Didunia kini ada tiga idiologi negara yaitu kapitalisme , Sosialisme dan Islam. Dari ketiga idiologi yang mempunyai formula yang jelas dan disepakati oleh komunitasnya adalah Kapitalisme dan Sosialisme. Sementara Islam sebagai idiologi negara masih menjadi silang sengketa diantara komunitasnya. Memang Islam membutuhkan kekuasaan yang bernama negara tapi bukan berarti menjadi negara islam ? Imam Al Ghazali dalam kitabnya Al Iqtishad fil I'tiqad berkata : ?Karena itu, dikatakanlah bahwa agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Dikatakan pula bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang lenyap.?
Konsep negara dan system pemerintahan Islam sendiri memang tidak pernah ada secara kelembagaan. Ketika Nabi wafat, para sahabat sibuk untuk menentukan siapa pengganti Nabi sebagai pemimpin. Karena memang Rasul tidak pernah menentukan system suksesi sebagai model pemerintahan dan kekuasaan. Hanya ada pesan khusus bahwa apabila terjadi silang sengketa maka umat sepeninggalnya harus kembali kepada AL Quran dan Hadith. Namun dalam perjalanannya, justru itu menjadi silang sengketa tak berujung karena menyangkut pemahaman (tafsir ) yang berbeda. Islam apabila sudah dibawa dalam satu kelembagaan seperti Partai, Negara maka dia akan menjadi lembaga birokrasi sama seperti kelembagaan dalam sosialisme dan kapitalisme. Yang ada hanyalah politik kepentingan golongan yang berkuasa.
Para pejuang Islam kebanyakan terjebak dengan cara berpikir kelembagaan dan bukan ruh Islam sebagai rahmatan lilalamin. Akibatnya akan disikapi oleh musuh islam secara kelembagaan juga. Maka yang mengemuka adalah perasangka negative satu sama lain dan akibatnya menjauhkan eksistensi islam sendiri sebagai agama yang damai dan pemberi solusi menyeluruh terhadap segala aspek kehidupan manusia. Sejak berakhirnya Kehalifahan para sahabat Nabi, memang terjadi pergeseran memaknai cara berjuang meninggikan kalimat Allah itu. Islam menjadi cara untuk berkuasa dan menguasai. Kekuasaan dibangun dan akhirnya menimbulkan fitnah dan kemunafikan. Akhirnya jatuh dengan sendirinya dan menjadi catatan mengharukan sampai kini.
Sebagaimana system sosialisme yang tak pernah hentinya dikoreksi dalam perjalanan sejarahnya.Begitupula dengan system Kapitalisme. Karena kedua system ini semakin hari semakin menunjukan bukti kegagalan mencapai tujuan idealnya. Harusnya pada moment inilah pejuang islam tampil untuk mencerahkan. Tidak semua sosialisme itu buruk dan tidak pula semua kapitalisme itu jelek dan suka tidak suka keduanya hadir karena akal pemberian Allah. Tentu ada hikmah terjadinya pemahaman ini. Keduanya hanya dibutuhkan koreksi dan Islam harus tampil melakukan koreksi ini secara substantial akidah dan syariat yang ditetapkan oleh Al Quran dan hadith dan bukan justru menciptakan blok Idiologi baru yang bernama Negara Islam.
Idioliogi negara adalah cara bersiasat untuk mengurus dunia. Sama seperti pejuang mujahid dimedan tempur melawan kelompok murtad dan penguasa zalim, yang membutuhkan siasat menjadi pemenang. Soal siasat ini Nabi sendiri mengungkapkan “ soal urusan dunia kamu lebih tahu “. Namun sehebat apapun siasat perang itu maka harus tunduk kepada etika Islam. Yaitu jangan membunuh orang lemah, anak anak, wanita wanita dan jangan merusak tanaman serta tempat ibadah umat walau berbeda agama. Inilah keindahan ruh Islam yang diajarkan oleh Rasul. Semua dijabarkan secara detail dari hal terkecil cara menyuap makanan sampai soal urusan besar menyangkut negara dan melawan kezoliman.
Jadi, bagi kapitalisme dan sosialisme tidak akan kehilangan symbolnya bila kedua idiologi ini menempatkan ruh ajaran Islam sebagai dasar untuk mereformasi dirinya. Samahalnya dengan Idiologi negara kita.Pancasila tidak akan kehilangan symbol sebagai idiologi selagi dasar berpijaknya adalah Syariat Islam. Namun ternyata dalam perjalanannya Pancasila lebih memilih Sosialis ( Era Soekarno ) dan kemudian kapitalis ( Era Soeharto dan sampai sekarang ) sebagai landasannya. Sementara Islam dicurigai oleh penguasa. Muhamad Natsir pernah berkata dalam debat di konstituante tahun 1957 :''Kita berkeyakinan yang tak kunjung kering, di atas tanah dan dalam iklim Islamiyah Pancasila akan hidup subur. “ Artinya tidak ada satu silapun yang bertentangan dengan ajaran Islam. Namun yang pasti Pancasila bukanlah Islam. Karenanya perlunya dasar negara bersyariat menggunakan ajaran Islam dan tidak penting model pemerintahan dalam bentuk apapun, apakah Republik atau Monarkhi.
Natsir hanya menginginkan dasar negara adalah syariat Islam sebagaimana yang tertuang dalam piagam Jakarta, tanpa menghilangkan keberadaan Pancasila sebagai cara bersiasat mengurus negara. Itu samahalnya dengan idiologi kapitalisme dan sosialisme yang tak digugat sepanjang menerima Islam sebagai syariat dalam menegakkan aturan dalam menjalankan kekuasaan negara. Selagi paham sosialis, kapitalis dan Pancasila mengabaikan syariat Islam maka selama itupula the truth, goodness, justice menjadi subjective. Dan dunia akan selalu dalam ketidak seimbangan dan masyarakat terjebak dengan kelelahan akalnya untuk mencapai kemakmuran dan kedamainan dimuka bumi.
Islam menginginkan agama sebagai jalan hidup dan bukan sebagai lembaga. Islam tidak berjalan diatas symbol symbol kasat mata. Islam ada dihati umat dan teraktual dalam interaksinya dengan alam dan lingkungannya. Karena itupula , Islam tidak akan bertentangan dengan idiologi apapun sepanjang mengedepankan kebenaran absolute ( The truth) , kebaikan sejati ( goodness ) dan keadilan ( Justice). Hanya masalahnya kebenaran sejati ,kebaikan, dan keadilan itu bukanlah hal yang mudah hingga dapat diurai oleh tesis secular (Kapitalis dan sosialis ) yang hanya bertumpu pada akal. Ini membutuhkan pemahaman ( Keimanan dan ketakwaan ) yang dalam tentang alam ruh dan hakikat manusia tercipta. Karenanya yang menjalankannya haruslah pula orang yang memahami Islam secara utuh dan teruji keimanan dan ketakwaannya.
Yang pasti andaikan semua orang didunia ini menentang Islam dan murtad, kekuasaan Allah tidak akan berkurang. Dan tidak ada satupun manusia didunia ini (termasuk Rasul ) yang bisa memaksakan hidayah kepada hati manusia kecuali Allah. Tugas umat islam adalah teruslah berjihad meninggikan kalimat Allah sebagai syiar untuk tegaknya Islam disemua aspek kehidupan..
Wallahualam
Konsep negara dan system pemerintahan Islam sendiri memang tidak pernah ada secara kelembagaan. Ketika Nabi wafat, para sahabat sibuk untuk menentukan siapa pengganti Nabi sebagai pemimpin. Karena memang Rasul tidak pernah menentukan system suksesi sebagai model pemerintahan dan kekuasaan. Hanya ada pesan khusus bahwa apabila terjadi silang sengketa maka umat sepeninggalnya harus kembali kepada AL Quran dan Hadith. Namun dalam perjalanannya, justru itu menjadi silang sengketa tak berujung karena menyangkut pemahaman (tafsir ) yang berbeda. Islam apabila sudah dibawa dalam satu kelembagaan seperti Partai, Negara maka dia akan menjadi lembaga birokrasi sama seperti kelembagaan dalam sosialisme dan kapitalisme. Yang ada hanyalah politik kepentingan golongan yang berkuasa.
Para pejuang Islam kebanyakan terjebak dengan cara berpikir kelembagaan dan bukan ruh Islam sebagai rahmatan lilalamin. Akibatnya akan disikapi oleh musuh islam secara kelembagaan juga. Maka yang mengemuka adalah perasangka negative satu sama lain dan akibatnya menjauhkan eksistensi islam sendiri sebagai agama yang damai dan pemberi solusi menyeluruh terhadap segala aspek kehidupan manusia. Sejak berakhirnya Kehalifahan para sahabat Nabi, memang terjadi pergeseran memaknai cara berjuang meninggikan kalimat Allah itu. Islam menjadi cara untuk berkuasa dan menguasai. Kekuasaan dibangun dan akhirnya menimbulkan fitnah dan kemunafikan. Akhirnya jatuh dengan sendirinya dan menjadi catatan mengharukan sampai kini.
Sebagaimana system sosialisme yang tak pernah hentinya dikoreksi dalam perjalanan sejarahnya.Begitupula dengan system Kapitalisme. Karena kedua system ini semakin hari semakin menunjukan bukti kegagalan mencapai tujuan idealnya. Harusnya pada moment inilah pejuang islam tampil untuk mencerahkan. Tidak semua sosialisme itu buruk dan tidak pula semua kapitalisme itu jelek dan suka tidak suka keduanya hadir karena akal pemberian Allah. Tentu ada hikmah terjadinya pemahaman ini. Keduanya hanya dibutuhkan koreksi dan Islam harus tampil melakukan koreksi ini secara substantial akidah dan syariat yang ditetapkan oleh Al Quran dan hadith dan bukan justru menciptakan blok Idiologi baru yang bernama Negara Islam.
Idioliogi negara adalah cara bersiasat untuk mengurus dunia. Sama seperti pejuang mujahid dimedan tempur melawan kelompok murtad dan penguasa zalim, yang membutuhkan siasat menjadi pemenang. Soal siasat ini Nabi sendiri mengungkapkan “ soal urusan dunia kamu lebih tahu “. Namun sehebat apapun siasat perang itu maka harus tunduk kepada etika Islam. Yaitu jangan membunuh orang lemah, anak anak, wanita wanita dan jangan merusak tanaman serta tempat ibadah umat walau berbeda agama. Inilah keindahan ruh Islam yang diajarkan oleh Rasul. Semua dijabarkan secara detail dari hal terkecil cara menyuap makanan sampai soal urusan besar menyangkut negara dan melawan kezoliman.
Jadi, bagi kapitalisme dan sosialisme tidak akan kehilangan symbolnya bila kedua idiologi ini menempatkan ruh ajaran Islam sebagai dasar untuk mereformasi dirinya. Samahalnya dengan Idiologi negara kita.Pancasila tidak akan kehilangan symbol sebagai idiologi selagi dasar berpijaknya adalah Syariat Islam. Namun ternyata dalam perjalanannya Pancasila lebih memilih Sosialis ( Era Soekarno ) dan kemudian kapitalis ( Era Soeharto dan sampai sekarang ) sebagai landasannya. Sementara Islam dicurigai oleh penguasa. Muhamad Natsir pernah berkata dalam debat di konstituante tahun 1957 :''Kita berkeyakinan yang tak kunjung kering, di atas tanah dan dalam iklim Islamiyah Pancasila akan hidup subur. “ Artinya tidak ada satu silapun yang bertentangan dengan ajaran Islam. Namun yang pasti Pancasila bukanlah Islam. Karenanya perlunya dasar negara bersyariat menggunakan ajaran Islam dan tidak penting model pemerintahan dalam bentuk apapun, apakah Republik atau Monarkhi.
Natsir hanya menginginkan dasar negara adalah syariat Islam sebagaimana yang tertuang dalam piagam Jakarta, tanpa menghilangkan keberadaan Pancasila sebagai cara bersiasat mengurus negara. Itu samahalnya dengan idiologi kapitalisme dan sosialisme yang tak digugat sepanjang menerima Islam sebagai syariat dalam menegakkan aturan dalam menjalankan kekuasaan negara. Selagi paham sosialis, kapitalis dan Pancasila mengabaikan syariat Islam maka selama itupula the truth, goodness, justice menjadi subjective. Dan dunia akan selalu dalam ketidak seimbangan dan masyarakat terjebak dengan kelelahan akalnya untuk mencapai kemakmuran dan kedamainan dimuka bumi.
Islam menginginkan agama sebagai jalan hidup dan bukan sebagai lembaga. Islam tidak berjalan diatas symbol symbol kasat mata. Islam ada dihati umat dan teraktual dalam interaksinya dengan alam dan lingkungannya. Karena itupula , Islam tidak akan bertentangan dengan idiologi apapun sepanjang mengedepankan kebenaran absolute ( The truth) , kebaikan sejati ( goodness ) dan keadilan ( Justice). Hanya masalahnya kebenaran sejati ,kebaikan, dan keadilan itu bukanlah hal yang mudah hingga dapat diurai oleh tesis secular (Kapitalis dan sosialis ) yang hanya bertumpu pada akal. Ini membutuhkan pemahaman ( Keimanan dan ketakwaan ) yang dalam tentang alam ruh dan hakikat manusia tercipta. Karenanya yang menjalankannya haruslah pula orang yang memahami Islam secara utuh dan teruji keimanan dan ketakwaannya.
Yang pasti andaikan semua orang didunia ini menentang Islam dan murtad, kekuasaan Allah tidak akan berkurang. Dan tidak ada satupun manusia didunia ini (termasuk Rasul ) yang bisa memaksakan hidayah kepada hati manusia kecuali Allah. Tugas umat islam adalah teruslah berjihad meninggikan kalimat Allah sebagai syiar untuk tegaknya Islam disemua aspek kehidupan..
Wallahualam