Iman selamanya akan bernama ketabahan. Tapi iman juga bertaut dengan antagonisme. Kita tahu begitu dalam makna keyakinan kepada yang Maha Agung bagi banyak orang, hingga keyakinan itu seperti tambang yang tak henti-hentinya memberikan ilham dan daya tahan. Tapi kita juga akan selalu bertanya kenapa agama berkali-kali menumpahkan darah dalam sejarah, membangkitkan kekerasan, menghalalkan penindasan. Ketika orang-orang " berbeda "terpojok di beberapa kota di Indonesia, dua sisi itu muncul di kepala saya kembali. Tiga tahun yang lalu seorang teman di Eropa bercerita tentang sepucuk surat yang ia terima dari adiknya di Basra, Irak. Si adik mengenangkan apa yang dipikirkannya ketika ia, seorang perempuan keluarga Sunni, bersembunyi di sebuah lubang di lapangan agak jauh dari rumah, sementara di luar, di jalanan, para anggota milisia Syiah lalu-lalang bersenjata. Bunuh-membunuh telah beberapa hari berlangsung. Paman mereka dan kedua anaknya tak pernah kembali.”Saya bayangkan, saya adalah seorang penganut Islam pada tahun-tahun menjelang Hijrah—seorang yang ikut bersembunyi dalam gua bersama Rasulullah, ketika orang-orang Quraisy bersimaharajalela,” demikian si adik menulis. ”
Apakah saya akan setakut diri saya hari itu, tak putus-putusnya menanti hari jadi gelap agar saya, penganut Muhammad saw, akan bisa bebas dari pembantaian? Ataukah saya akan tabah, karena saya ada di dekat Nabi?” Dan si adik menjawab pertanyaannya sendiri: ”Benar, Rasulullah tak berada di Basra, tapi saya tetap merasa di dekat beliau. Karena seperti orang-orang Islam pertama, saya dalam posisi yang lemah, tapi tahu tak merasa bersalah. Saya tak bersalah bahkan kepada orang-orang yang ingin membinasakan kami di luar itu—apalagi kepada Tuhan. Saya hanya berbeda. Saya hanya dilahirkan berbeda.” Si kakak, teman saya orang keturunan Irak yang sudah hidup di Amsterdam itu, yang seperti hafal benar dengan surat itu, tak bercerita apa selanjutnya yang ditulis adiknya. Kami berdua sedang menyeberangi Vondelpark, di sebuah awal musim panas. Orang-orang berbaring atau duduk membaca di bawah pohon, di atas rumput. Dua pemuda Cina sedang membuat sketsa. Seorang hitam memukul perkusi, sendirian.
Teman saya tak memperhatikan itu semua. Ia hanya berkata, seperti kepada dirinya sendiri: ”Beda—itu perkara besar pada zaman kita. Terutama karena beda tak lagi dilihat dari luar, dari kulit tubuh dan pakaian, tapi dari dalam, dari iman.” Saya coba membantah. ”Surat adikmu menunjukkan bahwa itu bukan hanya perkara besar buat zaman kita. Itu sudah sedemikian penting dan sedemikian genting sejak manusia mengenal agama-agama.” ”Betul. Tapi pada zaman ini perkara itu tak hanya persoalan lokal. Iman jadi penggerak antagonisme di mana-mana di dunia. Terus terang saya tak tahu apa desain Tuhan sebenarnya dengan manusia. Beda adalah sesuatu yang Ia kehendaki. Iman adalah sesuatu yang Ia kehendaki. Tapi permusuhan?” Iman: antagonisme?
Atau iman sama dengan perisai pelindung—yang juga berarti suatu kekuatan yang bertolak dari asumsi bahwa kehidupan beragama adalah semacam perang? Saya ingat, seraya bercakap-cakap itu kami berjalan ke arah halte trem di tepi kanal. Saya ingat, saya mendegar suara jengkerik di sebuah semak. Tiba-tiba teman saya berkata, ”Mengapa kita harus memakai perisai?” Saya diam tak tahu apa yang dimaksudkannya. ”Surat adik saya itu,” katanya. ”Surat itu mengingatkan saya akan cerita yang saya dengar ketika saya anak-anak. Rasulullah bersembunyi di gua itu, ketika orang-orang Quraisy mencarinya untuk dibinasakan. Mereka tak curiga bahwa di dalamnya Muhammad putra Abdullah bersembunyi, sebab di pintu gua itu Tuhan meletakkan seekor laba-laba, yang menyusun jaringnya, dan dengan begitu membuat sebuah kamuflase: gua itu tak dimasuki siapa pun.” Bukankah itu sesuatu yang inspiratif, tanya teman saya itu.
Atau iman sama dengan perisai pelindung—yang juga berarti suatu kekuatan yang bertolak dari asumsi bahwa kehidupan beragama adalah semacam perang? Saya ingat, seraya bercakap-cakap itu kami berjalan ke arah halte trem di tepi kanal. Saya ingat, saya mendegar suara jengkerik di sebuah semak. Tiba-tiba teman saya berkata, ”Mengapa kita harus memakai perisai?” Saya diam tak tahu apa yang dimaksudkannya. ”Surat adik saya itu,” katanya. ”Surat itu mengingatkan saya akan cerita yang saya dengar ketika saya anak-anak. Rasulullah bersembunyi di gua itu, ketika orang-orang Quraisy mencarinya untuk dibinasakan. Mereka tak curiga bahwa di dalamnya Muhammad putra Abdullah bersembunyi, sebab di pintu gua itu Tuhan meletakkan seekor laba-laba, yang menyusun jaringnya, dan dengan begitu membuat sebuah kamuflase: gua itu tak dimasuki siapa pun.” Bukankah itu sesuatu yang inspiratif, tanya teman saya itu.
Apa yang inspiratif?
Laba-laba, katanya pula. Dari cerita itu kita tahu, tak salah bila kita melihat dunia di luar itu dengan sadar, bahwa yang memisahkan ”kita” dengan ”mereka” cukup benang-benang tipis laba-laba. Bukan pintu besi sebuah benteng. Bukan sebuah tameng. Batas itu mengubah sikap antagonistis dengan sikap tabah, mengubah yang agresif ke luar dengan yang tenang dan yakin dalam batin. Tentu. Mereka yang agresif dan penuh kekuatan tak dengan sendirinya akan berhenti. Batas itu memang bisa dikoyak dengan gampang; laba-laba itu makhluk yang lemah. Tapi bukankah kisah Rasulullah itu juga mengajari kita bahwa tiap iman punya guanya sendiri? Dan gua itu tak akan terjangkau bahkan oleh kebengisan apa pun? Saya termenung. Saya dengar lagi suara jengkerik. Saya pun ingat serangga yang gampang terinjak, burung yang gampang diusir, semut yang gampang dibasmi, juga laba-laba yang mudah diterjang. Betapa rapuh. Tapi mereka punya ruang sendiri, mungkin gua, mungkin liang, mungkin sarang, yang mengandung rahasia—sebagai bagian dari desain Tuhan yang juga sebuah rahasia.@