Setiap pagi Rasulullah SAW mendatangi pengemis buta dengan membawa makanan, dan tanpa berkata sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapi makanan yang dibawanya kepada pengemis itu walaupun pengemis itu selalu berpesan agar tidak mendekati orang yang bernama Muhammad. Rasulullah SAW melakukannya setiap hari hingga menjelang Beliau SAW wafat. Pengemis buta itu baru tahu yang menyuapinya selama ini adalah rasulullah, setelah Rasululah SAW wafat. Itupun yang memberi tahu bukan putri Nabi tapi sahabat Rasulullah yaitu Abubakar r.a. Setelah pengemis itu mendengar cerita Abubakar r.a. ia pun menangis dan kemudian berkata, benarkah demikian?, selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia…
Ketika itu Nabi adalah pemimpin Umat di Madinah. Yang walau tidak menyebut diri beliau sebagai Raja atau Sultan namun secara defakto Rasul diakui oleh penduduk Madinah adalah Raja. Hukum yang berlaku di Madinah berasal dari sabdanya. Sehebat itu pengakuan masyarakat Madinah terhadap beliau tidak membuat beliau marasa berhak di hormati oleh siapapun termasuk Yahudi yang juga komunitas di Madinah. Bahkan beliau tidak mengumumkan berdirinya Khilafah di Madinah. Beliau menerapkan piagam Madinah yang merupakan kesepakatan dengan seluruh pimpinan suku lintas agama. Sehingga sejak itu tidak ada lagi istilah ukhuwah Islamiyah “Yang Islam saudara, yang bukan Islam bukan saudara.”, tetapi ukhuwah madaniyah, yaitu persaudaraan untuk seluruh penduduk. Semua sama kedudukannya dalam hukum, siapapun dia. Siapapun yang salah, tidak melihat sukunya harus dihukum.
Namun apakah Rasul menerapkan hukum dengan kaku ? Tidak. Seorang Arab Badui pernah memasuki masjid, lantas dia kencing di salah satu sisi masjid. Lalu para sahabat menghardik orang ini. Namun Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang tindakan para sahabat tersebut. Tatkala orang tadi telah menyelesaikan hajatnya, Nabi lantas memerintah para sahabat untuk mengambil air, kemudian bekas kencing itu pun disirami. Kemungkaran itu wajib diingkari dengan segera sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat tadi. Namun menyelesaikan penodaan agama tidak dengan kekerasan dan kutukan tapi dengan cinta. Dan agama tidak mengajarkan kekerasaan kepada orang yang berbeda dan tidak tahu akan hal yang munkar yang diatur dalam islam.
Islam tidak mengajarkan berlaku kasar kepada Pemimpin yang diakui oleh rakyat. Apakah ada zaman sekarang pemimpin yang menandingi kezoliman dan kesombongan Firaun? Ia kejam dan dengan kepongahannya dia bisa membuktikan bahwa dia sama dengan Tuhan karena dia bisa menentukan kapan orang mati dengan hukum pedangnya. Namun apakah Allah menyuruh Musa melawan sikap arogan itu dengan kekerasan dan kebencian ? Tidak.! Bahkan Allah berfirman kepada Musa dan Harun“ Pergilah kamu berdua kepada Firaun, sesungguhnya dia telah melampaui batas". "Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”.
Islam adalah agama cinta. Allah mengutus Rasul menyampikan kabar gembira kepada Manusia tentang rahmat Allah itu. Rasulullah pernah ditanya oleh sahabatnya "Wahai Rasulullah, tidakkah engkau mendoakan keburukan untuk orang-orang musyrik?” Tahukah anda bahwa tidak ada perbuatan yang paling buruk dalam islam melainkan perbuatan menyekutukan Allah. Lantas apa jawab Rasul? “Sesunguhnya aku tidak diutus sebagai tukang melaknat, sesungguhnya aku diutus hanya sebagai rahmat “. Rasul punya prinsip yang keras terhadap pemeluk agama lain tapi sikap keras itu lebih kepada sikap percaya diri tanpa terpengaruh dengan provokasi apapun, bahkan Rasul tidak akan terpancing untuk memerangi mereka hanya karena perbedaan agama. Tidak akan membenci dengan berlaku kasar kepada mereka. Allah berfirman bahwa “ Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka”.
Perang demi perangan di lakukan zaman Rasul dan juga sahabat, bukanlah perang penyebaran agama. Bukan. Tapi perang menegakan keadilan. Umumnya karena pedagang Madinah di larang berniaga di suatu kota yang pemimpinnya non muslim. Atau banyak penduduk yang telah muslim namun di perlakukan tidak adil oleh pemimpin disuatu negara. Karena itulah seruan hidup damai dan keadilan disampaikan Rasul dengan dasar perintah Allah agar mereka berlaku adil kepada rakyatnya. Kalau seruan itu di setujui dan dilaksanakan oleh pemimpin maka urusan selesai. Walau tidak harus pemimpin itu menerima dan memeluk islam. Tapi apabila seruan itu tidak disetujui maka jalur perundingan ditempuh. Kalau perundingan tidak tercapai maka perangpun di maklumkan. Dalam perang, dilarang pasukan islam membunuh anak anak, orang tua yang tidak ikut perang, wanita yang lemah. Tidak boleh merusak tanaman dan rumah penduduk. Andaikan berhasil dalam perang penaklukan, juga tidak di benarkan memaksa penduduk setempat untuk pindah agama. Bakan tidak di benarkan merusak tempat ibadah penduduk setempat yang beragama non muslim. Jadi perang dilakukan itu berdimensi moral bukan penjajahan.
***
Kitab Mulia bukan hanya sekumpulan dogma tapi lebih banyak berupa inspirasi agar manusia bisa mengkayakan akal dan hatinya. Tapi bagi sebagian orang menganggap lain. Agama jadi dokrin politik dan kebenaran hanya miliknya seorang. Pada tanggal 8 Juni 1992, Farag Fouda tewas tertembak di Madinat al-Nasr, Kairo, anaknya luka luka. Siapa pembunuhnya ? Dua orang bertopeng menyerangnya yang mengaku Kelompok Jamaah Islamiyah. Bagi kelompok itu, tak ada dosa bila Fouda dibinasakan. Bukankah lima hari sebelum itu sekelompok ulama dari Universitas al-Azhar memaklumkan bahwa cendekiawan ini telah menghujat agama, dan sebab itu boleh dibunuh? Seorang ulama, membenarkan aksi teror itu yang menurutnya tindakan mereka adalah pelaksanaan hukuman yang tepat bagi seorang yang murtad. Jika kita baca buku yang diterbitkan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama," Kebenaran Yang Hilang", yang juga memuat kata pengantar Samsu Rizal Panggabean. Pendirian Fouda dikemukakan dengan gamblang dalam serangkaian bab al-Haqiah al-Ghaybah-nya yang diterjemahkan oleh Novriantoni. Ia memang bisa mengguncang sendi-sendi pemikiran kaum “Islamis”: mereka yang ingin menegakkan “negara Islam” berdasarkan ingatan tentang dunia Arab di abad ke-7 ketika para sahabat Nabi memimpin umat. Bila kaum “Islamis” menggambarkan periode salaf itu sebagai zaman keemasan yang patut dirindukan, Fouda tidak. Baginya, periode itu “zaman biasa”.Bahkan sebenarnya “tidak banyak yang gemilang dari masa itu. Malah, ada banyak jejak memalukan.”
Contoh yang paling tajam yang dikemukakan Fouda ialah saat kejatuhan Usman bin Affan, khalifah ke-3. Sahabat Rasul yang diangkat ke kedudukan pemimpin umat pada tahun 644 itu–melalui sebuah musyawarah terbatas antara lima orang–berakhir kekuasaannya 12 tahun kemudian. Ia dibunuh. Para pembunuhnya bukan orang Majusi, bukan pula orang yang murtad, tapi orang Islam sendiri yang bersepakat memberontak. Mereka tak sekadar membunuh Usman. Menurut sejarawan al-Thabari, jenazahnya terpaksa “bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan”. Ketika mayat itu disemayamkan, tak ada orang yang bersembahyang untuknya. Siapa saja dilarang menyalatinya. Jasad orang tua berumur 83 itu bahkan diludahi dan salah satu persendiannya dipatahkan. Karena tak dapat dikuburkan di pemakaman Islam, khalifah ke-3 itu dimakamkan di Hisy Kaukab, wilayah pekuburan Yahudi. Tak diketahui dengan pasti mengapa semua kekejian itu terjadi kepada seseorang yang oleh Nabi sendiri telah dijamin akan masuk surga. Fouda mengutip kitab al-Tabaqãt al-Kubrã karya sejarah Ibnu Sa’ad, yang menyebutkan satu data yang menarik: khalif itu agaknya bukan seorang yang bebas dari keserakahan. Tatkala Usman terbunuh, dalam brankasnya terdapat 30.500.000 dirham dan 100.000 dinar. Kaum “Islamis” tak pernah menyebut peristiwa penting itu, tentu. Dan tentu saja mereka tak hendak mengakui bahwa tindakan berdarah terhadap Usman itu menunjukkan ada yang kurang dalam hukum Islam: tak ada pegangan yang mengatur cara mencegah seorang pemimpin agar tak menyeleweng dan bagaimana pergantian kekuasaan dilakukan.
Ketika Usman tak hendak turun dari takhta (ia mengatakan, “Demi Allah, aku tidak akan melepas baju yang telah disematkan Allah kepadaku!”), orang-orang Islam di bawahnya pun menemui jalan buntu. Sebagaimana disebut dalam Kebenaran Yang Hilang, para pemuka Islam waktu itu mencari-cari contoh dari masa lalu bagaimana memecahkan soal suksesi. Mereka gagal. “Mereka juga mencari kaidah dalam Islam…tapi mereka tak menemukannya,” tulis Fouda. Maka perkara jadi runcing dan mereka mengepung Usman–lalu membunuhnya, lalu menistanya. Tampak, ada dinamika lain yang mungkin tak pernah diperkirakan ketika Islam bertaut dengan kekuasaan. Dinamika itu mencari jalan dalam kegelapan tapi dengan rasa cemas yang sangat. Orang memakai dalih agama untuk mempertahankan takhta atau untuk menjatuhkan si penguasa, tapi sebenarnya mereka tahu: tak ada jalan yang jelas, apalagi suci. Di satu pihak, mereka harus yakin, tapi di lain pihak, mereka tahu mereka buta.
Itu sebabnya laku mereka begitu absolut dan begitu bengis. Pada tahun 661, setelah lima tahun memimpin, Ali dibunuh dengan pedang beracun oleh seorang pengikutnya yang kecewa, Ibnu Muljam. Khalifah ke-4 itu wafat setelah dua hari kesakitan. Pembunuhnya ditangkap. Sebagai hukuman, tangan dan kaki orang ini dipenggal, matanya dicungkil, dan lidahnya dipotong. Mayatnya dibakar. Ketika pada abad ke-8 khilafah jatuh ke tangan wangsa Abbasiyah, yang pertama kali muncul al-Saffah, “Si Jagal”. Di mimbar ia mengaum, “Allah telah mengembalikan hak kami.” Tapi tentu saja ia tahu Tuhan tak pernah menghampirinya. Maka ia ingin tak ada lubang dalam keyakinannya sendiri (juga keyakinan orang lain) tentang kebenaran kekuasaannya. Al-Saffah pun mendekritkan: para petugas harus memburu lawan politik sang khalif sampai ke kuburan. Makam pun dibongkar. Ketika ditemukan satu jenazah yang agak utuh, mayat itu pun didera, disalib, dibakar. Musuh yang telah mati masih terasa belum mutlak mati. Musuh yang hidup, apa lagi….
Islam ketika digunakan sebagai kendaraan politik maka dia kehilangan nilai rahmatan lilalamin. Islam semacam itu hanya menebarkan fitnah, kebencian, pembunuhan, kerakusan, pembodohan, demo yang tak berkesudahan dan menyusahkan orang banyak. Karena sebetulnya mereka tidak menyiarkan islam tapi mereka merusak islam itu sendiri demi kekuasaan dan akses kepada harta. Kepada Allah kita berserah diri, karena hanya Allah yang bisa menjaga Islam itu rahmat bagi semua. Dan biarlah waktu yang akan menilai nanti... Kita hanya tahu islam itu seperti yang diajarkan Rasul, sebagaimana Aisyah radhiyallahu 'anha meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Wahai Aisyah, sesungguhnya Allah itu Maha Lembut, mencintai yang lembut di dalam seluruh perkara". (HR. Bukhari.) Yang tidak lembut, itu bukan islam. Mereka hanya memanfaatkan islam untuk kepentingan pribadinya.