Bung bertanya “ apa kabar revolusi mental? Saya sebagai rakyat kecil yang tidak cari makan di negeri ini ingin menjawab dengan fakta. Jokowi tidak terlatih berbicara populis dengan retorika tetapi dengan perbuatan. Tidak menulis buku seperti ahli tafsir yang melahirkan revolusi sosial kaum wahabi atau tidak menulis buku merah seperti Mao tentang manifesto kebudayaan sebagai anti tesis komunisme Marx. Tidak. Jokowi seorang insinyur yang terlatih bekerja dan juga pengusaha yang terbiasa berpikir praktis. Jadi sebelum saya jawab lebih jauh pertanyaan anda sebaiknya ini dimaklumi dulu, ya sayang.
Bung AHY yang cerdas dan pintar. Masih ingatkah Perta? Itu loh trading arm Pertamina yang mengendalikan impor minyak yang disetir oleh mafia migas. Karena skema impor BBM itulah membuat Indonesia tidak pernah mandiri sebagai produsen BBM. Karena skema itu mendatangkan uang rente tak terbilang. Karena skema itulah negara rugi ratusan triliun selama 10 tahun sby berkuasa. Ingatkan? Nah itu sudah di removed dari tata niaga migas. Kini semua jadi transfarance dan negara hemat jutaan dollar setiap hari. Tiga kilang minyak raksasa sedang dibangun agar kita mandiri. Itulah buah dari revolusi mental ala Jokowi.
Bukan itu saja Bung, mafia pangan, mafia pupuk , mafia pajak , mafia ikan di libas nya tanpa ragu. Itu engga mudah Bung. Kalaulah mudah tentu sby sudah lakukan selama 10 tahun dia berkuasa. Tetapi jokowi tidak penduli akan semua hambatan. Yang kusut dia urai. Yang keruh dia jernihkan. Yang sulit dibuat mudah. Semua demi negeri yang dia cintai. Demi rakyat yang butuh hope dia dobrak status quo, dia gebrak orang yang tidur mimpi populis, dia hentakan orang yang berada di comfort zone. Tentu karena itu Jokowi menciptakan banyak musuh. Bacalah sosmed setiap hari menghujatnya. Dengarlah talk show TV oon yang terus menggiring opini membencinya. Itulah proses revolusi mental yang sedang berlangsung.
Bung AHY, begitu banyak rencana dibuat oleh sby. Apa hasilnya ? Hanya tumpukan kertas studi. Kalaupun diimplementasikan, kebanyakan mangkrak. Kini di era Jokowi itu diselesaikan tanpa gaduh. Diselesaikan ditengah warisan APBN yang defisit. Tanpa ada sedikit pun Jokowi mengeluh dan menyalahkan rezim sby. Justru atas dasar hormat kepada sby, Jokowi laksanakan semua rencana itu dengan sempurna. Walau karena itu Jokowi harus berhutang namun bukan hutang untuk belanja pegawai tetapi untuk investasi yang punya nilai tambah tinggi dimasa depan. Hasilnya kini Indonesia masuk investment grade dimata investor, masuk komunitas negara USD 1 triliun.
Bung AHY, orang Minang punya falsafah, alam terbentang jadi guru. Tuhan mendesign kehidupan ini dengan banyak peristiwa. Baik dan buruk adalah pembelajaran bagi orang berakal. Jokowi tidak menggurui kita dengan buku untuk paham revolusi mental. Tetapi Jokowi meminta kita belajar dari apa yang diperbuat. Orang Banyak berkata tentang apa yang seharusnya baik dikerjakan, tetapi Jokowi menunjukkan kepada kita bagaimana sebaiknya dikerjakan. Sebagaimana dia mendidik putranya mandiri jauh dari bayang bayang kekuasaannya. Itulah jokowi. Itulah revolusi mental. Untuk dipahami oleh rakyat yang mau berpikir. Pahamkan sayang ?
***
Kritik AHY terhadap kinerja Jokowi tak ubahnya dengan kelompok oposisi yang tak didukung data yang akurat. Hanya bedanya, AHYmenyampaikan dengan bahasa santu seperti SBY. Lima isu yang disasar AHY, yakni menurunnya daya beli masyarakat, naiknya tarif dasar listrik, kurangnya pembukaan lapangan pekerjaan, derasnya aliran tenaga kerja asing dan revolusi mental yang dinilai tidak berjalan.
Banyak orang tidak paham makna GNP USD 1 triliun untuk Indonesia. Dengan kondisi GNP sebesar itu tidak datang begitu saja. Itu melewati proses yang tidak sebentar. Bung AHY, dalam sepuluh tahun terakhir pendapatan per kapita secara riil mengalami kenaikan dua kali lipat. Sementara itu inflasi dua tahun terakhir juga mencatat rekor sangat rendah dan stabil, yaitu di bawah 4 persen. Bung AHY, data memang menunjukkan bahwa pendapatan riil masayarakat tidak terjadi penurunan. Kalau dirasa konsumsi menurun maka itu terjadi karena fenomena kelas menengah yang tumbuh akibat meningkatnya pendapatan.
Bertambahnya kelas menengah dapat menyebabkan bergesernya jenis konsumsi masyarakat dari kebutuhan primer (makanan dan sandang) menjadi kebutuhan sekunder bahkan tersier (mewah). Jumlah nominal yang dikonsumsipun akan berubah seiring dengan kesadaran masyarakat untuk menabung atau melakukan investasi. Hal ini sejalan dengan data dari Bank Indonesia bahwa dana pihak ketiga tahun ini meningkat 10 persen di kuartal kedua bila dibandingkan tahun lalu.
Jadi bung AHY, secara prinsip ekonomi, tidak terjadi hal yang dapat menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat. Dari kompilasi terhadap data Susenas menunjukkan bahwa pertumbuhan konsumsi kelompok menengah dari Maret 2016 ke Maret 2017 masih di atas 6 persen, memang lebih rendah dibandingkan setahun sebelumnya yang pernah di kisaran 8 persen. Namun kelompok masyarakat 30 persen berpenghasilan terendah, konsumsinya tumbuh lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, yang menunjukkan keberhasilan dari kebijakan transfer pemerintah. Engga percaya ?
Mari lihat fakta berikut …
Secara umum, daya beli masyarakat dapat diasosiasikan dengan penerimaan PPN Dalam Negeri yang merupakan pajak atas konsumsi barang/jasa. Pada tahun 2017 penerimaan PPN Dalam Negeri tumbuh 15,32 persen atau lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2016 yang mencapai -2,15 persen. Beberapa sektor utama pada jenis pajak PPN Dalam Negeri tumbuh positif seperti sektor Industri Pengolahan (tumbuh 19,47 persen), Perdagangan Besar & Eceran (tumbuh 17,99 persen), dan Transportasi & Pergudangan (18,30 persen).
Belum juga yakin? Mari kita lihat data sebagai berikut ..
Dari sisi kinerja penerimaan pajak sektoral, 2 (dua) sektor utama yang dapat diasosiasikan dengan daya beli masyarakat: Industri Pengolahandan Perdagangan Besar & Eceran, pada tahun 2017 menunjukan tren yang positif: Dari sisi produksi, penerimaan pajak (seluruh jenis pajak) dari sektor Industri Pengolahan secara umum tumbuh 17,53 persen dengan pertumbuhan positif pada beberapa sub-sektor utama seperti Industri Pengolahan Tembakau (tumbuh 36,30 persen), Makanan (tumbuh10,45 persen), Minuman (27,54 persen), Kendaraan Bermotor (51,31 persen), Pakaian Jadi (19,96 persen), Komputer & Elektronik (14,49 persen).
Bagaimana dengan yang lain…
Coba liat ini dari sisi distribusi/penjualan, penerimaan pajak (seluruh jenis pajak)sektor Perdagangan Besar & Eceran secara umum tumbuh 26,08 persen dengan pertumbuhan positif pada beberapa sub-sektor utama seperti Perdagangan Besar & Eceran Non Kendaraan Bermotor (25,67 persen) dan Perdagangan Besar Perlengkapan Rumah Tangga (23,43 persen). Pertumbuhan positif PPN Dalam Negeri, penerimaan pajak sektor Perdagangan, dan penerimaan pajak sektor Industri Pengolahan memberikan indikasi masih kuatnya daya beli masyarakat, dari sisi produsen dan distributor.
Untuk data tahun 2018, realisasi penerimaan perpajakan periode Januari – Februari 2018 adalah sebesar Rp 160,75 triliun (9,93 persen dari APBN 2018) atau tumbuh 13,60 persen secara year-on-year. Pertumbuhan ini ditopang oleh pertumbuhan PPh Non Migas yang mencapai 12,26 persen, PPN yang tumbuh 18,00 persen, Cukai tumbuh 15,16 persen, serta Bea Keluar yang tumbuh 74,60 persen. Kinerja positif penerimaan pajak juga tercermin dari penerimaan sektor usaha utama seperti Industri Pengolahan dan Perdagangan yang tumbuh signifikan, masing-masing tumbuh 13,25 persen dan 33,56 persen.
Masih kurang yakin…Ini data berikut..
Dengan semakin berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi, banyak hal yang sebelumnya tidak mungkin dalam sektor perdagangan dan jasa berubah menjadi suatu fakta yang tidak disangka sebelumnya. Porsi belanja orang miskin untuk telp selular sebesar 25% dari pendapatannya. Hebat kan. Mereka tidak keberatan listrik naik. Loh, belanja selular lebih besar dari anggaran listrik rumah mereka. Jumlah orang miskin turun loh Bung. Daya serap angkatan kerja terselubung terserap lewat penyediaan lapangan kerja pembangun infrastruktur. Kan engga mungkin bangun jalan, irigasi, pelabuhan, bandara pakai robot. Ya kan sayang..
Berdasarkan data jumlah pemudik yang menggunakan motor turun sampai 55%. Fakta ini menunjukkan bahwa orang lebih memilih menggunakan angkutan umum karena hampir sebagian besar jalan menghubungkan kota sudah bagus dan bahkan di Jawa sebagian sudah menggunakan jalan tol. Jadi waktu tempuh semakin cepat. Dulu orang naik motor karena menggunakan kendaraan umum bisa terjebak macet luar biasa akibat jalan yang buruk. Dengan orang memilih mudik menggunakan angkutan umum maka fakta tak terbantahkan bahwa sebagian besar orang Indonesia adalah konsumen jasa yang mampu membayar untuk mendapatkan layanan terbaik bagi dirinya.
Selama Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri, menurut Bank Indonesia (BI) pertumbuhan jumlah uang beredar naik 14% atau Rp 167 triliun dibandingkan tahun sebelumnya Rp 147 trilun. Selama 10 tahun terakhir , tahun ini uang yang diedarkan BI mencapai puncak tertinggi yaitu sebesar Rp 691 triliun. Ini suatu fakta bahwa tingkat pendapatan dan kemakmuran dalam bentuk purchasing power memang bukan retorika.
Jadi kalau ada orang bilang Jokowi membangun demi pencitraan dan retorika maka sebetulnya mereka berkaca kepada diri mereka sendiri yang menganggap kekuasaan itu adalah berkah untuk hidup senang diatas retorika atas nama agama dan idiologi. Makanya memang program hanya retorika. Namun Jokowi tidak bicara kecuali menyampai fakta lewat kerja keras agar orang bisa merasakan dan menikmatinya. Jadi pelajari fenomena ekonomi dan lihat secara cerdas agar tidak terperangkap pemikiran ekonomi terbelakang. Bagaimanapun sikap kritis Bung AHY patut di hormati…