Erdogan tampil karena berkah dari proses demokrasi yang di rancang oleh kaum sekular. Ketika dia unggul dalam pemilu, kaum sekular Turki menerima itu sebagai sebuah konsekuensi demokrasi. Namun harap di catat bahwa ketika Anda unggul dalam sistem demokrasi bukan berarti Anda bebas berkuasa tanpa keterlibatan publik. Dimanapun penguasa yang lahir dari sistem demokrasi sadar bahwa kekuasaannya tidak aman dari nyinyiran kaum yang berbeda dengannya. Erdogan mengeluarkan larangan penggunaan Twitter. Media sosial ini dianggap sebagai sarana utama para penentang pemerintah dalam menyampaikan protesnya. Larangan mulai berlaku pada Kamis tengah malam, 20 Maret 2014, waktu setempat. “Kami punya peraturan sendiri. Saya tidak peduli apa kata dunia internasional,” kata Erdogan kepada Hurriyet Daily News, yang dilansir Time, Jumat, 21 Maret 2014. Erdogan melanjutkan, keputusannya melarang penggunaan Twitter sekaligus menunjukkan kekuatan Republik Turki. Siapa saja yang mengakses Twitter dari negara tersebut akan mendapati keterangan resmi dari regulator telekomunikasi Turki yang menyatakan adanya larangan dari pemerintah. Unjuk rasa terhadap adanya peraturan kontroversial yang disebut sebagai Hukum Internet sempat digelar di Lapangan Taksim, Istanbul, Februari lalu. Peraturan ini mengatur larangan mengakses sejumlah situs dan media sosial oleh pemerintah. Jokowi adalah contoh cerdas bagaimana menerima demokrasi dan memahami ke nyinyiran sosmed tanpa ada niat melarang keberadaan sosmed. Beda dengan Erdogan.
Ketika Erdogan naik sebagai pemimpin Turki, saya merasa yakin bahwa perjuangan menegakkan panji Islam akan kembali berkibar di Turki. Cahaya Islam yang menebarkan cinta dan kasih sayang serta keadilan bagi semua akan kembali bangkit di wilayah dimana dinasti Islam pernah berkuasa lebih dari 600 tahun. Namun dengan sikapnya yang kembali melunak terhadap Israel, ini menandakan bahwa Erdogan tidak memperjuangkan nilai Islam. Islam hanya di gunakan partainya untuk meraih kekuasaan dan akhirnya tak beda dengan sekular. Namun lebih buruk dari sekular. Dia mulai gerah dengan demokrasi dan kebebasan menyampaikan pendapat. Bagi Erdogan kebenaran itu hanya sesuai dengan definisinya. Agama kolektif itulah yang jadi kian tampak di Turki, yang kemudian juga berkembang di tempat lain sebagaimana kata-kata Soroush, “Islam identitas”, yang berbeda dengan “Islam kebenaran”. Dalam suasana itu, suatu usaha untuk meng-ideologi-kan Islam bergelora. Padahal dalam pandangan Tauhid, yakni menuntut manusia hanya takut pada satu kekuatan, yaitu kekuatan Tuhan, yang lain hanyalah kekuatan yang tidak mutlak alias palsu. Tauhid menjamin kebebasan manusia dan memuliakan hanya semata kepada-Nya. Pandangan ini menggerakkan manusia untuk melawan segala kekuatan dominasi, belenggu, dan kenistaan manusia atas manusia. Tauhid memiliki esensi sebagai gagasan yang bekerja untuk keadilan, solidaritas, dan pembebasan. Ini yang nampak dilupakan oleh Erdogan.
Hadirnya Ilmu didunia ini karena Allah. Tidak ada yang terjadi tanpa campur tangan Allah. Bahwa Allah disamping menurunkan Ilmu khasshah melalui Al Quran dengan perantara Rasul , Allah juga menurunkan ilmu ‘ammah kepada manusia secara langsung yang disebut dengan ayat-ayat kauniyah. Artinya ,apakah sesuatu yang tidak diatur dalam Al-Quran lantas bukan berasal dari Allah? Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”. (QS al- Kahfi [18]:109). Jadi salah besar bila agama dikotak oleh harakah ‘Islam indentitas “ dan meng claim hanya dalil nya saja yang benar. Islam terlalu luas untuk hanya dimonopoli satu harakah saja. Apalagi hanya berlandaskan kepada imu khasshah dan miskin ilmu ‘ammah. Dan pemaksaan dalam agama adalah sikap yang anti Alquran.
Bila kita merindukan perubahan, maka dibutuhkan Raushanfikr (orang-orang yang tercerahkan), yakni individu-individu yang sadar dan bertanggung jawab membangkitkan karunia Tuhan Yang Mulia, yaitu “kesadaran diri” masyarakat. Sebab hanya kesadaran diri yang mampu mengubah rakyat yang statis dan bobrok menjadi suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Sebagaimana Sosialisme adalah paham yang berpihak pada kaum tertindas (mustadzafin) dan meluruskan perjalanan sejarah dari kekuasaan tiran menjadi kelompok tercerahkan, berpihak pada kelas bawah (proletar) bersama orang-orang yang berada di jalan Tuhan. Kebenaran dari mana pun “kompatibel”. Tak ada kebenaran yang bentrok dengan kebenaran lain. “Mereka semua penghuni dari rumah yang sama, dan bintang dari gugus yang sama.” Kita tak mungkin memiliki semua kebenaran, dan kita membutuhkan tempat lain serta orang lain untuk membantu membuka aspek yang berbeda dari kebenaran itu: "pengetahuan keagamaan secara keseluruhan adalah narasi panjang dari masa ke masa yang mengalir seperti di dalam sebuah sungai besar,” Maka, Islam bukanlah, dan tak seharusnya jadi, sebuah ideologi—sesuatu yang diasumsikan sempit, yang dipahami sendiri , yang bisa mengclaim anda paling benar dalam segala hal, membimbing segala ihwal.
Ketika ada yang berkata bahwa ia paling benar dalilnya maka ada dua hal yang sedang dia perjuangkan, pertama adalah agama sebagai alat merebut hegemoni politik untuk meraih kekuasaan, kedua, memperkecil nilai islam itu sendiri agar Islam sebagai rahmatanlilalamin meredub melalui kampanye perbedaan mahzab, golongan, etnis. Keduanya sengaja untuk melepaskan agama sebagai kekuatan individu,yang terikat langsung dengan sang Khalik. Makanya hak individu dalam menentukan pilihannya sangat ditentang oleh mereka. Mereka membenci demokrasi dan segala turunan yang membela hak azasi manusia yang tidak sesuai dengan dalil mereka. Mereka punya visi dan misi, serta keyakinan. Bahwa merekalah yang akan menjamin kehidupan ini menjadi beres. Yang lain akan binasa dan sengsara.
2 comments:
Pertamax pak hehe....
terbaik
Post a Comment