Pria belia, usia 20 tahun. Menghadap penghulu untuk menikahi seorang gadis usia 16 tahun. Pria muda itu, berdandan dengan pakaian jas, pentalon dan dasi. Sang penghulu ketika melihat pria itu, dengan lembut menasehati
“ Anak muda” Katanya. ”dasi adalah pakaian orang yang beragama Kristen… tidak sesuai dengan kebiasaan kita dalam agama Islam.”
”Sudah di perbaharui”. Pria itu membela diri.
“Pembaharuan itu hanya terbatas pada pantalon , dan jas buka” kata penghulu dengan nada membentak.
‘ Tak sudi “ Kata pria itu dengan tegas menyikapi suara keras dari penghulu“Biar Nabi sendiri sekalipun tak kan sanggup menyuruhku untuk menanggalkan dasi”. Sambungnya. Maka ia bangkit dari kursi dan mengancam membatalkan akad nikah, jika ia harus mencopot dasi. Ketika penghulu tak mau mundur, mempelai itu berkata: ”Persetan, tuan-tuan semua. Saya pemberontak dan saya akan selalu memberontak. Saya tak mau di dikte orang di hari perkawinan saya.”
Suasana tegang.
Ada si Alim yang berada di tengah acara ijab kabul itu yang berdiri untuk mengambil alih tugas penghulu dalam prosesi pernikahan itu. Akhirnya akad nikah dilakukan sesuai kehendak Pria muda itu, bukan oleh si penghulu, melainkan oleh seorang alim yang ada di antara tamu. Pria muda itu, suatu kelak menjadi tokoh pergerakan nasional yang berhasil mendobrak kepongahan kolonialis Belanda. Ia adalah Soekarno. Apakah sikap Soekarno itu mencerminkan dia tidak paham agama? Justru Soekarno sangat paham agama. Melebihi penghulu yang bersorban itu. Itu berkat didikan dari H.O.S. Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam, pengusaha yang ulama, ulama yang tidak hidup dari dakwahnya tapi berkorban demi dakwah, yang juga adalah ayah mertuanya sendiri. Soekarno adalah kader pergerakan syarikat islam. Karena itulah seorang ayah tokoh pergerakan islam, ikhlas menyerahkan anak gadisnya kepada Soekarno.
Syahdan, pada 1939 ada sebuah berita tentang Bung Karno: ia meninggalkan sebuah rapat Muhammadiyah sebagai protes. Bung Karno tak setuju karena ada tabir yang dipasang di sana untuk membatasi tempat perempuan dengan tempat laki-laki. Maka koresponden Antara pun mewawancarainya. Bung Karno menegaskan: tabir tampaknya soal kecil, soal kain yang remeh. Tapi sebenarnya soal maha besar dan maha penting, sebab menyangkut posisi sosial perempuan. ”Saya ulangi: tabir adalah simbol dari perbudakan kaum perempuan!” Bagi Bung Karno, tabir adalah aturan agama yang lahir dalam sejarah sosial. Seperti halnya kolonialisme, ”perbudakan” seperti itu bukan hasil dari sabda yang kekal. Ia akan berubah. Ia bisa diubah. Juga Hatta, Tan Malaka, dan sebelumnya Tjipto Mangunkusumo dan Soewardi Soerjaningrat. Pergerakan menentang kolonialisme Belanda telah melahirkan sebuah nasionalisme yang lain: melihat ke depan. Nasionalisme itu berkait dengan agenda modernitas, dan islam harus di garis depan dalam hal modernitas ini. Nilai islam sebagai obor pembaharuan yang di canangkan Rasul harus benar benar menjadi rahmat bagi semesta. Perjuangan islam juga adalah perjuangan kaum terpelajar, adalah bagaimana membebaskan indonesia dari penjajahan sistem tapi juga pembebasan dari tradisi kolot, penuh mistik, taklik buta.
Penjajahan dalam konsep pemikiran dengan dalil agama, idiologi, yang membuat manusia malas berpikir bebas, adalah sumber kemunduran. Karena Keistimewaan manusia ada pada kebebasan bersikap dan berpikir. Tuhan menciptakan manusia dengan akal yang di beri kebebasan menentukan pilihan. Sangking bebasnya, sorga dan neraka pun di ciptakan. Silahkan pilih. Karena kalaulah Tuhan ingin semua seperti Tuhan mau, tentu akan mudah sekali dengan KeMaha KekuasaanNYA. Tapi adakah keimanan yang sejati dengan pemaksaan?. Adakah kehidupan dengan pemaksaan?. Dengan taklik?. Karenanya hanya orang bego yang mau di atur oleh pemikiran orang lain, dan hidup mendera dalam kebahagian semu di bawah status pengekor. Dia hanyalah kunang kunang, bukan lebah. Soekarno sadar , sebetulnya sebelum Belanda atau asing menjajah bangsa Indonesia, bangsanya sudah terjajah lebih dulu oleh tradisi agama dan budaya yang memenjarakan akal. Kekuatan pikiran terabaikan sudah.
Memahami kekuatan pikiran ini memang tak jauh dari hal pertama, bahwa kita menciptakan kejadian di alam semesta ini bersama Tuhan. Kedua, kita bekerja sama dengan Tuhan untuk menciptakan berbagai peristiwa yang kita kehendaki. Artinya Allah itu sangat dekat dengan kita. Bahkan kalangan ahli tasawuf mengajarkan manusia harus memikirkan diri sebagai manifestasi Tuhan. God as me. Tuhan sebagaimana saya. Sebagaimana paham wahdatul wujud, bahwa kehendak seseorang bersatu dengan kehendak Tuhan. Pada tingkat tertentu, menurut pandangan itu, dalam pengalaman ruhani yang sangat tinggi, yakni paling ujung dari seluruh perjalanan sufi, manusia tidak lagi bisa membedakan mana dirinya dan mana Tuhan. Pada tahap ini kemampuan akal tak lagi berfungsi untuk membedakan antara khalik dan makhluk, antara Tuhan dan saya. Karena berbagai peristiwa di alam ini tak lepas dari hasil yang dibentuk oleh pemikiran kita, maka kita harus bertanggungjawab atas berbagai peristiwa di sekitar kita. Think twice before you speak, because your words and influence will plant the seed of either success or failure in the mind of another.
Baik dan buruk hasilnya adalah pilihan cara kita berpikir. Andai ada orang lain berpikir negatif, pesimis, maka hindarilah karena kalau buruk yang terjadi maka kitapun ikut bertanggungjawab. Nampaknya , di era reformasi kini, tradisi lama itu ingin di hidupkan lagi oleh sebagian orang di mana nasionalisme Indonesia mengandung pesimisme. Sadarlah. Zaman terus bergerak ke depan. Tak ada yang bisa membendung waktu bergerak. Dan kemuliaan manusia semakin mendapat tempat bukan karena dokrin atau dalil atau tafsir tapi karena manusia semakin punya kemampuan akal untuk mencerna dan memahami Firman Tuhan, bahwa Islam itu adalah rahmat bagi alam semesta, bukan teror pemikiran atau senjata yang memaksa semua orang punya persepsi yang sama, dan akhirnya kekuatan pikiran melemah. Bukan.
No comments:
Post a Comment