Tuesday, November 17, 2015

Iman?

Iman selamanya akan bernama ketabahan. Tapi iman juga bertaut dengan antagonisme. Kita tahu begitu dalam makna keyakinan kepada yang Maha Agung bagi banyak orang, hingga keyakinan itu seperti tambang yang tak henti-hentinya memberikan ilham dan daya tahan. Tapi kita juga akan selalu bertanya kenapa agama berkali-kali menumpahkan darah dalam sejarah, membangkitkan kekerasan, menghalalkan penindasan. Ketika orang-orang " berbeda "terpojok di beberapa kota di Indonesia, dua sisi itu muncul di kepala saya kembali. Tiga tahun yang lalu seorang teman di Eropa bercerita tentang sepucuk surat yang ia terima dari adiknya di Basra, Irak. Si adik mengenangkan apa yang dipikirkannya ketika ia, seorang perempuan keluarga Sunni, bersembunyi di sebuah lubang di lapangan agak jauh dari rumah, sementara di luar, di jalanan, para anggota milisia Syiah lalu-lalang ber­senjata. Bunuh-membunuh telah beberapa hari berlangsung. Paman mereka dan ke­dua anaknya tak pernah kembali.”Saya bayangkan, saya adalah seorang penganut Islam pada tahun-tahun men­jelang Hijrah—seorang yang ikut bersembunyi dalam gua bersama Rasulullah, ke­tika orang-orang Quraisy bersimaharajalela,” demikian si adik menulis. ”

Apakah saya akan setakut diri saya hari itu, tak putus-putusnya menanti hari jadi gelap agar saya, penganut Muhammad saw, akan bisa bebas dari pembantaian? Ataukah saya akan tabah, karena saya ada di dekat Nabi?” Dan si adik menjawab pertanyaannya sendiri: ”Benar, Rasulullah tak berada di Basra, tapi saya tetap merasa di dekat beliau. Karena seperti orang-orang Islam pertama, saya dalam posisi yang lemah, tapi tahu tak merasa bersalah. Saya tak bersalah bahkan kepada orang-orang yang ingin membinasakan kami di luar itu—apalagi kepada Tuhan. Saya hanya berbeda. Saya hanya dilahirkan berbeda.” Si kakak, teman saya orang keturunan Irak yang sudah hidup di Amsterdam itu, yang seperti hafal benar dengan surat itu, tak bercerita apa selanjutnya yang ditulis adiknya. Kami berdua sedang menyeberangi Vondelpark, di sebuah awal musim panas. Orang-orang berbaring atau duduk membaca di bawah pohon, di atas rumput. Dua pemuda Cina sedang membuat sketsa. Seorang hitam memukul perkusi, sendirian.

Teman saya tak memperhatikan itu semua. Ia hanya­ berkata, seperti kepada dirinya sendiri: ”Beda—itu per­kara besar pada zaman kita. Terutama karena beda tak lagi dilihat dari luar, dari kulit tubuh dan pakaian, tapi dari dalam, dari iman.” Saya coba membantah. ”Surat adikmu menunjukkan bahwa itu bukan hanya perkara besar buat zaman kita. Itu sudah sedemikian penting dan sedemikian genting sejak manusia mengenal agama-agama.” ”Betul. Tapi pada zaman ini perkara itu tak hanya persoalan lokal. Iman jadi penggerak antagonisme di mana-mana di dunia. Terus terang saya tak tahu apa desain Tuhan sebenarnya dengan manusia. Beda adalah sesuatu yang Ia kehendaki. Iman adalah sesuatu yang Ia kehendaki. Tapi permusuhan?” Iman: antagonisme? 

Atau iman sama dengan perisai pe­lindung—yang juga berarti suatu kekuatan yang bertolak dari asumsi bahwa kehidupan beragama adalah semacam perang? Saya ingat, seraya bercakap-cakap itu kami berjalan ke arah halte trem di tepi kanal. Saya ingat, saya mendegar suara jengkerik di sebuah semak. Tiba-tiba teman saya berkata, ”Me­ngapa kita harus memakai perisai?” Saya diam tak tahu apa yang dimaksudkannya. ”Surat adik saya itu,” katanya. ”Surat itu mengingatkan saya akan cerita yang saya dengar ketika saya anak-anak. Rasulullah bersembunyi di gua itu, ketika orang-orang Quraisy mencarinya untuk di­binasakan. Mereka tak curiga bahwa di dalamnya Muhammad putra Abdullah ber­sembunyi, sebab di pintu gua itu Tuhan meletakkan seekor laba-laba, yang me­nyusun jaringnya, dan dengan begitu membuat sebuah kamuflase: gua itu tak dimasuki siapa pun.” Bukankah itu sesuatu yang inspiratif, tanya teman saya itu.

Apa yang inspiratif?

Laba-laba, katanya pula. Dari cerita itu kita tahu, tak salah bila kita melihat dunia di luar itu dengan sadar, bah­wa yang memisahkan ”kita” dengan ”mereka” cukup benang-benang tipis laba-laba. Bukan pintu besi sebuah benteng. Bukan sebuah tameng. Batas itu mengubah sikap antagonistis dengan sikap tabah, mengubah yang agre­sif ke luar dengan yang tenang dan yakin dalam batin. Tentu. Mereka yang agresif dan penuh kekuatan tak dengan sendirinya akan berhenti. Batas itu memang bisa dikoyak dengan gampang; laba-laba itu makhluk yang lemah. Tapi bukankah kisah Rasulullah itu juga mengajari kita bahwa tiap iman punya guanya sendiri? Dan gua itu tak akan terjangkau bahkan oleh kebengisan apa pun? Saya termenung. Saya dengar lagi suara jengkerik. Sa­ya pun ingat serangga yang gampang terinjak, burung yang gampang diusir, semut yang gampang dibasmi, juga laba-laba yang mudah diterjang. Betapa rapuh. Tapi mere­ka punya ruang sendiri, mungkin gua, mungkin liang, mung­kin sarang, yang mengandung rahasia—sebagai bagian dari desain Tuhan yang juga sebuah rahasia.@

Tobat ?

TAHUN 1815. Dari penjara Bagne de Tulon, setelah 19 tahun dikurung, terpidana dengan No. 24601 itu dibebaskan. Tak punya lagi tempat kembali, ia berjalan tanpa arah, lama dan sendirian. Ia sebenarnya belum bebas. Hukum mengharuskannya membawa paspor kuning, tanda ia bekas orang rantai. Tapi sebab itu ia tak diterima menginap di losmen mana pun. Maka putus asa, bromocorah itu hanya bisa membaringkan tubuhnya di tepi jalan. Dengan rasa marah dan pahit. Tapi ini bukan kisah seorang yang marah dan pahit. Les Miserables yang termasyhur itu oleh Victor Hugo dirangkai jadi cerita kehidupan Jean Valjean, si No. 24601 yang berubah. Kita ingat bagaimana kejadiannya: tiba di Digne, kota kecil di Prancis Selatan, Valjean ditampung menginap oleh Uskup Myriel. Ia diberi makan malam dan tempat tidur—dan dibiarkan bersendiri. Malam itu, tanpa ada orang yang mengawasinya, Valjean mendapatkan kesempatan. Ia ambil pisau, sendok, garpu, dan alat-alat perak buat jamuan yang ada di kamar itu. Ia pun melarikan diri. Tapi tak bisa jauh. Polisi menggeledah bekas terpidana yang berjalan mencurigakan di dinihari itu. Pada bromocorah itu mereka temukan benda-benda milik keuskupan.

Valjean pun dibawa menghadap Uskup Myriel. Saya bayangkan bagaimana ketakutan dan putus asanya Valjean. Ia tahu, kini ia akan dikurung seumur hidup. Dulu, di kota kecil kelahirannya, Faverolles, di musim dingin tahun 1795 ia mencuri roti dari sebuah kedai karena kelaparan. Tapi hanya karena itu ia dipenjarakan lima tahun. Hukuman itu diperpanjang sampai 19 tahun karena Valjean beberapa kali tertangkap mau melarikan diri. Kini nasib lebih buruk menantinya. Tapi sesuatu yang tak terduga terjadi. Kepada polisi, Uskup Myriel mengatakan bahwa Valjean tak mencuri apa pun. Barang-barang perak itu diberikan kepada tamunya yang kelaparan untuk bekal, kata Uskup. Bahkan pagi itu, di hadapan polisi, padri yang baik hati itu menyerahkan lagi sebatang penyangga kandil dari perak, seraya mengingatkan Valjean akan janjinya—meskipun laki-laki itu tak pernah berjanji apa-apa—bahwa ia akan jadi orang baik. Valjean pun bebas. Kejadian itu mengguncang hatinya. Tapi tak hanya itu. Hari itu ia—seorang lelaki perkasa—merampas uang 50 sous dari seorang anak. Tapi kali ini ia menyesal. Ia cari anak itu di seantero kota, untuk mengembalikan uang itu. Tapi tak ketemu….

Kisah Jean Valjean adalah kisah pertobatan. Sejak hari itu ia jadi orang baik yang penolong. Tapi yang luar biasa di sini ialah bahwa sebenarnya Uskup Myriel tak mengharapkan itu. ”Janji” yang disebutnya pagi itu hanya fiktif: sang uskup berbohong agar Valjean bebas dari hukuman. Katakanlah dengan itu ia juga memaafkan, tapi maafnya bukan sejenis barter. Dalam barter, X memberi sesuatu kepada Y karena ia mengharap Y memberikan sesuatu sebagai imbalan. Maaf sang uskup adalah maaf yang ikhlas, tanpa syarat. Tapi keikhlasan adalah perkara yang pelik. Memberi maaf tanpa syarat juga bisa menyembunyikan sebuah supremasi: aku memberi kau sebagai isyarat bahwa aku lebih dari kau. Bila demikian halnya, maaf itu bukanlah berarti hilang atau dilupakannya sebuah perbuatan yang membuat sang pelaku nista. Malah maaf itu menegaskan nista itu. Maaf tanpa syarat, maaf tanpa supremasi, mungkin lebih pas disebut pengampunan yang murni. Tapi akhirnya, bila kita ikuti Derrida, ”pengampunan”, dalam arti semurni-murninya, adalah ”mengampuni hanya apa yang tak dapat diampuni”, le pardon pardonne seulement l’impardonnable.

Dalam acuan seperti itu, bahkan maaf yang tanpa syarat dari Uskup Myriel kepada Jean Valjean bukanlah pengampunan yang dibayangkan Derrida, sebab kejahatan yang terjadi pada dasarnya bisa diampuni: pelakunya seorang yang takut mati kelaparan.Persoalannya: adakah kekejian yang demikian rupa hingga sama sekali tak dapat diampuni, hingga pengampunan kepadanya sebuah perbuatan yang benar-benar tanpa pamrih? Adakah ”radical evil” dalam pengertian Hannah Arndt, yang ”menumbangkan semua ukuran yang kita kenal”? Jawabannya tak gampang. Ukuran kita bergantung kepada siapa kita. Memang ada kekejian dalam kamp konsentrasi Nazi di Auschwitz dan Dachau, atau dalam ”kepulauan gulag” yang dibangun Stalin, atau yang dilakukan sejumlah Maois fanatik semasa Revolusi Kebudayaan di Cina, atau pembunuhan dan penyiksaan yang dilakukan terhadap orang-orang kiri oleh Orde Baru di Indonesia. Kekejaman itu belum tentu keji menurut ukuran yang universal, tapi mungkin yang dimaksud dengan radical evil ditentukan oleh intensitas perasaan para korban di suatu masa, di suatu tempat. Sebagai konsekuensinya, pengampunan yang ikhlas terhadap perbuatan itu hanya bisa ditentukan oleh mereka yang jadi korban di suatu masa, di suatu tempat.

Tapi, tidakkah, seperti tersirat dalam ungkapan Derrida sendiri, pengampunan murni itu mustahil?  Memang mustahil, dan bisa malah melanggar apa yang dikehendaki hidup yang adil. Tapi mungkin kita dapat menerimanya sebagai imbauan ke dalam diri—untuk menggugat sejauh manakah kita mengubah diri kita sendiri waktu memaafkan. Tak jarang aku, sang korban, merasa lebih agung ketimbang yang bukan korban, apalagi ketimbang sang pelaku kejahatan. Kadang-kadang pula kita lupa, dalam memaafkan ada godaan keangkuhan, sebagaimana si kaya yang memberi derma untuk menunjukkan kekayaannya. Sebab itu pengampunan yang murni jangan-jangan tak dimaksudkan sebagai pengampunan. Tindakan Uskup Myriel mengharukan karena ia bukan mengampuni, tapi membebaskan seseorang dari siksaan—dan membebaskannya pula dari kepastian nasib yang ditentukan masa lalu. Valjean, seorang bromocorah yang ke mana-mana harus membawa paspor kuning, tak seterusnya harus nista@

Agama dimulai dengan senyap..

Agama dimulai dengan senyap. Tak seorang pun hadir di dekat Budha malam itu. Setelah enyah balatentara Mara, gergasi gaib yang mencoba mengusiknya, Budha melanjutkan meditasi. Akhirnya sampailah ia pada “ empat kebenaran luhur….”  Agama dimulai dari hening dan sebuah saat yang dahsyat. Budha di bawah sebatang pohon di Bodh Gaya, Musa di puncak Sinai, Muhammad SAW di Gua Hira: tiap situasi hadir sebagai situasi terpuncak, momen yang tak lazim, ketika seseorang mengalami kehadiran sesuatu yang Maha Lain, yang numinous, sebagaimana digambarkan Rudolf Otto: misterius, menakutkan, memukau. Di abad ke-5, atau 500 tahun sebelumnya, Santo Agustinus mengucapkan perasaan yang mirip: “Dan aku gemetar dengan kasih dan ngeri”. Agama dimulai dengan gemetar, ada rasa kasih dan ngeri, ada amor dan horror — tapi tampaknya sesuatu dalam sejarah manusia telah menyebabkan ia berakhir dengan sesuatu yang rapi: konstruksi. Berabad-abad setelah sang numinous, kita pun menyaksikan sesuatu yang tak lagi mengungkapkan senyap. Di hadapan kita kenisah yang megah, mesjid yang agung, gereja yang gigantis, patung emas yang terbujur 14 meter, pagoda dengan pucuk yang berkilau – dan umat yang makmum, berdesak..

Tampaknya pengalaman religius seseorang (dalam kategori William James, “seorang jenius”) akhirnya selalu dicoba diabadikan dengan sesuatu yang kukuh – yang sebenarnya fantasi tentang yang kekal. Atau yang menjulang – yang sebenarnya fantasi tentang yang luhur. Atau yang gemerlapan – yang sebenarnya fantasi tentang yang indah mempesona. Tidak, kita tak perlu terburu mengecam. Fantasi itu akhirnya toh menghasilkan seni bangun yang mengesankan: Gereja Sacré-Coeur, Pura Besakih, Qubbat as-Sakrah, Borobudur, dan ribuan pagoda yang dari langit Bagan tampak bak deretan bringin hutan di sebuah dataran Myanmar. Fantasi itu buah rindu. Ia tanda damba, takjub dan takzim kepada yang kekal, luhur, dan mempesona – sesuatu yang mau tak mau akan muncul terus, sebab yang dirindukan mustahil tercapai.. Maka fantasi adalah jejak ketak-mampuan mencapai..Ia mempertegas sebuah subyek yang muncul sebagai kekurangan. Tapi juga dengan mudah fantasi bisa jadi pengganti hal yang tak terjangkau tangan, tak terpeluk hati – seperti berhala yang menggantikan Rupa yang jauh. Manusia, subyek dalam kekurangan, makhluk yang didefinisikan oleh ingin – bukankah itu menunjukkan benarnya cattāri ariyasaccāni?

Ada adalah sengsara, adalah dukkha, begitulah menurut “empat kebenaran yang luhur”. Dukkha itu disebabkan karena kita tak tahu dan kita terikat. Kita hidup dengan hasrat akan milik dan milik atas hasrat. Sebenarnya agama pernah dimaksudkan untuk membebaskan kita dari semua itu. Tapi apa lacur: agama, yang bermula pada senyap dan berakhir dengan konstruksi, juga akhirnya hanya jadi simptom sebuah kerisauan: merasa diri subyek yang utuh dan permanen, orang-orang beragama tak henti-hentinya berusaha menaklukkan ruang-dan-waktu, merampas yang-lain di dalam dan di luar diri. Itu terutama terjadi ketika konstruksi, bukan sepi, mengambil alih – dan tak hanya berupa mesjid dan candi, tapi juga lembaga dan hukum-hukum. Yang umumnya tak disadari ialah bahwa konstruksi disusun harus dengan kekuatan yang terhimpun. Siasat dan alat harus dikerahkan – persis seperti ketika kita membangun imperium dan mengurus bisnis. Kalkulasi akan dibuat atas segalanya, termasuk waktu. Maka waktu tak lagi momen ajaib seperti di situasi terpuncak ketika aku gemetar dengan “kasih dan ngeri”. Waktu jadi sesuatu yang bisa dipetak-petak dan diukur. Persis di situlah yang sekuler merasuk ke dalam yang religius: orang menghitung abad, mendepa seculum. Waktu, seperti uang, harus dikuasai dan dipunyai.

Saya kira Stephan Batchelor benar ketika ia mengatakan, “Salah satu akibat dari proses formalisasi dan pelembagaan agama adalah agama jadi tersedot kembali ke dalam dimensi punya”. Batchelor, yang mengumandangkan lagi tema Gabriel Marcel, pemikir Katolik dari Prancis. itu, tampaknya melihat dengan masygul betapa kegiatan menghimpun milik ternyata lebih mendesak ketimbang tafakur menghayati hidup. Ia agaknya sadar, juga dalam kehidupan beragama berabad-abad lamanya, orang lebih tergerak oleh dimensi “punya” (to have) ketimbang oleh dimensi “ada” (to be). Maka Budhisme Batchelor adalah Budhisme yang kembali kepada to be. Ia tak punya dan tak dipunyai lembaga: ia tinggalkan mazhab Tibet dan ia pilih Zen, dan ia menulis Budhism without Belief (1997). Batchelor, orang kelahiran Skotlandia yang sejak berumur 18 belajar di Dharmasala – pusat Budhisme Tibet selama Dalai Lama dalam pengasingan – pada mulanya seorang biksu yang serius. Tapi enam tahun setelah ia ditahbiskan, ia melepas jubahnya. Saya kira karena baginya sebuah lembaga mirip sebuah kuil yang megah: fantasi tentang keagungan yang lupa bahwa dirinya adalah fantasi. Dan seperti pagoda Shwe Dagon di Yangon, yang pucuknya meruncing 100 meter berlapiskan emas, si lembaga agama menyembunyikan jejak sekuler yang ikut membentuk kuasanya.

Tapi jejak itu tak hilang. Sore itu saya mengelilingi Shwe Dagon. Di pelbagai sudut orang berdoa. Di sebuah serambi puluhan orang mendatangi loket penyumbang. Tapi bisakah orang terbebas dari dukkha, ketika mereka sebenarnya kian tersangkut di sana? Saya ingat U Po Kyin. Pejabat pengadilan dalam novel Burmese Days George Orwell ini — korup, licik, ambisius, rakus, buncit – seorang pembangun pagoda yang baik. Ia ingin terlepas dari hukuman Sang Budha atas dosa yang tiap hari dibuatnya. Baginya, hidup adalah soal transaksi: ada asumsi semua bisa diukur dan semua akan tetap. Tapi mungkinkah? “Segala hal, wahai, pendeta, terbakar. Mata terbakar, bentuk terbakar, kesadaran mata terbakar..”.Kalau tak salah, itu suara Sang Budha.@

Sunday, October 25, 2015

Perbedaan...

11 Juni 1762, di halaman Gedung Mahkamah Pengadilan, Paris, sebuah buku dibakar. Karya itu berbentuk novel, tapi sebenarnya ditulis untuk membahas soal pendidikan anak. Dengan Émile itu Jean-Jacques Rousseau dinilai telah bersalah karena “menganggap semua agama sama-sama baik”. Seorang pejabat berpidato di depan Parlemen untuk melontarkan tuduhan itu; dalam ini buku, ujarnya, Rousseau telah “berani mencoba menghancurkan kebenaran Kitab Suci dan nubuatnya”. Ia “mengejek dan menghujat agama Kristen….”Maka Parlemen memutuskan agar bukan saja buku itu dirobek dan dibakar, tapi juga agar Rousseau ditangkap. Sang pengarang melarikan diri ke Swiss. Dua hari sebelum bukunya dibakar, Rousseau sudah meninggalkan Prancis dengan bantuan teman-temannya. Setiba di wilayah Bern ia turun dari kereta, bersujud dan mencium tanah: “Yang Maha Tinggi, pelindung kebajikan, terpujilah tuan; hamba menyentuh sebuah negeri kebebasan!”. Tapi betapa cepatnya ia berharap. Ia menetap sebulan lamanya di rumah seorang teman di wilayah Bern itu. Ia berpikir untuk pindah ke Jenewa. Tapi di kota yang dikuasai 25 aristokrat adminstrator itu – disebut “Dewan Yang Duapuluh-Lima” – karya Rousseau juga dinyatakan dilarang. Émile dan Du contrat social dianggap “penuh dengan hujatan dan cercaan terhadap agama”.

Dan sebagaimana Parlemen Paris yang menyuarakan kuasa Katolik mengutuknya, di Jenewa penguasa kota yang Protestan Calvinis itu juga memerintahkan agar buah pikiran Rousseau itu dibasami. Pengarangnya, yang sesungguhnya seorang warga Jenewa, harus ditangkap. Rousseau pun tetap tinggal di wilayah Bern. Tapi tak lama. Sebulan kemudian Senat wilayah itu memerintahkannya untuk pergi. Rousseau pun pindah ke sebuah dusun di gunung-gunung Swiss, Môtiers-Travers. Ia ingin hidup damai di sini, tak hendak menulis apa-apa lagi kecuali surat-menyurat. Ia bahkan masuk ke dalam jemaat Protestan setempat. Ia menyambung hidupnya dengan jadi penyalin partitur musik dan menyulam. Seraya demikian ia tampil tak biasa: ia memilih berpakaian Armenia, juga ketika ke gereja. Tak jelas apakah orang percaya betul kepada Rousseau sebagai seorang Krsiten yang alim. Suatu hari ia mengunjungi seorang aristokrat. Tuan rumahnya menyambutnya dengan ucapan, “Assalamualaikum”. Para pastor Calvinis di ibukota daerah itu telah memaklumkan pengarang Émile sebagai “orang murtad”.

Di saat itu pun gereja Protestan dan Katolik bertemu menghadapinya. Agustus 1762, Uskup Agung Paris menulis 29 halaman kutukan terhadap Émile. Tapi benarkah buku itu menodai agama? Dalam prakatanya, Rousseau mengatakan, tujuan Émile adalah untuk menawarkan sebuah sistem pendidikan, buat jadi pertimbangan para aulia, bukan untuk para ayah dan ibu. Seperti Plato, Rousseau ingin memisahkan anak dari pengaruh orang tua yang datang dari generasi yang salah didik. Tapi pendekatannya tak radikal. Seraya meyakini – seperti kalimatnya yang termashur dalam Du contrat social– bahwa “manusia dilahirkan merdeka dan di mana-mana ia terikat rantai” — dalam Émile Rousseau menunjukkan jalan agar manusia bisa menerima ikatan sosial dengan bebas. Di situlah peran agama. Ketika Si Émile, tokoh anak yang jadi pusat cerita ini berumur 18, ia mulai bisa diberi pendidikan agama. Rousseau mengecam atheisme. Dalam novel ini ada seorang padri dusun, vicaire savoyard, dari pegunungan Alpen Italia, yang sebenarnya meragukan wahyu para nabi dan mukjizat para santo. Tapi padri dusun itu tak mau menuturkan keraguannya kepada jemaat. Dengan taat ia jalani ritual Gereja Roma. Sementara itu ia terus berbuat yang sebaik-baiknya kepada orang lain. Ia menolak doa yang meminta-minta; doa baginya adalah lagu puja bagi Tuhan dan ekspresi kita yang merunduk pada Iradat-Nya. Sang padri tahu, meskipun agama melahirkan kekejaman dan represi, manfaatnya lebih besar. Agama adalah sebuah karunia.

Tapi justru sebab itu tak perlu kita risau melihat perpecahan dalam agama Kristen. Semua agama baik sepanjang ia memperbaiki fi’il manusia dan merawat harapan. Sungguh menggelikan untuk menganggap iman, sesembahan, dan kitab suci yang berbeda dari agama kita sebagai hal yang “terkutuk”. Kata sang padri: “Seandainya hanya ada satu agama saja di muka bumi, dan semua yang di luar pengaruhnya akan dijatuhi hukuman abadi…maka Tuhan dari agama itu akan merupakan Tuhan yang paling kejam dan tak adil.”. Di sini kita temukan kembali, dalam ekspresi yang lebih lunak, pandangannya dalam Du contrat social. Dalam uraiannya tentang negara imajiner yang diidamkannya, Rousseau menyatakan diri yakin akan kepercayaan dasar Kristen – dan ia tak berkebaratan bila ada agama yang jadi “dogma positif” bagi masyarakat. Tapi ia hanya akan mentolerir agama yang menunjukkan toleransi kepada agama lain. Bagi Rousseau, siapa yang mengatakan “di luar Gereja tak ada penyelamatan” – siapa yang mempersetankan agama lain — harus dibuang ke luar dari negerinya.

Dibaca di abad ke-21, apa yang dicita-citakan Rousseau tak mengejutkan lagi; kini makin tampak bagaimana tak adilnya (dan juga tak mudahnya ) manusia membersihkan sebuah negeri dari perbedaan iman dan tafsir. Di abad ke-18, ketika ia hidup sebagai orang yang terusir dari kota ke kota, pendirian Rousseau memang sebuah pengganggu bagi mereka yang bertopang pada iman sebagai kekuasaan. Tapi berangsur-angsur sang pengganggu itu makin tampak tak bisa lagi dibantah. Makin tampak pula bukan dia yang menodai agama, melainkan lawan-lawannya@

Mencintai dan menikahi

Dapatkah kamu bayangkan bila pada akhirnya wanita sahabatmu yang telah menjadi mitra bisnismu selama 10 tahun akhirnya jatuh cinta kepadamu. Demikan kata teman. Sesuatu yang tak pernah dia duga sebelumnya. Karena hubungan sebatas mitra dalam bisnis.Dia akui bahwa dia "mencintai" wanita itu namun dia tidak pernah "jatuh cinta". Dia mencintai dan dia mempercayai wanita itu mengelola bisnisnya sehingga mendatangkan laba yang besar. ya cinta kepada sahabat yang membuat dia peduli dan menjaganya dengan rasa hormat. Namun ketika dia menolak dengan halus bahwa dia tidak bisa jatuh cinta namun tetap mencintai wanita itu sebagai sahabat. Wanita itu pergi meninggalkannya dengan mengundurkan diri sebagai direktur tanpa minta pesangon. 

Seharian dia mencari wanita itu akhirnya dia temukan wanita itu meginap dirumah temannya. Wanita itu berkata " Tadi saya punya suami,saya mencintainya dengan tulus dan diapun mencintai saya. Namun akirnya dia pergi kewanita lain disaat saya dan anaknya sangat membutuhkannya. Sementara kamu, pria yang saya kenal sebagai sahabat,tidak pernah jatuh cinta kepada saya karena kamu hanya jatuh cinta kepada istrimu, namun kamu selalu ada untuk saya ,menjaga saya ,mendidik saya dengan sabar.Kamu terlalu baik.Apakah salah saya jatuh cinta kepadamu. Saya butuh suami dan anak saya butuh ayah.Salahkah bila saya berharap" demikian katanya mengulang ungkapan cinta wanita itu kepadanya.

Lantas apa yang dia lakukan menghadapi persoalan ini? karena bagaimanapun dia tidak mau kehilangan wanita itu sebagai mitranya yang sukses mengelola bisnisnya dan tentu dia tidak mau mengecewakan istrinya yang telah memberi dia anak. Apa yang dia lakukan? menurutnya dia menceritakan semua hal tentang wanita mitranya itu kepada istrinya.Istrinya mendengar dengan seksama. Setelah itu istrinya menawarkan usul untuk mengundang wanita itu makan malam bersama. Dia,istrinya dan wanita itu.Juga masing masing membawa anak.Istrinya yakinkan semua akan baik baik saja setelah dinner. Dia menyetujui...

Ketika makan malam bersama, istrinya berkata kepada wanita itu "Saya sudah tahu semua tentang kamu dari suami saya. Saya hanyalah ibu rumah tangga. Saya tidak punya pendidikan tinggi seperti kamu tapi saya melahirkan anak dari suami saya yang semuanya sarjana.Saya hargai kamu membantu suami saya selama ini karena dia memang harus dibantu. Tapi ketahuilah bahwa bapak bukan suami yang pas utk kamu. Kamu akan menderita karena itu dan saya terluka. Terimalah kenyataan dan kalau tidak bisa menerima maka berdamai lah dengan kenyataan. ingatlah Bapak akan selalu ada untuk kita membagi cintanya namun dia tidak akan jatuh cinta lagi. Paham ya sayang.."

Wanita itu menangis mendengar kata sejuk dari istrinya. " Terimakasih Bu. Terimakasih udah ingatkan saya. Maafkan saya bila saya terlanjur jatuh cinta kepada bapak.Saya akan melupakan keinginan itu dan berdamai dengan kenyataan.. Ya bapak akan selalu ada untuk kita membagi cintanya dengan cara berbeda. Aku akan terus bekerja keras untuk bapak dan berkorban untuk cinta.Tentu ibu akan tetap satu satunya wanita yang mendampingi bapak dan berkorban untuk cinta.Ya cinta yang berbeda karena posisi kita berbeda" demikian kata wanita itu.

Kedua wanita,istri dan wanita sahabatnya saling berpelukan sebagai ungkapan ketulusan untuk saling menghargai sesama wanita..tanpa harus menyakiti dan kecewa. Karena mencintai adalah pilihan namun menikah adalah takdir..Menyadari ini tidak perlu harus merasa paling superior,Pada ahirinya nilai dihadapan Tuhan, kembali kepada niat baik dan keikhlasan sebagai sahabat atau istri.

Pemimpin merakyat..

Tadi saya ketemu dengan teman yang juga kepala daerah yang baru pulang haji. Waktu acara selamatan pergi haji saya diundangnya tapi tidak sempat datang. Kesempatan dia ada dijakarta karena dipanggil Presiden , saya undang makan siang. Apa yang membuat saya terkejut adalah dia pergi dengan haji generik bukan ONH plus. Dia juga merangkap pemimpin rombongan haji asal daerahnya. Ketika di Mekkah dia satu kamar dengan jamah haji dari daerah yang dipimpinnya. Teman sekamarnya itu berprofesi sebagai tukang cukur yang membutuhkan waktu 10 tahun nabung. Tidak ada sedikitpun dia merasa rendah ketika melayani jemaah yang menjadi tanggung jawabnya sebagai kepala rombongan. Baginya Ini biasa saja dan lagi semua mereka adalah rakyatnya sendiri. Dia merasa lebih nyaman bersama jamah dari rakyat jelata karena memang tugas pemimpin dekat kepada rakyat yang lemah. 

Sebagaimana Chavez adalah pembebas bagi rakyat Venezuela. Ia menggunakan kekuasaannya untuk merebut kembali kontrol terhadap sumber daya dan kemudian menggunakannya untuk memberantas kemiskinan, membebaskan rakyat dari buta huruf, menggratiskan pendidikan dan kesehatan, menciptakan toko sembako murah di seantero negeri, dan uan pensiun bagi lansia.Dia juga adalah sosok Presiden yang sederhana. Seperti Fernando Lugo dan Jose Mujica, Chavez juga menyumbangkan sebagian besar gajinya untuk anggaran sosial. Chavez juga dikenal Presiden yang sangat merakyat. Ketika melakukan kunjungan, Ia hanya menggunakan jeep atau menumpangi truk. Ketika hujan lebat mengguyur Venezuela, yang berakibat banjir hebat di mana-mana, Chavez membuka pintu istana Kepresidenan sebagai tempat penampungan. Baginya, Istana Kepresidenan adalah rumah rakyat. 

Siapa yang tak kenal Nelson Mandela? Dia merupakan pemimpin terkemuka pembebasan Afrika Selatan dari kolonialisme dan apartheid. Namanya begitu termasyhur di seluruh penjuru Afrika dan dunia. Meski begitu, Mandela tetap merupakan sosok yang sederhana. Begitu menjadi Presiden tahun 1994, Mandela rutin memotong gajinya untuk disumbangkan bagi anggaran sosial. Malahan, kemudian, ia menyerahkan sepertiga gajinya untuk membantu anak-anak. Rumahnya di Johannesburg maupun di desa asalnya, Qunu, terbilang sederhana dan tak ubahnya dengan rumah masyarakat umum. Tahun 1994, ketika negerinya didera utang warisan rejim lama, Mandela menyerukan pejabat negerinya mengencangkan ikat pinggang. Namun, sebagai langkah awal, ia memulai dengan memotong gajinya sendiri dan gaji Wakil Presiden.

Kalau mau meniru maka tirulah Rasulullah.Ia adalah contoh kesederhanan pemimpin tak tertandingi sampai kini. Mengapa ? Rasulullah memang bukan tipologi pemimpin aji mumpung. Beliau ibarat pemimpin yang berada di dalam kolam oli namun sama sekali tidak terciprat oli. Tidak heran, sebagai pemimpin sekaligus penguasa dua Kota Suci, Mekah dan Madinah, beliau justru mengahadap Allah dalam balutan pakaian kasar. Harta yang diwariskan hanya berupa baju besi (dir’un). Itu pun terpaksa digadaikan kepada seorang Yahudi dengan tiga puluh sha’ atau gantang gandum demi menopang biaya hidup keluarga beliau. [HR Bukhari dan Muslim].Kehebatan lain dari kepemimpinan Rasulullah adalah kedermawanan. Kendati miskin harta, beliau terbukti pribadi yang paling dermawan. Rasulullah sangat ringan hati di tengah hidup serba kurang. Tidak pernah ada peminta datang ke rumah yang tidak beliau kabulkan permintaannya. Rasulullah tidak menyimpan harta kecuali sekadar untuk kebutuhan. Beliau bersabda, “Andaikan aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, niscaya aku tidak suka kalau berlalu sampai lebih dari tiga hari, sekali pun di sisiku tinggal ada sedikit emas, kecuali kalau yang sedikit itu aku sediakan untuk memenuhi hutang yang menjadi tanggunganku.” [HR Bukhari dan Muslim].

Kemiskinan tidak menghalangi Rasul untuk membantu kesulitan orang. Terlebih lagi dalam urusan ibadah, Rasulullah benar-benar tidak mengenal istilah pelit atau perhitungan. Kita bisa simak dalam haji wada’ (perpisahan). Seusai rombongan umat Islam kembali dari melempar jumrah Aqabah di Mina, Rasulullah memerintahkan hadyu (penyembelihan hewan kurban). Aturan hadyu, satu ekor domba untuk satu orang dan satu ekor unta untuk tujuh orang. Tetapi, perhatikan, Rasulullah sendiri membawa 100 ekor unta. Beliau menyembelih 63 ekor atau seekor unta untuk satu tahun umur beliau. Yang 37 ekor beliau serahkan kepada Ali bin Abu Thalib untuk disembelih. Teman saya ingat nasehat Jokowi "selalu lah bekerja keras dengan dekat kepada rakyat lemah. Masalah bangsa Ini sebagian besar ada pada mereka dan mereka paling tahu apa yang seharusnya pemimpin perbuat. Jangan sibuk menyalahkan keadaan tapi jadilah penyelesai masalah. Karena itu yang dibutuhkan rakyat. Kerja keras dan niat baik karena Allah pasti berakhir baik dan yang untung juga rakyat" Memimpin adalah cobaan terberat dari segala cobaan yang diberi Allah. Tanpa pertolongan Tuhan tidak ada yang bisa selamat memimpin. 

Wanita pilihan

Siapa yang tak kenal dengan Mark Zuckerberg, pendiri sekaligus CEO Facebook yang pernah datang ke Indonesia dan bertemu Presiden Jokowi, serta orang muda terkaya di Amerika. Tapi, tahukah Anda, kalau Mark telah melabuhkan hatinya pada sosok wanita Asia bernama Priscilla Chan? Keduanya menikah sejak tahun 2012 silam dengan upacara yang cukup sederhana di halaman belakang rumah meraka di Palo Alto, California dengan hanya dihadiri 100 tamu undangan. Tidak sama dengan sang suami, sosok Priscilla Chan diketahui jarang muncul di hadapan publik. Ia lebih memilih menjadi sosok di belakang kesuksesan Zuckerberg. Ya, tentunya keberhasilan Zuckerberg menjadi orang hebat di dunia tidak dilakukan sendirian, tetapi ada orang-orang terdekatnya yang juga men-support. Salah satunya adalah sang istri, Priscilla Chan. Bagi yang belum banyak mendengar nama Priscilla Chan pasti akan penasaran siapa sebenarnya wanita yang mampu merebut hati salah satu pria yang menjadi milyarder termuda di dunia tersebut. Chan fasih dalam tiga bahasa, yaitu Inggris, Spanyol dan Kanton. Namun dari tiga bahasa tersebut, bahasa kantonlah yang membuat Zuckerberg terpikat. Pada tahun 2010, Zuckerberg mulai belajar bahasa China untuk menyiapkan perjalanannya ke China bersama Priscilla. Soalnya, Priscilla masih mempunyai keluarga di China. Sampai sekarang Zuckerberg memang belum fasih berbicara bahasa asal sang istri, tetapi paling tidak ia sudah bisa berkomunikasi dengan nenek Priscilla.

Ada kisah lama seorang pria sukses dan kaya yang ditanyakan rahasia kesuksesannya. Ia pun menjawab dengan bangga bahwa rahasianya adalah memiliki istri yang baik dan mendukungnya. Tapi, ketika pria yang belum menikah ditanyakan seperti apa istri yang diinginkan, pria akan memiliki jawaban yang berbeda-beda. Beberapa pria menjawabnya dengan sederhana yakni yang baik dan yang lainnya menjawab wanita itu harus seperti ibunya. Lantas seperti apa wanita sempurna yang dicari pria? Psikolog menjelaskan bahwa bukan profil wanita ini yang satu-satunya dilihat pria. Ternyata, karakter wanita bukan intinya. Keadaan internal wanita yang benar-benar penting. Seperti dikutip GeniusBeauty, Kamis (6/2/2014), berikut wanita yang diinginkan pria jadi istrinya. 1. Wanita sederhana. Seorang wanita menjadi luar biasa, istimewa dan menakjubkan. Tapi, jika ia wanita polos dan sederhana, kualitasnya terlihat menjadi luar biasa. Orang bijak di zaman dahulu mengatakan, kesopanan yang membuat wanita menjadi cantik. Itulah yang ditegaskan mayoritas psikoterapis. Tak ada yang mengejutkan bahwa jika wanita mencoba menjadi sederhana, pria akan tertarik pada Anda. 2. Wanita lemah. Kekuatan wanita adalah kelemahannya. Di dekat seorang wanita yang lemah ada pria yang lebih kuat. Seorang wanita yang lemah tak mengatakan dia lemah dan dia berhasil tetap aktif.

Wanita ini tahu bagaimana melihat pria itu sebagai orang yang kuat. Tapi, seorang wanita yang kuat selalu harus membuktikan dia kuat, bersaing dengan pria, mengalahkan orang lain dan menjelaskan seperti apa dunia itu seharusnya.Orang yang lebih kuat diciptakan untuk melindungi wanita. Jika wanita bisa melindungi dirinya sendiir, dia tak membutuhkan pria. 3. Wanita rasional. Wanita tahu di mana ia bisa membeli sesuatu yang lebih murah tapi menghargai kualitas. Wanita bisa dipercaya memegang anggaran keluarga. Rasionalitas adalah sinonim dari kecerdasan. Setiap pria akan senang menikahi wanita yang rasional. 4. Wanita menawan. Pesona wanita merupakan hal alami yang dilihat pria. Perempuan yang berpikir dengan logika dan nalarnya bisa menyihir seorang pria. Ini disebabkan fakta bahwa wanita itu bisa menunjukkan cara berpikir yang tak bisa dicapai pria. Perempuan memiliki otak yang diatur berbeda dan koneksi multipolar ada di sana. Terkadang, wanita berpikir logis dibandingkan pria yang mencintai wanita. Kealamian ini yang mengacu pada kualitas terbaik untuk menjadi seorang istri.

Ya, kebanyakan wanita cantik ketika muda gempang menaklukkan laki laki dengan kecantikannya. Tapi setelah dia berhasil menaklukkan laki laki dia lupa mengembangkan kepribadiannya agar lebih cantik dari wajahnya. Lebih seksi dari tubuhnya. Justru kecantikan raganya dirawat dengan ongkos mahal sehingga membuat pria bosan. Banyak wanita tidak begitu cantik dan terkesan sederhana namun di sisinya pria sederhana menjadi hebat. Karena dia tidak menaklukkan dengan kecantikannya tapi dengan kepribadiannya dan merubah pria menjadi lebih baik. Membuat pria tidak pernah bosan bersamanya. Ada satu hal yang dilupakan oleh wanita cantik bahwa bila dia memilih pria karena hartanya maka nilai harta tidak akan jatuh karena usia tapi nilai kecantikan wanita bisa jatuh karena usia... Saat itu siap siaplah untk kecewa

HAK istri.

  Ada   ponakan yang islamnya “agak laen” dengan saya. Dia datang ke saya minta advice menceraikan istrinya ? Apakah istri kamu selingkuh da...