Henry Kissinger pada tahu 1970 pernah berkata “Control oil and you control nations; control food and you control the people. Kendalikan minyakan maka anda akan kendalikan bangsa. Kendalikan pangan maka anda akan kendalikan rakyat. Makanya politik pangan AS lebih dahsyat daripada politik bomb nuklir. Dengan kekuatan pangan, AS dapat mendikte politik negara yang defisit pangan melalui instrumen bantuan pangan ataupun ekspor pangan.
Pangeran Joyoboyo pernah menasehati para muridnya.
“ Bagaimana mempertahankan kekuasaan? Tanya muridnya.
“ Kendalikan Tentara”
“ Kalau tentara tidak bisa di kendalikan?
“ Jangan ganggu umat beragama”
“ Kalau tentara dan umat beragama tak bisa dikendalikan, bagaimana?
“ Pastikan rakyat tidak kekurangan pangan. Maka tak ada kekuatan yang bisa menjatuhkan kamu”. Sejarah membuktikan pangan adalah basis sekaligus instrumen kekuasaan yang sangat efektif. Rakyat suatu negara akan tunduk jika pemerintahnya bisa menjamin kecukupan pangan. Di Indonesia, pemerintahan HM Soeharto sudah membuktikannya selama 30-an tahun.
PANGAN adalah kekuasaan. Ini bukan jargon kosong. Bagaimana kalau sampai gagal ? Prof Nouriel Roubini dari Universitas New York, yang memimpin lembaga Roubini Global Economics, dalam risetnya mengatakan bahwa akar masalah kerusuhan politik di kawasan timur tengah adalah krisis pangan. Petaka politik di Tunisia dan Mesir , di Aljazair, Jordania, Sudan selatan, karena warga sulit mendapatkan harga pangan yang murah. Harga pangan terus melambung. Apa yang terjadi pada negara Arab tersebut bisa saja terjadi di India, Pakistan, China, dan negara-negara di Amerika Latin apabila krisis pangan menimpa negara-negara itu. Bahkan Soekarno jatuh karena sebetulnya gagal menjaga stabilitas harga pangan.
Karena alasan itulah HM Soeharto kemudian menetapkan swasembada beras sebagai prioritas utama, sekaligus strategi 'menjinakkan' rakyat demi kelanggengan kekuasaannya. Itu diikuti para penerusnya termasuk Presiden Jokowi kini. Tapi oleh presiden sebelumnya ketahanan pangan lebih kepada kemampuan pemerintah memenuhi pasar melalui impor. Ketahanan pangan domestik tidak begitu diperhatikan. Indonesia dikuasai oleh mafian pangan. Kekuatan 'mafia' impor adalah kekuatan 'antikedaulatan' pangan. Bersama jaringan internasional dan domestiknya, ia akan selalu berusaha menggagalkan swasembada/kedaulatan beras dengan berbagai cara. Tujuannya agar keran impor beras tetap terbuka, dan kemudian dengan timbunan stoknya, mereka tetap bisa menguasai dan mengendalikan pasar beras domestik. Itu berarti ia mengontrol basis kekuasaan pemerintah sehingga bisa 'mendikte' pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang memihak kepentingannya. Makanya Indonesia tidak bisa bersikap tegas di forum international.
Di era Jokowi konsep ketahanan pangan diganti dengan “kedaulatan pangan”. Beras telah bertransformasi menjadi komoditas pangan bernilai paling strategis di Indonesia. Lebih dari sekadar bernilai ekonomi dan budaya, beras terutama adalah komoditas bermuatan nilai politik. Makanya engga aneh mengelola beras bukanlah hal yang sederhana karena ini berhubungan dengan kepentingan antarkelompok stakeholder-nya. Petani, pedagang, importir dan konsumen. Caranya ? memproteksi produksi domestik itu menjadi insentif bagi petani. Melalui APBN negara melakukan eskpansi fiskal dengan peningkatan investasi pertanian berupa, antara lain, rehabilitasi/peningkatan irigasi dan pencetakan sawah baru. Tapi apakah segampang itu? Tidak juga. Karena program bukan impor oriented, telah mengganggu kepentingan 'mafia' impor beras. Gejala resistensi lalu muncul dalam berbagai bentuk trik bisnis untuk melegitimasi impor. Bagaimanapun, agar pemerintah berdaulat, kekuatan 'mafia impor' itu serta jaringannya harus dipatahkan.
Untuk itu, lebih dari sekadar penegakan hukum, mutlak dibutuhkan kehadiran entitas bisnis beras nasionalis berkekuatan lebih besar. Entitas itu, yang bisa dikonsepsikan sebagai beras incorporated (beras Inc), bisa dilihat sebagai perwujudan gagasan Presiden Jokowi tentang 'agribisnis kerakyatan' sebagai basis kedaulatan pangan (beras). Ide dasarnya ialah integrasi empat komponen utama kekuatan agribisnis beras nasionalis untuk bersinergi mewujudkan swasembada (kedaulatan) beras, tanpa harus ada konflik kepentingan.
Pertama, komponen produsen padi/beras di 'tengah' yaitu korporasi petani berupa, misalnya, badan usaha milik petani (BUMP) atau badan usaha milik desa (Bumdes). Selain bergerak dalam budi daya, korporasi petani ini juga harus bergerak dalam pengolahan beras di ‘hilir'. Dengan begitu, petani sekaligus menjadi produsen utama beras sehingga akan memperoleh margin usaha yang lebih besar.
Kedua, komponen produsen benih/saprotan di 'hulu' yaitu BUMN pertanian produsen benih unggul padi (PT Sang Hyang Seri), saprotan pupuk/pestisida (PT Pupuk Indonesia), dan irigasi (Jasa Tirta). Selain menjamin ketersediaan benih unggul, saprotan, dan air, BUMN tersebut juga bermitra dengan korporasi petani. Tujuannya peningkatan produktivitas melalui dampingan teknologi dan manajemen budi daya padi. Dengan begitu, BUMN perbenihan/saprotan turut bertanggung jawab terhadap keberhasilan usaha tani, tidak semata menjadikan petani sebagai pasar.
Ketiga, komponen agroindustri pengolahan/pemasaran di 'hilir', yaitu BUMN pertanian bidang pengolahan, penyimpanan, dan distribusi/pemasaran (PT Bulog, PT Pertani). Selain bermitra dengan korporasi petani dalam pengembangan bisnis pengolahan beras, komponen ini sekaligus menjadi penjamin pasar beras produksi petani. Kemitraan Bulog dengan korporasi petani khususnya akan menjadi basis jaminan ketersediaan pasokan beras untuk stok pemerintah sehingga tak akan kesulitan menguasai stok beras sebanyak 10% dari total perkiraan kebutuhan konsumsi nasional.
Keempat, komponen industri finansial yaitu BUMN perbankan/asuransi. Bank BUMN menjamin ketersedian modal produksi padi/beras melalui skim modal kerja produksi padi dan investasi untuk agroindustri pengolahan beras. Sementara BUMN asuransi menyediakan perlindungan bagi petani terhadap risiko gagal panen. Asuransi akan menjadi insentif bagi petani padi untuk meningkatkan produktivitas usaha taninya.
Gerak sinergis empat komponen itu sebagai entitas integratif. Sampai sekarang program empat langsung dibawah kendali Presiden, itu masih berproses mencapai target surplus beras berupa stok beras pemerintah sebesar 10% dari total perkiraan konsumsi nasional. Dengan menguasai stok 10% ini, pemerintah dengan mudah dapat meredam upaya-upaya rekayasa instabilitas pasar beras yang bisa menggoyang kekuasaan pemerintah. Hanya masalah waktu target itu akan tercapai.
Hanya saja selama proses itu konplik kepentingan terus berlanjut dan segala upaya dilakukan mafia beras termasuk merekayasa beras domestik kelas premium dengan harga tinggi. Tujuannya tentu agar pemerintah lemah sehingga impor harus dilakukan dan program kedaulatan pangan gagal. Tapi Jokowi tidak akan pernah menyerah. Pedang hukum harus digunakan demi tujuan nasional tercapai.