Monday, November 17, 2008

Sunattullah..

” Ya muqallibal Qulub, sabits qolbi a’la deenik ”artinya “wahai yg membolak balikan hati, tetapkan hatiku pada agama Mu” Itulah doa yang diajarkan oleh Nabi kepada Abubakar Sidiq. Ini merupakan satu fakta tak terbantahkan bahwa Allah itu berhak untuk buat orang kafir atau beriman. Hidayah itu hak mutlak Allah. Tak ada satupun manusia bisa memaksakan hidayah kepada orang lain. Tak selamanya orang yang dinilai kafir akan mati dalam kekafiran. Tak selamanya orang yang sangat beriman mati dalam keimanannya. Makanya yang pertama tama yang harus kita curigai adalah keimanan kita sendiri, sebelum kita mengukur dosa dan kekafiran orang lain. Itu urusan Allah.

Memang diri kita sendirilah yang patut dicurigai. Bahkan jangan pernah percaya seratus persen terhadap diri kita sendiri. . Karena setiap ada masalah yang pertama kita curigai adalah akal kita. .Akal cenderung memberikan masukan menurut orang lain dan cenderung culas.Kemudian barulah nafsu kita sendiri. Nafsu cenderung memberikan masukan yang mudah dan culas. Bila mendapatkan kebahagiaan maka yang pertama kita curigai adalah nafsu kita. Nafsu suka memaksa kita untuk berlebihan dalam kenikmatan. Kemudian akal kita karena akal cenderung membenarkan apa kata nafsu tentang perlunya menikmati hidup berlebihan. Dari sikap curiga inilah nurani kita terus diuji untuk mengambil sikap diantara dorongan akal dan nafsu. Eksistensi kita adalah jiwa kita yang bersemayam dalam nurani kita. Sebagaimana firman Allah "Demi jiwa dan Dia yang menyempurnakannya dan memperkenalkannya kepadanya keburukannya dan kebaikannya. Sungguh beruntung orang yang dapat mensucikan jiwa itu, dan merugilah orang yang mengotorkannya (Qs 91: 7-10).

Hidup manusia dimuka bumi adalah fitrah manusia yang tak bisa menghindari sunatullah. Sunatullah itu berhubungan langsung dengan akal, nafsu dan nurani. Ia teraktualisasi dalam interaksi kita dengan sesama manusia dan alam sekitar untuk mencari rezeki Allah. Semua adalah proses sebagai bentuk lain dari cara kita beribadah kepada Allah. Sebagai mana firman Allah dalam surat al-Jum'ah ayat 10 " Apabila shalat sudah ditunaikan maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah karunia Allah serta banyak-banyaklah mengingat Allah agar kalian menjadi orang yang beruntung. Artinya ada proses lain yang tak kurang dari sholat lima waktu. Yang waktunya begitu banyak atau 90% waktu yang tersedia dalam 24 jam adalah sunatullah.

Dalam proses ini setiap manusia menghadapi medan yang berbeda. Tergantung budaya, tempat dan takaran ilmunya. Setiap manusia berjalan diatas titian bagaikan rambut dibelah tujuh. Antara kebahagiaan dan penderitaan, antara kesehatan dan penyakit, antara kemenangan dan kekalahan, antara hidup dan mati, antara untung dan rugi , nikmat dan fitnah, begitu dekatnya. Setiap manusia dapat tergelincir kesalah satu sisi itu. Setiap saat manusia hidup dalam resiko. Ini pertarungan yang tak ada habis habisnya hingga keliang lahat.

Atas dasar itulah Allah memberikan Bashir..( kabar gembira) lewat rasul. ”Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggungjawaban) tentang penghuni-penghuni neraka. (QS 2: 119), Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. (QS 34: 28), Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada suatu umat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan. (QS 35: 24), dan (Al Qur’an) yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling (daripadanya); maka mereka tidak (mau) mendengarkan. (QS 41: 4).

Karenanya dalam keseharian kita yang lemah, sudah sepatutnya yang menjadi landasan bersikap adalah al Quran dan Hadith. Inilah keadilan Allah. Semua cara untuk melewati proses sunatullah itu disampaikan secara tinci dan gamplang , dan bahkan lengkap dengan contoh how to do lewat sunah rasul. Tapi kadang kita lupa. Lupa akan esensi sunatullah yang membutuhkan iktiar ( syariah) dalam derita untuk mempertebal kesabaran, dalam kenikmatan untuk mempertebal rasya sukur, dalam kesulitan untuk mempertebal istiqamah, dalam kemenangan untuk mempertebal sikap tawadhu. Semua orang bisa saja tergelincir dan Allah maha mengetahui lagi maha perkasa serta pengampun. Semua kita diharapkan kembali kepadaNya dalam keadaan sempurna walau kadang harus salah dan alfa. Karena proses sunatullah itu memang tidak mudah…makanya jangan pernah lupa barang sedetikpun kepada Allah.

2 comments:

Anonymous said...

Sunnatullah - Mungkin Iman Kita Belum Sampai........


KISAH HABIB AJAMI
Habib ibnu Muhammad al‘Ajami al-Bashri, seorang Persia yang tinggat di Bashrah; adalah se¬orang perawi terkemuka yang meriwayatkan dari Hasan Bashri, Ibnu Sirin, dan yang lainnya. Ke¬berpalinganya dari kesenangan hidup dan dari memperturutkan hawa nafsu, dipicu oleh kefasihan Hasan al Bashri; Habib sering menghadiri ceramah-ce¬ramahnya, (dan akhirnya menjadi salah satu murid ¬terdekatnya).

Awalnya, Habib adalah seorang laki-laki yang kaya raya dan juga seorang lintah darat. Ia tinggal di Bashrah. Setiap hari ia berkeliling kota menagih orang-orang yang berutang padanya. Bila tak ada uang, ia akan meminta pembayaran dengan kulit domba untuk bahan sepatunya. Begitulah mata pencariannya. Suatu hari, ia pergi untuk menemui seseorang yang berutang padanya. Namun orang itu tidak ada di rumah. Karena gagal menemui orang itu, ia pun meminta pembayaran dengan kulit domba.“Suamiku tak ada di rumah,” tutur istri si peng¬utang itu padanya. “Aku sendiri tak punya apa-apa. Kami telah menyembelih seekor domba, tapi, kini tinggal lehernya yang tersisa. Bila kau mau, aku akan memberikan padamu.”
“Boleh juga,” ujar Habib, ia berpikir bahwa setidaknya bisa ia membawa pulang leher domba itu. “Panaskan panci!”
“Aku tidak punya roti ataupun bahan bakar,” kata wanita itu.“Baiklah,” kata Habib. “Aku akan pergi meng¬ambil roti dan bahan bakar, dan semuanya akan kuperhitungkan dengan kulit domba.”Habib pun pergi dan mengambil roti serta bahan bakar. Wanita-itu menyiapkan panci. Masakan itu pun matang, dan si wanita hendak menuangkannya ke dalam sebuah mangkuk. Saat itu, seorang pengemis mengetuk pintu.“Jika kami memberimu apa yang kami miliki,” teriak Habib, “kau tak akan menjadi kaya, sementara kami sendiri akan menjadi miskin!”Pengemis itu dengan putus asa, meminta wanita itu untuk menuangkan sesuatu ke mangkuknya. Wanita itu mengangkat tutup panci dan melihat bahwa seluruh isinya telah berubah menjadi darah. Wanita itu menjadi pucat, ia bergegas menemui Habib dan menarik tangannya, membawanya mendekati panci itu. “Lihatlah apa yang telah terjadi akibat praktik riba terkutukkmu itu, dan akibat caci-makimu kepada. pengemis itu!” pekik wanita itu. “Apa yang akan menimpa kita sekarang di dunia ini, belum lagi di akhirat kelak?”Melihat hal ini, Habib merasa seakan-akan kobaran api di dalam tubuhnya yang tak akan pernah surut. “Wahai wanita,” ujarnya; “aku menyesali segala, yang pernah kulakukan.”
Esok harinya Habib kembali pergi menemui orang-orang yang berutang padanya untuk menagih. Hari itu hari Jumat, anak-anak terlihat bermain di jalan. Ketika mereka melihat Habib, mereka berteriak, “Jangan dekat-dekat, agar debunya tidak menempel pada tubuh kita dan membuat kita terkutuk seperti dirinya.”Kata-kata itu sangat menyakiti Habib, Ia kemudian menuju gedung pertemuan, di sana Hasan Bashri sedang berceramah. Kebetulan, ada kata-kata Hasan Bashri yang benar-benar- menghenyakkan hati Habib, hingga membuatnya jatuh pingsan. Ia pun bertobat. menyadari apa yang telah terjadi, Hasan Bashri memegang tangan Habib dan menenang¬kanya. Sepulangnya dari gedung pertemuan., Habib terlihat oleh seseorang yang berutang padanya, orang itu pun hendak melarikan diri. “Jangan lari!,” kata Habib padanya, “Mulai sekarang, akulah yang harus melarikan diri darimu.” Habib pun berlari. Anak-anak masih saja bermain di jalan. Ketika mereka melihat Habib, mereka kembali berteriak, “Lihat, itu Habib sang petobat. Jangan dekat-dekat, agar debu kita tidak menempel di tubuhnya, karena kita adalah para pendosa.”“Ya Allah, ya Tuhan,” tangis Habib. “Karena satu hari ini, di mana aku bertobat, Engkau telah menabuh genderang di hati manusia untukku, dan membuat namaku masyhur karena kebajikan.” Lalu ia pun mengeluarkan pernyataan, “Siapa saja yang menginginkan apa pun dari Habib, datanglah ke¬padaku dan ambil apa pun yang kalian mau!”, Orang-orang pun berkumpul di rumahnya, dan ia memberikan segala yang dimilikinya hingga ia tak punya uang sepeser pun. Kemudian, seorang pria datang meminta sesuatu, Karena tak memiliki apa-apa lagi, Habib pun memberi pria itu kain istrinya. Kepada seseorang yang datang kemudian, Habib memberikan bajunya, sendiri, ia pun jadi telanjang dada.Habib lalu menyepi di tepi Sungai Eufrat dan di sana ia menyerahkan diri sepenuhnya untuk ibadah.
Setiap hari, siang dan malam, ia. belajar di bawah bimbingan Hasan, tapi ia tidak bisa mempelajari Al-Qur’an, karenanya, ia juluki Barbar. Waktu pun berlalu, dan Habib benar-benar menjadi orang yang sangat, miskin. Istrinya me¬mintanya untuk memberi nafkah sehari-hari, Habib pun keluar rumah menuju tepi Sungai Eufrat untuk beribadah. Ketika malam tiba, ia kembali ke rumah. “Suamiku, di mana engkau bekerja, kok tidak membawa pulang apa-apa?,” tanya istrinya. “Aku bekerja pada. seseorang yang sangat dermawan,” jawab Habib, “Saking dermawannya ia, aku sampai malu untuk meminta kepadanya. Bila telah tiba waktu yang tepat, ia akan memberi. Setiap sepuluh hari aku membayar upah,” kata Bosku.Begitulah, setiap hari Habib pergi ke tepi sungai dan beribadah di sana, hingga sepuluh hari. Pada hari kesepuluh, di waktu dzuhur, di benaknya berkata; “Apa yang aku bawa pulang malam ini, dan apa yang aku katakan pada isteriku?”Habib merenungkan hal ini dalam-dalam. Seketika, Allah Yang Mahakuasa mengutus bebe¬rapa orang kuli ke rumah Habib dengan membawa tepung, daging domba, minyak, madu, rempah rempah, dan bumbu dapur. Kuli-kuli itu menaruh barang berat tersebut di dapur rumah Habib. Seorang anak muda yang tampan menyertai mereka dengan membawa uang sebanyak tiga ratus dirham. Anak muda itu mengetuk pintu rumah Habib.“Apa keperluan Anda?” tanya istri Habib sambil membuka pintu. “Tuanku telah mengirim semua ini” jawab anak muda itu. “Bilang pada Habib, ‘Bila kau tingkatkan hasilmu, niscaya kami akan tingkatkan upahmu.” Setelah mengatakan hal itu, ia pun pergi.Di kegelapan malam, Habib melangkah pulang, malu dan sedih. Ketika ia semakin mendekati rumah¬nya, ia mencium aroma roti dan masakan. Istrinya berlari menyambutnya, membersihkan wajahnya, dan berlaku sangat lembut padanya: “Suamiku,” kata istrinya, “tuanmu itu sangat haik, dermawan, serta; penuh cinta dan kebaikan. lihatlah apa yang telah ia kirimkan melalui seorang anak muda yang tam¬pan! Dan anak muda itu berkata, ‘Jika Habib pulang, katakan padanya, ‘Bila kau tingkatkan hasilmu, niscaya kami akan tingkatkan upahmu.”Habib merasa takjub. “Menakjubkan!” katanya. “Aku baru bekerja, selama sepuluh hari, dan ia telah memberikan aku-segala kebaikan ini. Jika aku bekerja lebih keras, siapa yang tahu apa yang akan diperbuat¬nya?” Habib pun memalingkan wajahnya sepenuhnya dari duniawi dan mengabdikan diri untuk ber¬ibadah kepada-Nya.

Anonymous said...

Sunnatullah - Munkin Iman Kita Yang Belum Sampai (II)

KISAH HABIB AJAMI (II)
Suatu hari Hasan berniat untuk pergi ke suatu tempat, melewati sungai Tigris sembari merenung ketika Habib di tempat itu.“Guru, mengapa Anda berdiri di sini?” tanya Habib“Aku ingin pergi ke suatu tempat, namun perahu¬nya terlambat,” jawab Hasan.“Guru, apa yang telah terjadi padamu?” tanya Habib. “Semua yang kutahu, kupelajari darimu. Hilangkan kedengkian dalam.hatimu. Tutuplah hatimu dari keduniawian, Ketahuilah bahwa pen¬deritaan adalah hadiah yang amat berharga, dan semua urusan adalah dari Tuhan. Kemudian, taruh¬lah kaki di atas air dan berjalanlah.”Selesai berkata demikian, Habib melangkah di atas air dan meninggalkan tempat itu. Melihatnya, Hasan pun jatuh pingsan. Ketika, ia siuman, orang orang bertanya kepadanya, “Wahai Imam Kaum Muslim, apa yang terjadi padamu?”“Muridku, Habib, baru saja menegurku,” jawab Hasan. “Kemudian ia melangkah di atas air dan pergi meninggalkan tempat ini, sementara aku tetap tak berdaya. Jika kelak aku diperintahkan, ‘Seberangi jembatan itu dan aku tetap tak berdaya seperti ini, apa yang dapat aku lakukan?”Dalam kesempatan lain, Hasan bertanya, “Habib, bagaimana kau dapat memperoleh kekuatan itti?” “Aku memutihkan hatiku, sementara Anda menghitamkan kertas,” jawab Habib.“Pengajaranku menguntungkan orang lain, bukan diriku sendiri,” komentar Hasan.

Kualitas elite rendah..

  Dari diskusi dengan teman teman. Saya tahu pejabat dan elite kita   berniat baik untuk bangsa ini. Namun karena keterbatasan wawasan dan l...