampaikan. Mengapa awalnya kamu tidak pedulikan ini. Mengapa ini begitu penting bagimu. Mengapa kamu biarkan hati ini tenggalam dalam laut dalam. “ Wajahnya menyimpan luka. Menyentuh perasaan wanitaku. Ingin melupakan apa yang sudah kukatakan. Ingin kuhibur dia dengan menerima sikapnya. 

“ Tak mungkin bagiku menerima pria  yang berbeda paham agama. “ Aku tetap bersikap dan dia menderita karena itu.

Mengapa tidak mungkin. Bukankah kita memiliki cinta untuk menerima perbedaan itu. Cinta kita akan mampu meredam setiap perbedaan diantara kita Bukankah kamu mencitaiku. Bukankah kamu telah berjanji setia untukku. Bukankah kamu inginkan aku menjadi belahan jiwamu, bukankah....” ah dia buat aku tersungkur dalam lubang hitam. Dia buat aku kehilangan ego sebagai wanita bila aku tak mampu menjemput katanya.

Kembali aku tersungkur. Cinta begitu indah dalam maknanya. Sementara aku sendiri kehilangan makna kecuali iman yang tak mungkin tergadaikan hanya karena seorang pria. Hanya karena cinta manusia. Cinta yang berbatas rasa dan karsa. Cinta yang tanpa keabadian bila tanpa rihdo Tuhan.

“ Bila ini yang kamu mau maka kusadari bahwa kamu tak pernah mencitaiku...Mungkin sudah nasipku bila pada akhirnya semua wanita terdekatku selalu punya alasan untuk meninggalkanku ” 

Diapun berlalu , menerima kalah dan pasrah. Ingin kukejar dan memeluknya untuk dia mengerti sikapku.. Namun tak sanggup kaki ini bergerak. Aku menangis ditempat sepi dan seakan selama ini kebersamaan dalam keceriaan hanyalah menumpang tawa ditempat ramai.

***
Malam di Cordoba itu menyimpan makna. Dibalik cahaya bulan , dipelataran Resto Seaside Cordoba. Dia melambaikan tangan sambil tersenyum. Wajah yang tak asing bagiku. Wajah yang menanamkan memori terindah dalam hidupku.

“ You look to young and beautiful. How are you?“ Masih seperti dulu keindahan tutur katanya. Tapi wajahnya telah nampak menua. Matanya masih mata elang.Keras sebagai petarung dalam sepi.

“ Ya, I am fine. “ hanya itu yang dapat kukatakan dalam keterpesonaan.

“ Aku masih mengingat segala hal tentangmu. Aku menyadari bahwa aku bukanlah yang terbaik untukmu walau aku berusaha memberikan cinta terbaik.  Pada akhirnya kita harus berdamai dengan kenyataan bahwa cinta tidak harus memiliki.Kita bertemu karena Tuhan dan tentu berpisahpun karena Tuhan.”  Indah sekali hikmah dibalik tutur katanya. Itulah kata yang bersumber dari hati. Selalu indah didengar. Tidak sama dengan kata yang keluar dari nafsu dan akal sempit.

“ Aku juga masih terus mengingatmu setelah kita berpisah “ kataku dalam kebodohan karena lebih bermakna naif akan kekerdilan diri. “ Mana mungkin aku kan lupakan kenangan indah itu. Karena kenangan itulah yang membuatku belajar menarik hikmah. Bahwa tidak ada hubungan yang sempurna kecuali cinta sempurna.  Aku masih mencari dan mencari tempat berlabuh.Entah sampai kapan“ Berakhirlah sudah kegalauan. Maka diapun tersenyum. Kami akan tarus saling merindukan sebagai sahabat.  Saling mendoakan tentunya.

“ Mungkin besok aku akan menemukan pria yang pantas untukku dan kenangan tentang mu akan sirna bersama rasa bersalahku,yang tak pernah kusesali.Karena pertemuan dengan mu begitu indah dan berkah tak tebilang yang  harus ku syukuri.  Dan aku yakin kamu akan baik baik saja dan tidak menyesali pertemuan kita. “ Gundah berakhir , maka yang timbul adalah keikhlasan. Cintaku telah tergantikan oleh cinta Allah melalui pria yang dikirim untukku, kelak…

Diapun berlalu ditengah kerlap kerlip lampu malam. Tinggalah aku dalam kesendirian. Senja itu akan selalu abadi dalam memoriku. Cinta tidak selalu harus bersatu. Kepada Tuhan lah semua cinta itu berakhir. Bersua karena Tuhan  dan berakhir karena Tuhan

Sunday, December 06, 2015

Tesis dan antitesis

Ada sebuah cerita orang Yahudi tentang dua rabbi piawai yang berdebat. Yang diperdebatkan adalah dua buah naskah yang ditulis oleh Musa bin Maimon (yang dalam kepustakaan Barat disebut Maimonides), ahli filsafat yang hidup delapan abad yang lampau. Kedua rabbi itu, masing-masing pakar utama telaah karya-karya Maimonides, mempersoalkan tidak cocoknya sebuah teks dengan teks yang lainnya. Perdebatan berlangsung dengan argumen-argumen yang mengagumkan. Kedua pihak sama-sama kuat. Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun disusul tahun yang lain, terus saja perdebatan itu tak berhenti. Ketika kedua rabbi itu akhirnya meninggal, di akhirat pun mereka terus saja saling mengajukan argumen yang cemerlang. Tuhan pun mengikuti diskusi itu, dan akhirnya Ia memanggil Maimonides sendiri untuk menjawab: apa sebab ada ketidakcocokan antara tulisannya di naskah A dengan tulisannya di naskah B. Maimonides pun mendekat, membaca baik naskah A maupun naskah B, dan dia tertawa. ’’Yang di naskah B itu ada salah cetak!”. Perdebatan selesai? Ternyata tidak. Kedua rabbi itu menganggap penjelasan Maimonides tidak menarik dan kurang cemerlang. Dan mereka pun terus saling mengajukan tesis dan antitesisnya….

Tesis dan antitesis yang tak putus-putusnya adalah cerita tentang teks dan tafsir, yang bukan saja berlaku untuk karya Maimonides, tapi apa saja. Apalagi dalam hal naskah atau kitab yang penggubahnya sudah tak bisa dihubungi lagi—atau memang tak bisa ditanya, seperti misalnya Kitab Suci. Begitu sebuah teks selesai dan sampai ke tangan pembaca, ’’Sang pengarang sudah mati,” kata Roland Barthes yang terkenal. Sang pengarang (l’auteur atau author), yang umumnya dianggap sebagai pemegang kunci kebenaran dan pemegang otoritas terakhir, harus dianggap sudah lepas kuasa. Sebab akhirnya setiap pembacalah yang membentuk tafsirnya sendiri. Mungkin sebab itu bahkan penafsiran Qur’an tidak mungkin ’’ditutup”. Mohammed Arkoun termasuk yang dengan konsisten mengemukakan itu, sebagaimana diterangkan oleh Robert D. Lee dalam bukunya yang baru saja terbit terjemahannya, Mencari Islam Autentik. Persoalannya, tentu, senantiasa ada dorongan ke arah penutupan proses tafsir: ada lembaga yang dibentuk untuk menentukan mana tafsir yang tepat mana yang harus dibabat, ada kodifikasi yang dilakukan untuk mencegah kekacauan, ada lapisan baru pemegang hegemoni tafsir, baik yang dideking oleh kekuasaan ataupun oleh tradisi.

Arkoun terutama mengecam kodifikasi yang diberlakukan dalam syariat, tapi di mana pun juga, kodifikasi adalah kontrol. Kodifikasi menghentikan perbedaan. Aturan yang semula terserak dan berkembang dalam habitat masing-masing, dikumpulkan, diklasifikasikan, lalu didaftar. Yang di luar itu harus dianggap barang buangan. Itu sebabnya kodifikasi hanya bisa berlangsung di bawah sebuah kekuasaan yang bisa menginterogasi, memutuskan, dan menghukum misalnya dengan fatwa ataupun dengan senjata. Tanpa sebuah lembaga yang berkuasa, kodifikasi hanya sebuah kerajinan para pakar yang memimpikan dirinya sebagai pengontrol. Yang menakjubkan ialah bahwa kekuasaan lembaga seperti itu—katakanlah sebuah majelis ulama—tidak pernah bertanya atau ditanyai dari mana kekuasan atau otoritasnya datang. Para ulama bisa mengeluarkan fatwa dan menyitir hukum tanpa menyadari bahwa fatwa, hukum, dan bahkan diri mereka sendiri terpaut dengan sebuah pengalaman. Tapi di mana ada hukum tanpa pengalaman, tanpa sejarah? Kita tahu, Arkoun menolak kecenderungan untuk menaikkan hadis, yakni ujar dan perilaku Nabi Muhammad dalam hidup kenabiannya, ke posisi wahyu Tuhan. Dengan itu ia sebenarnya hendak menekankan bahwa hanya Tuhan yang tidak tersentuh sejarah. Bahkan ia agaknya sepaham dengan yang disimpulkan oleh para pemikir di abad ke-8, bahwa Qur’an juga sebuah ’’makhluk”. Ia dibentuk dari unsur-unsur manusiawi (terutama kata-kata yang tumbuh dan berkembang di Jazirah Arab di abad ke-5) dan sebab itu tidak sepenuhnya berada di atas pengalaman.

Hal yang sama berlaku untuk kitab suci yang lain. Dalam agama Kristen, sabda Yesus bertaut dalam cerita tentang perjalanan hidupnya, yang diceritakan oleh orang yang berbeda-beda. Dalam agama Yahudi, Taurat—buku hukum itu—tidak dimulai dengan daftar aturan. Ia didahului oleh cerita tentang kejadian-kejadian besar yang dialami para patriakh. Semuanya mengisyaratkan, sebagaimana dikatakan oleh seorang penasfir Injil: ’’Pengalaman harus mendahului hukum, demikian pula cerita harus mendahului kodifikasi.” Hukum akan seperti penggilas besi seandainya di baliknya kita tidak boleh menyidik asal-usulnya di suatu masa, di suatu tempat. Dia tidak akan hidup. Syariat, yang sebenarnya adalah jalan, akan seperti lorong penjara kalau jalan itu tidak merupakan cerita dari mana ia datang. Tapi kita tahu bahwa pengalaman hanya bisa ditilik kembali, direkonstruksikan menjadi buku sejarah, bila ada kemerdekaan—juga kemerdekaan untuk menampik buku sejarah itu. Persoalannya, bersediakah kita untuk merdeka?@

Tuesday, November 17, 2015

Iman?

Iman selamanya akan bernama ketabahan. Tapi iman juga bertaut dengan antagonisme. Kita tahu begitu dalam makna keyakinan kepada yang Maha Agung bagi banyak orang, hingga keyakinan itu seperti tambang yang tak henti-hentinya memberikan ilham dan daya tahan. Tapi kita juga akan selalu bertanya kenapa agama berkali-kali menumpahkan darah dalam sejarah, membangkitkan kekerasan, menghalalkan penindasan. Ketika orang-orang " berbeda "terpojok di beberapa kota di Indonesia, dua sisi itu muncul di kepala saya kembali. Tiga tahun yang lalu seorang teman di Eropa bercerita tentang sepucuk surat yang ia terima dari adiknya di Basra, Irak. Si adik mengenangkan apa yang dipikirkannya ketika ia, seorang perempuan keluarga Sunni, bersembunyi di sebuah lubang di lapangan agak jauh dari rumah, sementara di luar, di jalanan, para anggota milisia Syiah lalu-lalang ber­senjata. Bunuh-membunuh telah beberapa hari berlangsung. Paman mereka dan ke­dua anaknya tak pernah kembali.”Saya bayangkan, saya adalah seorang penganut Islam pada tahun-tahun men­jelang Hijrah—seorang yang ikut bersembunyi dalam gua bersama Rasulullah, ke­tika orang-orang Quraisy bersimaharajalela,” demikian si adik menulis. ”

Apakah saya akan setakut diri saya hari itu, tak putus-putusnya menanti hari jadi gelap agar saya, penganut Muhammad saw, akan bisa bebas dari pembantaian? Ataukah saya akan tabah, karena saya ada di dekat Nabi?” Dan si adik menjawab pertanyaannya sendiri: ”Benar, Rasulullah tak berada di Basra, tapi saya tetap merasa di dekat beliau. Karena seperti orang-orang Islam pertama, saya dalam posisi yang lemah, tapi tahu tak merasa bersalah. Saya tak bersalah bahkan kepada orang-orang yang ingin membinasakan kami di luar itu—apalagi kepada Tuhan. Saya hanya berbeda. Saya hanya dilahirkan berbeda.” Si kakak, teman saya orang keturunan Irak yang sudah hidup di Amsterdam itu, yang seperti hafal benar dengan surat itu, tak bercerita apa selanjutnya yang ditulis adiknya. Kami berdua sedang menyeberangi Vondelpark, di sebuah awal musim panas. Orang-orang berbaring atau duduk membaca di bawah pohon, di atas rumput. Dua pemuda Cina sedang membuat sketsa. Seorang hitam memukul perkusi, sendirian.

Teman saya tak memperhatikan itu semua. Ia hanya­ berkata, seperti kepada dirinya sendiri: ”Beda—itu per­kara besar pada zaman kita. Terutama karena beda tak lagi dilihat dari luar, dari kulit tubuh dan pakaian, tapi dari dalam, dari iman.” Saya coba membantah. ”Surat adikmu menunjukkan bahwa itu bukan hanya perkara besar buat zaman kita. Itu sudah sedemikian penting dan sedemikian genting sejak manusia mengenal agama-agama.” ”Betul. Tapi pada zaman ini perkara itu tak hanya persoalan lokal. Iman jadi penggerak antagonisme di mana-mana di dunia. Terus terang saya tak tahu apa desain Tuhan sebenarnya dengan manusia. Beda adalah sesuatu yang Ia kehendaki. Iman adalah sesuatu yang Ia kehendaki. Tapi permusuhan?” Iman: antagonisme? 

Atau iman sama dengan perisai pe­lindung—yang juga berarti suatu kekuatan yang bertolak dari asumsi bahwa kehidupan beragama adalah semacam perang? Saya ingat, seraya bercakap-cakap itu kami berjalan ke arah halte trem di tepi kanal. Saya ingat, saya mendegar suara jengkerik di sebuah semak. Tiba-tiba teman saya berkata, ”Me­ngapa kita harus memakai perisai?” Saya diam tak tahu apa yang dimaksudkannya. ”Surat adik saya itu,” katanya. ”Surat itu mengingatkan saya akan cerita yang saya dengar ketika saya anak-anak. Rasulullah bersembunyi di gua itu, ketika orang-orang Quraisy mencarinya untuk di­binasakan. Mereka tak curiga bahwa di dalamnya Muhammad putra Abdullah ber­sembunyi, sebab di pintu gua itu Tuhan meletakkan seekor laba-laba, yang me­nyusun jaringnya, dan dengan begitu membuat sebuah kamuflase: gua itu tak dimasuki siapa pun.” Bukankah itu sesuatu yang inspiratif, tanya teman saya itu.

Apa yang inspiratif?

Laba-laba, katanya pula. Dari cerita itu kita tahu, tak salah bila kita melihat dunia di luar itu dengan sadar, bah­wa yang memisahkan ”kita” dengan ”mereka” cukup benang-benang tipis laba-laba. Bukan pintu besi sebuah benteng. Bukan sebuah tameng. Batas itu mengubah sikap antagonistis dengan sikap tabah, mengubah yang agre­sif ke luar dengan yang tenang dan yakin dalam batin. Tentu. Mereka yang agresif dan penuh kekuatan tak dengan sendirinya akan berhenti. Batas itu memang bisa dikoyak dengan gampang; laba-laba itu makhluk yang lemah. Tapi bukankah kisah Rasulullah itu juga mengajari kita bahwa tiap iman punya guanya sendiri? Dan gua itu tak akan terjangkau bahkan oleh kebengisan apa pun? Saya termenung. Saya dengar lagi suara jengkerik. Sa­ya pun ingat serangga yang gampang terinjak, burung yang gampang diusir, semut yang gampang dibasmi, juga laba-laba yang mudah diterjang. Betapa rapuh. Tapi mere­ka punya ruang sendiri, mungkin gua, mungkin liang, mung­kin sarang, yang mengandung rahasia—sebagai bagian dari desain Tuhan yang juga sebuah rahasia.@

Pemerintah Suriah jatuh.

  Sebelum tahun 2010, kurs pound Syuriah (SYP) 50/1 USD. Produksi minyak 400.000 barel/hari. Sejak tahun 2011 Suriah dilanda konflik dalam n...