Dulu tahun 80an saya terlibat dalam kelompok diskusi politik. Ini tidak
dilakukan di kampus tapi dilakukan diperpustakaan Idayu jalan Kwini, Kwitang,
Jakarta Pusat. Diskusi itu diadakan di pojok gedung Stovia secara sembunyi sembunyi tanpa sepengetahuan dari
Pengurus Perpustakaan. Mengapa harus sembunyi sembunyi? Karena yang
kami diskusikan itu berkaitan dengan paham marhaen dan ini terlarang oleh rezim Soeharto. Pada setiap acara kelompok diskusi , kami mendapatkan
pencerahan dari mentor kami tentang Marhaen yang berjuang untuk kaum tertindas. Kami juga diajarkan berdebat secara santun oleh mentor kami. Ditanamkan makna mandiri itu apa. Prinsip mereka bahwa kita tidak bisa membuat rakyat mandiri bila kita sendiri tidak mandiri. Umummya teman teman aktif dalam
kelompok diskusi adalah mahasiswa dari berbagai universitas yang berasal dari
keluarga miskin. Mereka umunya cerdas. Hampir semua kami fasih berhasa inggeris
karena dalam berbagai diskusi kami kadang menggunakan bahasa inggeris. Saya ikut dalam kelompok diskusi bukanlah karena saya pengikut Marhaen atau pencinta ajaran Soekarno. Keikutan
saya lebih karena dorongan rasa ingin tahu sebagai anak muda. Hampir dua tahun
saya terlibat aktif dalam kelompok diskusi. Hampir semua buku tentang Marxisme
telah saya baca. Semua tulisan Soekarno dan Tan Malaka juga saya baca. Akhirnya saya
putuskan keluar dari kelompok diskusi dengan membawa kenangan tersendiri
tentang teman teman yang sangat bersemangat memperjuangkan Marhaen.
Untuk diketahui bahwa Marhaenisme
adalah ajaran Soekarno tentang Sosio
Nasionalisme dan Sosio Demokrasi. Nama Marhaen sendiri diambil dari nama
seorang buruh tani miskin di Jawa Barat. Bagaimanapun munculnya marhaenisme ini
karena Soekarno terinspirasi dari buku Karl Marx namun tidak sepenuhnya
Soekarno setuju dengan teori Karl Marx. Bagi Soekarno yang diperjuangkan bukan hanya
kaum proletar atau buruh tapi siapa saja yang tertindas dan miskin ( kaum dhu’afaa).
Makanya cakupan Marhaen lebih luas
dibandingkan dengan komunisme. Walau Marhaen, Komunis dan Islam berbeda barisan namun tetap
seiring sejalan, sama sama anti kapitalisme, impelialisme, neoliberalisme, neokolonialime. Makanya tidak sulit bagi Soekarno untuk
mempersatukan Komunisme dan PNI ( partainya kaum Marhaen) dan islam dalam satu barisan yang dikenal dengan istilah Nasakom. Cara
cara berjuang Marhaen untuk mencapai tujuan politiknya indentik dengan yang
dilakukan oleh Komunisme yaitu melalui revolusi. Jadi menurut saya Soekarno tidak menggunakan Mark sebagai dogma
tapi menjadikan komunisme Marx sebagai metode mencapai tujuannya. Yang membuat
saya keluar dari kelompok diskusi dengan teman teman Marhaen adalah rasa benci mereka kepada kaum kapitalisme itu
sangat luar biasa. Kehebatan para mentor mencuci otak anak anak muda untuk
menjadi militan membela cita cita marhaenisme, memang sangat luar biasa. Berkat didikan agama dan pemahaman Tauhid dari kedua
orang tua ,saya bisa menilai bahwa ada satu kekurangan dari marhaenisme yaitu
bahwa mereka menanamkan kebencian kepada kaum kapitalis.Itu saya tidak suka.
Partai kaum Marhaen adalah PNI
atau Nasionalis. PDIP bukanlah partai kaum Marhaen namun saya tahu PDI digunakan
oleh kaum Marhaen ketika Megawati memimpin PDI tahun 1993 untuk melawan
rezim status quo Soeharto bersama Golkar. Namun tahun 1996 tanggal 27 juli terjadi penyerbuan kantor PDI di Jl Diponegoro 58 yang
dilakukan oleh massa tidak dikenal. Banyak aktifis Marhaen yang militan mati
dalam penyerbuan itu. Setelah itu terjadi
operasi penangkapan oleh intelligent kepada aktifis marhaen. Ada juga yang diculik oleh Kopassus. Belakangan saya tahu beberapa teman diskusi saya dulu termasuk yang ditangkap dan diculik. Sejak itu kaum pergerakan
Marhaen menghilang. Mereka bahkan tidak ikut dalam pergolakan 1998 menjatuhkan
rezim Soeharto untuk melahirkan rezim reformasi. Namun setelah reformasi angin kebebasan memungkinkan
mereka mendirikan partai. Berdirilah PNI Marhaen namun kalah dalam Pemilu. Ini dikarenakan
sebagian besar kekuatan akar rumput Marhaen lebih "nyaman" bersama Megawati (
PDIP) daripada mendukung partainya sendiri. Teman saya yang juga aktifis PDIP mengatakan
kepada saya bahwa bagaimanapun PDIP bukalah rumah kaum Marhaen. Mereka
ibarat orang indekos di PDIP. Itu sebabnya
tidak banyak orang marhaen yang duduk di DPP PDIP dan karenanya
mereka tidak masuk kelompok yang berpengaruh di PDIP. Tapi walaupun mereka bukan elite PDIP namun mereka diterima rakyat untuk memimpin daerah seperti Jokowidodo dan Tri Rismaharini dll. Merekalah anak muda marhaen militan tahun 80an yang kini bisa membuktikan apa itu marhaenisme lewat kepemimpinan mereka yang merakyat.
Ketika Jokowi resmi menjadi
Capres dari PDIP maka sejak itu pula serangan dari lawan politiknya tiada henti.
Jokowi dituduh President Boneka, Jokowi syiah, Jokowi antek Yahudi dan
Konglomerat Hitam dan masih banyak lagi. Teman saya mengkawatirkan Jokowi akan
tersingkir dan jatuh dengan tekanan yang begitu besar. Saya hanya
tersenyum. Orang lupa bahwa Jokowi itu
adalah kader Marhaen, bukan kader PDIP yang pragmatis. Dia tumbuh dari suasana
sulit selama 32 tahun dibawah ancaman Soeharto. Dia terbiasa menghadapi ancaman
dalam bentuk apapun dan memang dia dilatih untuk siap berkorban kapanpun demi
cita cita marhaen. Dengan majunya Jokowi sebagai capres maka hidden group dari
kaum Marhaen akan bergerak efektif dan sistematis di akar rumput. Yakinlah bukannya
Megawati yang akan mengendalikan Jokowi tapi Jokowi yang akan mengendalikan Megawati
dan bila Jokowi terpilih sebagai presiden dan
PDIP unggul di PEMILU maka hanya masalah waktu akan ada restruktur PDIP
untuk menempatkan kader Marhaen dalam jajaran elite PDIP. Ketika itu terjadi
maka orientasi kekuasaan adalah membela kaum tertindas yang sejak Indonesia merdeka
diabaikan. Ditangan kaum marhaen, membela wong cilik bukan retorika tapi ruh perjuangan. Kalau mereka dekat kepada rakyat miskin, petarung hebat membela hak kaum miskin, rendah hati, bukanlah pencitraan tapi dokrin marhaen memang begitu...
Andaikan Jokowi terpilih sebagai Presiden dan menempatkan PDIP sebagai pemenang PEMILU maka benarlah kata pengamat politik bahwa kemenangan itu karena keterlibatan Tuhan didalamnya. Ada invisible hand dari Yang Maha Pengatur. Mengapa ? Allah akan mengangkat kaum dhu’afa sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT dalam surat Al-Qoshash ayat 6, “Dan kami (Allah) akan menolong kaum dhu’afaa di muka bumi dan menjadikan mereka pemimpin dan orang-orang yang akan mewarisi (bumi).” Nabi pun bersabda, “Sesungguhnya kemenanganmu adalah bersama-sama dengan kaum dhu’afaa.”...Wallahualam.
1 comment:
salam Pak Eri, saya sangat setuju dengan kalimat kalimat di paragraf 4. banyak orang lupa pengalaman hidup Jokowi dalam lintasan waktu. dari lintasan waktu itu, dia tidak hanya mengamati, merasakan tetapi juga mengalami ketidakadilan suatu rezim. hal positifnya, jokowi menjadikan dendamnya u/ mensejahterakan rakyat dengan keadilan sosial, yg itu sebenernya sdh bisa menjadi hukuman bagi kaum kapitalis, karena harus mau berbagi. dengan niat tulus yang baik, keyakinan campur tangan invisible hand bertambah kuat, dan let time will tell. jujur, Saya merinding baca postingan ini.
Post a Comment