Menjelang pemilu partai sibuk loby sana loby sini. Tujuannya adalah menggalang kekuatan dalam bentuk koalisi. Melihat kondisi ini kita bertanya tanya , mengapa harus ada koalisi? Bukankah platform politik kita adalah presidential dan bukan parlementer. Artinya, kekuatan diparlement bukanlah lawan pemerintah yang berkuasa.Parlemen harus lepas dari kepentingan partai dan hanya bekerja untuk amanah yanga didapat dari rakyat sebagai pemilihnya. Tapi , ya sebuah reformasi telah membuat system politik menjadi abu abu. Anggota parlemen benar dipilih oleh rakyat namun tetap harus menghamba kepada Partai karena hak partai untuk merecall masih dipertahankan.
Itulah sebabnya, berbagai program pemerintah dari president terplih langsung oleh rakyat menjadi sulit diterapkan bila tak mendapat dukungan dari Parlemen. Padahal tujuan parlemen bukanlah melawan kekuatan pemerintah tapi sebagai mitra pemerintah. Kita tidak mengenal oposisi. Konsep politik kita berdasarkan UUD 45 adalah gotong royong dan mencari kesepakatan berdasarkan musyawarah. Dan lagi lagi konsep ini sudah lama dibuang ke tong sampah. Yang ada adalah budaya voting. Yang terbanyak yang menang. Maka jadilah setiap pembahasan UU untuk kepentingan rakyat sebagai cara untuk mendapatkan uang. Pasal Pasal dalam RUU diperdagangkan atau menjadi bargain position untuk kepentingan golongan.
Dalam tesisnya , tentang, “Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination”, Comparative Political Studies, Scott Mainwaring telah memperingatkan bahwa sistem presidensial yang diterapkan dalam kontrsuksi multi partai, akan melahirkan ketidakstabilan pemerintahan dan menghasilkan presiden minoritas dan pemerintah yang terbelah. Hal ini terbukti sudah dalam system politik kita. Tapi para elite sibuk mencoba mengatisipasi kelemahan dari multipartai itu. Caranya dikeluarkan aturan tentang ambang perolehan suara di pemilu (electoral threshold) dan penerapan ambang batas perolehan kursi di parlemen (parliamentary threshold) melalui pembagian daerah pemilihan (Dapil). Ini akan mendorong terciptanya secara alamiah system multipartai yang sederhana.
Hanya masalahnya proses menuju multipartai yang sederhana itu memakan waktu lama dan biaya yang mahal. Padahal ujungnya sudah diketahui akan menimbulkan masalah bagi kekuatan politik nasional. Lantas mengapa tetap juga dijalankan?. Yang pasti, Pemilu yang akan datang tetap akan menhasilkan dua kamar kekuasaan yang saling berseteru. Walau koalisi terbentuk di parlemen untuk mendukung president maka mindset politik yang berkata “ tidak ada teman sejati, yang ada hanyalah kepentingan “maka sehebat apapun koalisi dibangun, satu saat dia akan rontok dimakan politik kepentingan. Inilah yang membuat kekuatan unity bangsa ini sangat renta dipecah belah dan akibatnya lemah sebagai bangsa yang besar untuk menjawab masalah besar yang terus berkembang dari tahun ketahun.
Kita tidak mengatakan system demokrasi ala Orde Baru lebih baik untuk menopang persatuan atau lebih buruk karena terkesan dictator atau centralistic. Juga kita tidak bisa mengatakan sytem politik ala barat dan AS lebih baik. Dan system kita sekarang sudah final. Tidak.! Apapun system yang dibangun selagi hak politik rakyat tidak menyatu dalam nafas kekuatan politik formal di parlement atau dipemerintahan maka jangan berharap potensi 200 juta lebih rakyat akan menjadi symbol kebesaran bangsa kita. Selama aspirasi koloktive rakyat tidak terbangun maka konspirasi kepentingan golongan akan terus terjadi, dalam system apapun.
Terbangunnya aspirasi koloctive hanya mungkin bila dilakukan melalui pendekatan budaya local dengan menempatkan agama sebagai tulang punggung untuk mencerahkan rakyat tentang hak haknya dibidang politik, budaya, ekonomi maupun social. Dari sinilah akan lahir kepemimpinan yang berakar dengan komunitasnya. Apapun system politik yang diterapkan , dia akan hidup dan terlindungi karena dia dalam rahmat Allah, yang pantas melegitimasi dirinya sebagai “suara rakyat adalah suara tuhan.”
Itulah sebabnya, berbagai program pemerintah dari president terplih langsung oleh rakyat menjadi sulit diterapkan bila tak mendapat dukungan dari Parlemen. Padahal tujuan parlemen bukanlah melawan kekuatan pemerintah tapi sebagai mitra pemerintah. Kita tidak mengenal oposisi. Konsep politik kita berdasarkan UUD 45 adalah gotong royong dan mencari kesepakatan berdasarkan musyawarah. Dan lagi lagi konsep ini sudah lama dibuang ke tong sampah. Yang ada adalah budaya voting. Yang terbanyak yang menang. Maka jadilah setiap pembahasan UU untuk kepentingan rakyat sebagai cara untuk mendapatkan uang. Pasal Pasal dalam RUU diperdagangkan atau menjadi bargain position untuk kepentingan golongan.
Dalam tesisnya , tentang, “Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination”, Comparative Political Studies, Scott Mainwaring telah memperingatkan bahwa sistem presidensial yang diterapkan dalam kontrsuksi multi partai, akan melahirkan ketidakstabilan pemerintahan dan menghasilkan presiden minoritas dan pemerintah yang terbelah. Hal ini terbukti sudah dalam system politik kita. Tapi para elite sibuk mencoba mengatisipasi kelemahan dari multipartai itu. Caranya dikeluarkan aturan tentang ambang perolehan suara di pemilu (electoral threshold) dan penerapan ambang batas perolehan kursi di parlemen (parliamentary threshold) melalui pembagian daerah pemilihan (Dapil). Ini akan mendorong terciptanya secara alamiah system multipartai yang sederhana.
Hanya masalahnya proses menuju multipartai yang sederhana itu memakan waktu lama dan biaya yang mahal. Padahal ujungnya sudah diketahui akan menimbulkan masalah bagi kekuatan politik nasional. Lantas mengapa tetap juga dijalankan?. Yang pasti, Pemilu yang akan datang tetap akan menhasilkan dua kamar kekuasaan yang saling berseteru. Walau koalisi terbentuk di parlemen untuk mendukung president maka mindset politik yang berkata “ tidak ada teman sejati, yang ada hanyalah kepentingan “maka sehebat apapun koalisi dibangun, satu saat dia akan rontok dimakan politik kepentingan. Inilah yang membuat kekuatan unity bangsa ini sangat renta dipecah belah dan akibatnya lemah sebagai bangsa yang besar untuk menjawab masalah besar yang terus berkembang dari tahun ketahun.
Kita tidak mengatakan system demokrasi ala Orde Baru lebih baik untuk menopang persatuan atau lebih buruk karena terkesan dictator atau centralistic. Juga kita tidak bisa mengatakan sytem politik ala barat dan AS lebih baik. Dan system kita sekarang sudah final. Tidak.! Apapun system yang dibangun selagi hak politik rakyat tidak menyatu dalam nafas kekuatan politik formal di parlement atau dipemerintahan maka jangan berharap potensi 200 juta lebih rakyat akan menjadi symbol kebesaran bangsa kita. Selama aspirasi koloktive rakyat tidak terbangun maka konspirasi kepentingan golongan akan terus terjadi, dalam system apapun.
Terbangunnya aspirasi koloctive hanya mungkin bila dilakukan melalui pendekatan budaya local dengan menempatkan agama sebagai tulang punggung untuk mencerahkan rakyat tentang hak haknya dibidang politik, budaya, ekonomi maupun social. Dari sinilah akan lahir kepemimpinan yang berakar dengan komunitasnya. Apapun system politik yang diterapkan , dia akan hidup dan terlindungi karena dia dalam rahmat Allah, yang pantas melegitimasi dirinya sebagai “suara rakyat adalah suara tuhan.”