Tahun 2006 di Belanda, saya bertemu dengan teman yang ayahnya pernah jadi tentara sekutu bertugas di Indonesia pada batalion A wilayah Bogor. Tugasnya melucuti senjata Jepang. Pada satu kesempatan dia ajak saya bertemu dengan ayahnya di Rotterdam.
“ Patriot sejati adalah prajurit pejuang Indonesia. Tidak ada prajurit di dunia ini yang sehebat pejuang Indonesia”‘kata ayahnya ketika tahu saya dari indonesia.
“ Mengapa ? Tanya saya.
“ Saya saksikan sendiri. Ketika mereka tertangkap dan dieksekusi mati. Tidak nampak di wajahnya rasa takut. Tenang. Sangat tenang setenang air danau. Malah, yang kini saya tak pernah lupa, ketika saya bidik senjata kearah mereka. Seperti ada cahaya putih melingkup mereka. Benar benar cahaya putih. Makanya mereka tidak teriak sakit. Yang nampak dari mayatnya adalah wajah euforia. “‘Katanya dengan air mata berlinang.
Saya terdiam dan air mata saya juga berlinang.
“ Nak, Indonesia merdeka karena pejuang Tuhan. Itu nyata. Malaikat selalu bersama mereka. Jadi nak… jangan kianati mereka para patriot itu. Jangan. “ katanya terbata bata.
Saya kalau baca diary kisah ini, saya merinding seakan setiap waktu kita mendapat kutukan para Syuhada karena kemerdekaan hanya memberikan kemakmuran kepada 1% populasi yang menikmati 40% pendapatan nasional dan 67 % sumber daya nasional. Kita bisa berubah. Bisa !
***
Tanah airku akan kubela dengan darahku. Demikian kata kata yang terkesan romantis namun naif. Lebih tepatnya kalimat melodrama belaka. Mengapa? Tanah air ada, pajak diperkenalkan. Sistem keuangan di create. Negara membuat aturan soal pajak dan bea, pemerintah mengatur pemasukan dan pengeluaran. Kini pendapatan negara dari pajak dan sumber daya keuangan (‘M2). Tanpa itu engga ada kerjaan yang bisa jalan. Karenanya kebijakan apapun yang berkaitan dengan sosial, politik, budaya, ya orientasinya ekonomi. Soal keadilan bagi simiskin harus tegak itu hanya retorik melodrama.
Walau produksi berasal dari 1% populasi rakyat yang menguasai 40% pendapatan nasional, namun rasio pajak hanya 9,76%. Artinya ? komunitas 1% itu mendapatkan banyak fasilitas insentif pajak. Lantas darimana negara membiayai kekurangan anggaran ? 40% dari pajak tidak langsung ( PPN, Ppn BM, Cukai ). Itu dibebankan kepada rakyat sebagai konsumen, bukan kepada 1% populasi yang sibuk produksi, numpuk laba menuhi brankas di luar negeri.
Terus darimana lagi kekurangannya? dari social security contribution/SSC atau pengelola dana pensiun, asuransi, BPJS tenaga kerja. Apa artinya? sistem negara kita memang diongkosi disamping dari pajak juga dari security contribution/SSC, disediakan oleh para pekerja, bukan oleh konglomerat. Engga percaya ?
Mari kita lihat data sederhana sumber pembiayaan defisit anggaran. Data tahun 2021, Total hutang negara dalam bentuk SBN ( Surat berharga Negara ) sebesar 86,63%. Darimana sumber dana SBN itu? ya dari social security contribution/SSC atau pengelola dan pensiun, asuransi, BPJS tenaga kerja. Tahun 2020 APBN sebesar 2.739,16 triliun, sementara utang dalam bentuk SBN sebesar 1.071,9 triliun atau 40% disediakan oleh para pekerja, bukan oleh 1% populasi yang menguasai 40% pendapatan nasional dan 68% faktor produksi nasional.
Jadi walau kita sudah merdeka lebih dari setengah Abad, tetapi sistem masih feodalistik atau berpihak kepada kelas penguasa dan pemodal. Salah ? Ya engga. Era sekarang semua perlu ongkos. Semua orang hidup tergentung uang kecuali orang mati. Orang pintar makan orang bodoh. Yang lemah dilipat oleh yang kuat. Ya wajar saja. Karena era demokrasi semua orang bebas milih, mau bego atau cerdas. Mau kuat atau lemah. Sistem mendukung itu. Semua terserah pilihan anda. Baper karena bokek, ngeluh ? Kelaut aja...
No comments:
Post a Comment