YMP Prabowo Subianto menargetkan swasembada pangan dalam lima tahun kepemimpinanya. Untuk merealisasikan targetnya ini, bahkan dirinya membentuk Kementerian Koordinator Khusus Bidang Pangan yang dinahkodai oleh Zulkifli Hasan. Saya tidak ingin mengkritik tetapi mengingatkan serta menambahkan saran agar niat baik YMP itu terlaksana. Ada tiga catatan dari saya.
Pertama. Sebaiknya pemerintah revisi dulu UU Ketahanan Pangan No. 18/2012. Karena menurut UU itu ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan. Tidak ada pasal mengharuskan swasembada pangan. Yang ada, jaminan tersedianya pangan yang cukup, aman, dan bergizi, dan terjangkau. Karena UU itu ketahanan pangan kita hancur.
Kalau tidak ada perubahan UU tersebut, maka janji Menko Pangan bahwa pemerintah mungkin tak akan mengimpor beras pada tahun 2025 nanti. Itu hanya omong kosong. Karena amanah UU mengharuskan impor kalau stok berkurang. Jadi impor tidak tabu dan mudah menimbulkan moral hazard rente impor. Perubahan ini penting agar program swasembada pangan punya payung hukum yang kuat dan bisa menjadi mandatory spending APBN untuk ekspansi lahan, sarana dan prasarana, riset pertanian.
Kedua. Belum ada UU Swasembada Pangan. Yang ada UU No. 41 tahun 2009, yang terkait dengan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2P). UU ini bertujuan untuk: Menekan laju konversi lahan sawah, Mempertahankan fungsi ekologi lahan, Menjamin keberlanjutan pasokan pangan, Melindungi lahan-lahan subur dengan produktivitas tinggi. UU ini nyatanya dalam praktek di langgar begitu saja. Sehingga setiap tahun 70.000 hektar lahan pertanian berkurang luasnya. Bahkan lahan estate food di Kalimantan Tengah berubah fungsi jadi lahan kebun sawit.
Seharusnya ada UU Khusus Swasembada pangan. Sehingga program Menteri pertanian akan membentuk petani milenial untuk program pencetakan sawah baru, 3 juta hektare sawah dalam 4 tahun dan optimalisasi lahan (oplah) 1 juta hektare di 2025 akan secure dari upaya konversi lahan. Program ekologi pertanian bisa dilaksanakan dengan focus meningkatkan kesejahteraan petani. Tentu reforma agraria lebih punya kepastian hukum.
Ketiga. Peran BULOG harus menyatu dengan UU Sistem Resi Gudang No.9 tahun 2011. Artinya kalau memang akan lakukan trasformasi BULOG, ya jangan lagi BUMN dengan penugasan sebagai operator operasi pasar untuk stabilitas harga dan pasokan. Tetapi lebih kepada tataniaga pangan ( regulator/otoritas tataniaga).
Nah jadikan BULOG sebagai business supply chain pangan. Lengkapi dengan infrastruktur modern seperti warehousing ecommerce market place berbasis IT. Sehingga memotong rente. Lengkapi juga dengan supply chain financial yang terhubung dengan fund provider dan clearing house commodity. Sehingga pasar produksi petani terjamin. Penentuan jenis produksi pangan bisa diarahkan sesuai demand pasar. Pasokan pupuk, bibit, pestisida terjamin langsung tanpa perantara. Dana riset dan pembinaan lebih terprogram.
***
Mengapa tiga catatan itu saya sampaikan ? karena di era modern sekarang, kita harus mengubah paradigma pertanian dari tradsional ke business as usual. Jangan lagi dipolitisir. Pertanian sudah seharusnya dikelola dengan mindset industry. Apa maksudnya? Business yang sustain apabila kepentingan produsen mencetak laba terjaga tanpa merugikan konsumen. Dan disanalah peran negara harus hadir dalam bentuk insentif produksi, bukan konsumsi.
Karena pada akhirnya harga akan turun sebagai efek kompetisi. Tentu selagi iklim usaha pertanian ramah ( tanpa rente), akan membuka peluang bagi semua untuk berproduksi, dengan harga terjangkau. Kalau tiga hal tersebut menjadi perhatian, tidak perlu orang dibujuk jadi petani. Orang akan datang dengan antusias nya sendiri. Karena tahu bertani bisa menjadi kaya. Demikian.