"Memanglah surga itu bukan tempat yang mudah dicapai tanpa melalui cobaan.Tidak bisa dikatakan seseorang beriman sebelum diuji."
***
Januari menyimpan kesan tersendiri bagiku, terutama bangku yang terletak di Central Park. Tentang seseorang yang tak mudah kulupakan. Aku memang merindukan kehadirannya. Semua tentangnya terlalu berarti untuk dilupakan. Ketika aku melangkah masuk ke taman itu, bayangan tentang setahun yang lalu kembali membayang dengan jelas. Wajah kemerahan dari sosok wanita blasteran Asia Amerika berjalan menghampiriku sembari senyum. Tubuhnya berbalut long coat peredam embusan angin dingin di bulan Januari.
“Saya senang akhirnya kita dipertemukan dalam satu tim, apalagi kamu adalah saudara muslimku,” katanya.
Aku terkejut. Muslimkah dia?
“Aku memang wanita muslim, tepatnya mualaf. Temanku yang dulu sama-sama kuliah di Harvard telah mengantarkan keimanan Islam ke dalam hidupku,” sambungnya seakan membaca keingintahuanku tentangnya.
Data tentangnya yang aku terima dari markas ICF menyebutkan bahwa wanita ini berotak cemerlang. Penyandang gelar Ph.D di bidang financial and banking. Pernah menjabat sebagai chief dealer di salah satu lembaga keuangan terkemuka. Namun, ia meninggalkan gemerlap kehidupan kariernya untuk bergabung dalam misi kemanusiaan.
Keyakinannya dalam Islamlah yang membuat dia memilih menggunakan kepintarannya demi tegaknya syiar islam. Untuk hal ini dia punya alasan sendiri. “Betapa kecil, betapa rendah, dan betapa hinanya aku di depan kemahaagungan Allah. Betapa pemurahnya Allah yang telah memberikan segala nikmat-Nya untukku, yang terbaik buatku. Padahal, kalau Dia berkehendak, setiap saat semua itu bisa dicabut-Nya. Aku tidak mau mendustakan nikmat yang telah Allah berikan. Aku harus bersyukur terhadap segala pemberiaan-Nya. Akan kupertebal kesabaranku hanya dan hanya untuk mencintai Allah. Untuk itulah kuabdikan diriku untuk program kemanusiaan ini.”
Dia memang pejuang sejati yang tak kenal menyerah. Kadang aku malu dengan keteguhannya menghadapi berbagai masalah. Satu ketika dalam email dia menulis catatan yang berisi kerinduannya untuk menjadikan Islam sebagai jalan hidup yang lurus. “Sudahkah kita bercinta dengan Allah? Hanya dengan Allah? Dengan selalu pasrah, patuh, dan tunduk pada undang-undang-Nya? Berucap dengan jiwa dan raga bahwa yang benar itu benar dan yang salah itu salah? Sudahkah itu kita lakukan? Sudahkah kita berbuat yang terbaik untuk Allah? Untuk kemuliaan risalah-Nya? Apa?”
Kami bertemu kembali ketika briefing di markas ICF. Dia begitu bersemangat ketika memaparkan rencananya atas misi yang harus dilaksanakannya. Matanya berbinar ketika aku berdecak kagum melihat ketelitiannya membuat perencanaan. “Allah minta kita menggunakan akal kita untuk membuat rencana dengan baik dan selanjutnya kita ikhlas untuk tawakal terhadap apa pun hasil yang akan dicapai. Namun, rencana yang baik tentu harus didasarkan pada niat yang baik pula. Dengan begitu, pertolongan Allah akan menyertai setiap langkah kita.”
Selanjutnya, dalam setiap langkah dia melakukan manuver yang kadang berisiko. Namun, kami dalam tim telah saling mengenal. Kesetiaan yang didasarkan pada kehormatan untuk menegakkan keadilan telah memperkuat kebersamaan kami. Pergulatan perjuangan yang ada telah menyeret kami semua dalam situasi yang sulit. Satu demi satu anggota tim tersingkir dalam setiap putaran. Mereka memilih mencari selamat atau menghindar untuk melupakan misi. Keadaan ini membuat kami harus menata ulang strategi dan taktik. Namun, dia menolak dengan keras.
“Bukan strategi yang harus diperbaiki tapi semangat kitalah yang harus dipertebal. Ingatlah, semakin tinggi tekad kita maka semakin tinggi pula tantangan yang harus kita hadapi. Allah hanya akan memberikan kemenangan jika kita berjuang tanpa lelah dan pantang menyerah. Ini hanya masalah keyakinan dan kesabaran serta berserah diri kepada kekuasaan Tuhan,” katanya.
Aku diam namun mulai merasa khawatir ketika dia memaksa kami untuk memotong jalur lalu lintas dana komisi haram dari beberapa rekening. Aku tegaskan bahwa itu bertentangan dengan sunatullah yang mengajarkan untuk berjuang dengan cara yang benar. Yang hak dan batil tidak boleh dicampur aduk. Namun, dia tetap dengan pendiriannya.
“Apa kamu tidak tahu keadaan yang sebenarnya? Lihatlah sekeliling kamu. Adakah keadilan? Mereka yang berkuasa dan mempunyai akses permodalan dengan enaknya menumpuk uang dari hasil haram di lembaga-lembaga keuangan yang ada di financial center. Mereka telah membuat kondisi ekonomi global menjadi tidak sehat. Pasar uang di-create untuk akhirnya mendorong suplai uang ke sektor moneter. Mereka adalah segelintir manusia yang sangat berkuasa dan memegang kontrol yang begitu besar atas lembaga keuangan kelas dunia. Sementara itu, sektor produksi yang memberikan efek multiflier bagi masyarakat luas diabaikan. Kita harus berbuat sesuatu. Tidak ada yang bisa diharapkan dari mereka yang dengan ikhlas untuk membantu kita ! Lawan!” katanya dengan berapi api.
Kami semua hanya dapat menghela napas panjang. Dia tetap melangkah dengan caranya dan kami mengawasinya dengan cemas. Aku sendiri lebih memilih cara konvensional walau sangat sulit. Tak banyak yang dapat kuraih dari semua caraku. Keadaan ini membuat aku merasa kecil di hadapannya, apalagi aku mengetahui dia berhasil masuk ke lingkaran konspirasi para pengelola dana offshore. Dia melenggang dengan lincah dan berhasil mengalirkan beberapa persen dana komisi haram itu untuk mendukung pembangunan proyek kemanusiaan di beberapa negara miskin.
Namun, belakangan upayanya tercium oleh otoritas keuangan internasional walau tidak mampu mendeteksi langkahnya, apalagi mendapatkan bukti dari operasinya. Pihak otoritas memperketat pengawasan melalui berbagai jalur. Langkahnya untuk menyalurkan dana hasil operasinya semakin sulit. Dia kehilangan cara pintarnya. Semua pintu tertutup rapat.
“Negara maju memang telah menciptakan hukum ganda. Mereka memperketat operasi keuangan offshore untuk private tapi membiarkan grup lembaga keuangan tertentu berpesta pora dengan hidden fund yang ada di pasar gelap. Mereka terus menangguk kemudahan akses permodalan berbiaya murah, kemudian menyalurkan dana tersebut bagi negara-negara miskin dengan syarat yang menyulitkan tetapi menguntungkan mereka secara ekonomi dan politik,” katanya dalam keputusasaan.
Aku sangat terkejut ketika tim kami yang ada di Madrid mengabarkan bahwa dia masuk ke daftar target grup tertentu untuk “dihabisi”. Hal ini karena dia mengadakan kontak dengan beberapa agen Hisbullah di Turki untuk memberikan dukungan dana perjuangan melawan agresi Israel. Keadaan ini memaksa ICF menugaskanku untuk menariknya dari Istanbul Connection. Masalahnya, dia belum berpengalaman dalam bidang penyaluran dana untuk politik, apalagi ini berkaitan dengan pertikaian yang melibatkan negara super power dengan Israel sebagai proxy. Keadaan ini tentu akan membahayakan operasi tim secara keseluruhan. Beberapa anggota tim yang ada di Madrid dan Dubai juga ditugaskan oleh ICF untuk menarik dia keluar. Namun, mereka tidak pernah berhasil menemukannya. Aku sendiri kehilangan kontak dengannya.
Sebulan sebelum ulang tahunku, aku mendapat telepon dari dia. Aku sangat terkejut bercampur senang.
“Aku tahu langkahku sangat ditentang oleh tim tapi aku tidak punya pilihan. Aku harus melangkah menurut kata hatiku. Mungkin pengetahuan agamaku belum begitu dalam namun aku mengetahui dengan pasti bahwa aku harus berbuat untuk sesuatu yang kuyakini dan… kemudian mati.” Terdengar suaranya tertahan tangis.
“Aku tahu kamu melakukan itu semua hanya karena ingin mencari rida Allah. Tapi harus dicatat bahwa keberadaanmu sangat diperlukan oleh tim. Perjuangan kita masih panjang. Kamu sangat berharga bagi kami. Berjuang itu harus dengan kesabaran. Bukankah itu pula yang menjadi keyakinanmu?” kataku dengan lembut, berharap dia dapat mengerti sikapku. Setidaknya dia dapat memercayaiku sebagai sahabat. “Tolong beritahu di mana kamu sekarang,” sambungku.
Dia tidak menjawab, malah menutup telepon.
Seminggu setelah itu, aku mendapat kabar dari tim yang ada di Istanbul bahwa mereka telah menemukannya. Dia ada di rumah sakit dalam keadaan menyedihkan. Dari Hong Kong aku langsung terbang ke Istanbul. Dari aparat kepolisian kuketahui bahwa sekelompok orang menerobos masuk ke apartemennya. Dia diperkosa berkali-kali, diperkirakan oleh beberapa orang. Di sekujur tubuhnya ada bekas terbakar karena api rokok. Kutatap tubuhnya yang terbujur dalam penderitaan sangat. Selama lima hari aku tidak jauh dari tempat tidurnya sampai dia siuman.
“Aku di mana?” dia betanya ketika matanya terbuka, wajahnya tetap berhias senyum. Tidak tampak dia menderita, seakan dia berusaha membuat aku tenang.
“Kamu di rumah sakit,” aku menggenggam jemarinya.
Air mata mengambang di tubir matanya. “Jangan lemah, Saudaraku. Ini tidak seberapa dibandingkan derita kelak di akhirat bila lalai terhadap kalamullah. Aku tidak menyesali ini terjadi. Ini bagian dari risiko yang harus kuhadapi ketika aku melangkah dengan keyakinanku.” Dia seakan meyakinkanku bahwa dia baik-baik saja dan sadar akan risiko yang harus diterimanya.
“Ya, aku maklum tekadmu. Tapi masuk ke wilayah politik bukan dunia kita. Tidak akan kita dapatkan objektivitas jika perjuangan kita masuk ke wilayah politik. Ini wilayah abu-abu. Tidak akan cukup kemampuan kita untuk mengubahnya. Hanya Tuhan yang bisa. Tugas kita hanya berada di belakang mereka yang menjadi korban akibat politik kekuasaan di mana saja berada. Sebisa mungkin yang lapar kita beri makan, yang sakit kita obati, yang tidak ada rumah kita beri rumah, yang tidak ada pakaian kita beri pakaian. Hanya itu. Yakinlah bila ini terus kita lakukan, by the time, akan ada perubahan. Bukankah Tuhan tak menginginkan perubahan sekali jalan beres tapi ingin perubahan terjadi terus-menerus secara sunatullah agar semua menjadi pembelajaran bagi orang yang beriman. Ya, kan?”
Setelah 45 hari di rumah sakit, dia diizinkan keluar dari rumah sakit. ICF menugaskannya berada di belakang meja. Dia tidak lagi berada di lapangan. Aku sendiri mengantarnya ke Dubai, tempatnya yang baru. Dia tampak murung. Dia tidak senang dengan sikap ICF namun pasrah. Semua akses yang menggunakan ICF dicabut. Lemahkan dia setelah itu? Tidak.
Sebulan berada di markas ICF di Dubai, dia menyatakan mengundurkan diri. Alasannya karena kesehatan. Kami semua maklum. Enam bulan setelah dia keluar dari ICF, aku mendapatkan kabar dia tewas bersimbah darah dengan delapan peluru bersarang di tubuhnya. Dia ditemukan di dalam kamar sebuah hotel murahan di pinggiran kota Damaskus. Di dalam kamarnya hanya ditemukan komputer yang tidak dapat diakses karena dilindungi dengan multi-password. Polisi mengindikasikan dia dibunuh dengan pistol dari jarak dekat. Pembunuhnya tentu sangat profesional.
Dalam kesedihan atas kehilangannya, aku berusaha membaca kembali pesan-pesannya lewat surat elektronik. Sekadar mengingat semua yang pernah disampaikannya. Sebulan sebelum dia menghubungiku untuk terakhir kalinya, tepatnya bulan September, ada pesan seseorang yang tidak kumengerti. Seperti undangan untuk ikut dalam grup chatting. Aku malas menerima undangan itu. Tapi kematiannya memaksaku untuk mengetahui semua informasi yang sampai kepadaku, termasuk email yang memintaku bergabung dalam grup chatting itu. Ketika akses online untuk ikut dalam grup itu kubuka, yang tampak dalam layar monitor adalah kalimat sebagai berikut:
“Ketahuilah, Allah akan selalu cinta dan sayang kepada kita, asalkan kita juga cinta dan sayang kepada-Nya melebihi segalanya. Sungguh, Allah akan selalu memberikan yang terbaik buat kita, asalkan kita pun mau memberikan yang terbaik buat Dia. Ingatlah, Saudaraku. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya yang juga mau menolong sesama. Yakinlah dengan segenap keyakinan kita, bukan dengan akal kita yang amat terbatas ini. Rahasia kemuliaan Allah selalu menanti hamba-Nya yang tiada bosan-bosannya menebarkan kebaikan dan berjuang untuk mereka yang papa. Percayalah, rahasia keadilan Allah hanya dapat kita nikmati dengan jiwa yang tenang, jiwa yang ikhlas, tunduk, pasrah, dan patuh. Marilah kita bersama membersihkan hati, menyucikan pikiran, menjernihkan perasaan, melembutkan perkataan, menyopankan pandangan, dan menyantunkan pendengaran. Mari kita membenarkan langkah, membenahi setiap gerak. Kita songsong cahaya Allah dengan cahaya iman kita.”
Setelah membaca email itu aku baru menyadari dia sudah mengetahui bahwa lambat atau cepat pihak yang ingin menghabisinya akan menemukankannya. Dia tidak mau melibatkan kami dalam masalah ini, makanya dia memilih untuk menjauhkan kami dari perang yang dia ciptakan sendiri. Akhirnya, dia memang berhasil menjemput cahaya Tuhan dengan cahaya imannya dalam usia 36 tahun.
Tak terasa senja telah menjemput. Lampu taman telah menyala. Aku masih termangu. Semua tentangnya sangat sulit dilupakan, terutama bila melihat kehidupan kini yang selalu menyajikan kepongahan dan ketidakpedulian kepada mereka yang tidak beruntung. Dari sosoknya, aku dan kami semua dalam tim disadarkan bahwa mengakui Islam sebagai agama adalah mudah, namun menjadikannya sebagai jalan hidup adalah soal lain. Memang surga itu bukan tempat yang mudah dicapai tanpa melalui cobaan. Kutinggalkan taman itu namun aku tidak akan pernah meninggalkan kenangan tentangnya.
Sumber : Buku , Cinta Yang Kuberi, Volume 2