Friday, April 04, 2025

Kenaikan tarif Trumps ?

 





Kebijakan yang dipaksakan.

Kalau anda mempelajari tekhnik diplomasi dalam bahasa yang terstruktur dan bersepktrum jauh ke depan, maka anda tidak akan menemukannya pada Trumps. Dia bertolak belakang dari kemapanan kaum intelektual. Coba perhatikan. Tanggal 20 Januari 2025 diumumkan tarif sebesar 25 persen kepada Kanada dan Meksiko. Menurutnya perjanjian sebelumnya tidak masuk akal. Padahal perjanjian perdagangan AS-Meksiko-Kanada (USMCA) itu dia tanda tangani sendiri lima tahun lalu.


Tarif diumumkan, kemudian ditunda, kemudian diberlakukan, kemudian dibatalkan sebagian lagi, kemudian dinaikkan apabila negara yang terkena dampak melakukan pembalasan, dan seterusnya. Tapi apa peduli Trumps. Walau banyak pernyataanya tidak masuk akal, tetapi terus-menerus diulang-ulangnya. Seperti katanya, tarif akan dibayarkan oleh pemerintah asing, bukan konsumen.  Kan bego. Tarif itu pajak tidak langsung, yang bayar ya konsumen.


Seperti hal nya kemarin. Trump memberlakukan tarif resiprokal kepada  negara mitra dagangnya, termasuk Indonesia. Berdasarkan data UN Comtrade Database, komoditas ekspor unggulan Indonesia ke Amerika meliputi produk-produk seperti mesin dan peralatan listrik, garmen, lemak dan minyak hewan atau nabati, alas kaki, dan produk hewan air. Penerapan tarif impor untuk Indonesia sebesar 32%, karena Indonesia dinilai menerapkan tarif impor 64% atas barang AS. Hitungan Itu termasuk "manipulasi mata uang" dan non tarif barier.


Negara berkembang seperti ASEAN, bisa saja mengubah tarif impor untuk produk AS agar dapat pengurangan tarif dari Trump. Tapi dampaknya kehilangan pajak sebagai  trade off impor dari AS. Akan semakin sulit membiayai kemandirian industry. Bagi negara besar seperti India, China, Jepang, Eropa akan mengalihkan pasarnya ke selain AS dan sekaligus memperkuat pasar domestic. Walau memang dalam jangka pendek akan membantu mengurangi defisit perdagangan AS. Tetapi dalam jangka Panjang tidak. Justru konsumen AS dirugikan akibat kenaikan tarif impor dan mendorong inflasi.


Elon Musk dan DOGE lebih ngawur lagi. Lakukan efisiensi tapi pada waktu bersamaan berencana mengurangi pajak korporat agar terjadi relokasi industry ke AS. Ini justru akan memperburuk ketidakseimbangan fiskal. Trumps engga paham bahwa adanya defisit fiscal yang sudah mencapai 5,5% dari PDB itu karena ketidakseimbangan tabungan dan investasi. Sumber masalahnya adalah karena tructure cost ekonomi dan sosial sudah terlanjur mahal. Sulit bersaing secara global dalam perdagangan. Ya, kutukan sebagai negara kaya yang banyak gaya. 


Harus dimaklumi bahwa AS menerapkan tarif resiprokal atas dasar situasi dan kondisi dimana AS perlu mengurangi kebijakan tarif impor rendah yang selama ini telah membuat banyak negara diuntungkan. Ya maklum ekonomi AS sedang suffering  yang tidak mungkin terus jadi penyelamat ekonomi dunia. Sudah saatnya AS meminta bayaran seimbang, setidaknya dalam sekian decade kedepan mereka harus focus kepada ekonomi domestik. 


Penetapan tarif yang subjectif

Menurut hitungan AS bahwa Indonesia yang mengenakan tarif 64% kepada barang impor AS. Maka dikenai tarif balasan setengahnya atau 32%. Yang jadi pertanyakan adalah bagaimana hitungannya sampai ketemu angka 64%? Padahal rata rata tarif impor barang dari AS hanya berkisar 4-5%. Katanya berdasarkan rumus : defisit perdagangan AS terhadap Indonesia dibagi dengan total ekspor Indonesia ke AS. Sepertinya cocok logi. Terkesan menyederhanakan.


Karena data rincian hitungan tarif kepada negara lain lebih jelas seperti China, tarif timbal balik 34%, di samping  tarif eksisting 20%, sehingga totalnya  menjadi 54%. Vietnam, Tarif Tambahan (Timbal Balik): 46%. Tarif Dasar: 10%. Total Tarif: 10% + 46% = 56%. Uni Eropa. Tarif Tambahan (Timbal Balik): 20%. Tarif Dasar: 10%. Total Tarif: 10% + 20% = 30%.  Inggris, Australia, Brasil. Tarif Tambahan: 10%. Tarif Dasar: 10%. Total Tarif: 10% + 10% = 20%.


Kalau memperhatikan tarif pada China, Vietnam, dan Indonesia ada tambahan perhitungan yaitu terkait dengan manipulasi mata uang ( manipulate currency ). Memang sulit untuk tahu kebenaran data ini. Karena ini lebih kepada data intelligent currency. Dan AS punya kemampuan untuk tracking adanya manipulasi mata uang yang dilakukan satu negara.


Melemahkan mata uang dalam kondisi undervalue itu tindakan curang dalam perdagangan international. Bisa membuat produk jadi murah dan punya daya saing di pasar global, yang pada waktu bersamaan memproteksi pasar domestic dari arus barang impor. Jadi walau tarif impor barang dari AS hanya berkisar 4-6% namun kalau dihitung termasuk manipulasi mata uang, itu lebih 50% tarif nya.


Karena AS menganut system keuangan terbuka dan transfarance.  Tidak mungkin melakukan manipulasi mata uang. Namun karena adanya manipulasi mata uang oleh mitra dagangnya, AS dirugikan dalam perdagangan international, dengan ditandai defisitnya neraca perdagangan. Bukan itu saja, akibat manipulasi mata uang, banyak pabrik di AS pindah ke China, Vietnam.  Nah, perundingan dagang dengan AS, jadi tidak mudah, Karena ini sudah menyangkut idiologi atau politik.


Hambatan tataniaga ekspor dan impor.

AS memang mendorong terbentuknya WTO. Namun dalam prakteknya. Banyak negara hanya melaksanakan dari sisi formal WTO itu. Sementara hambatan non tarif terus aja terjadi. Udah lama AS ingatkan negara lain untuk konsisten menjaga kesepakatan  WTO. Namun negara lain selalu berdalih dengan data formal. Dan AS punya bukti data intelligent pelanggaran tarif itu.


Indonesia impor jagung dan Kedelai dari AS. Tarip impor murah. Hanya 0%. Tapi AS tahu, procedure impor itu dengan system quota. Artinya pemerintah Indonesia memberikan konsesi monopoli kepada importir. Secara tak lengsung punya bargain position dalam negosiasi harga.  Petani AS tentu dirugikan. Kalau dihitung dengan tarif barrier, itu lebih 50% AS dirugikan. Dan yang miris, negara Indonesai juga engga untung. Yang untung pengusaha rente.


Sama hal nya juga, kita impor shale gas dari AS. Lagi lagi procedure impor walau monopolisi Pertamina namun dibalik itu terjadi kartel. Walau Indonesia kenakan tarif 5% untuk impor namun karena adanya kartel, harga tidak bisa bargain. Eksportir AS dirugikan. Secara tidak langsung tarif jadinya bisa lebih tinggi diatas 30%. Lagi lagi yang untung bukan pemerintah, tetapi pengusaha atau oligarki doang.


Kita terus berupaya membuat lemah kurs IDR dengan RER dibawah 100. Tujuannya agar eksportir bergairah. Bagi AS itu dianggap pelanggaran WTO  dan korup dalam mengelola kurs atau terkesan manipulasi. AS merasa dirugikan adanya moneter barrier itu dan itu berdampak sulitnya industry dalam negeri AS bersaing dengan produk impor.


China memang melakukan moneter barrier tetapi itu untuk kepentingan industry padat karya. Tapi kita? yang nikmati moneter barrier adalah  eksportir tambang yang nilai tradable nya rendah. Sementara Industri padat karya,  tidak tumbuh malah terjadi deindustriaisasi. BI juga tidak diuntungkan. Terbukti DHE masih banyak nangkring di luar negeri. Dan akhirnya kurs IDR loss control pelemahanya. Yang korban ya industry padat karya.


ASTRA memang produk indonesia. Namun AS tahu, pabrik itu hidup dari proteksi pemerintah sejak berdirinya.  Nah saat Astra ekspor kendaraan ke AS, tentu harga nya bisa bersaing dengan produk buatan AS. Karena produsen mobil AS tidak dapat proteksi dari pemerintah. Nah sekarang kena tarif 32 % ayolah bisa engga bersaing ASTRA. Pasti keok, entar lagi kena PHK tuh buruhnya. Dan lagi selama ini yang kaya raya pemegang saham ASTRA. Negara hanya  dapat secuil.


Vietnam, India, Malysia bisa segera berunding dengan good and faith di hadapan AS untuk dapatkan keringanan tarif, Karena negara memang lead. Tetapi Indonesia ? sulit. Karena itu artinya Indonesia harus membantai habis konglo pebisnis rente importir kedele, jagung dan shale gas, ekportir minerba. Kan engga mungkin. Suka tidak suka, para konglo itu punya saham pada kekuasaan Presiden sekarang.


Kita lihat nanti. Apakah pemerintan berani menghapus hambatan tarif itu demi menyelamatkan industry padat karya  atau tetap dengan retorika hilirisasi, MSB dan Danantara? Semua program itu akan jadi omong kosong kalau Kurs melemah, yang tentu cost of fund surat utang jadi mahal, dan pasti tidak ada investor yang mau beli surat utang. Bangunlah, yuang.. Hari la laruik sanjo. Indak elo lalo seh panjang.


Dampak kepada pasar uang  dan modal

“ Paska berlakunya tarif resiprokal AS, Indeks jatuh “ kata Dewi. Dia bacakan datanya lewat hape. S &P 500 telah turun hampir 14%, Dow turun 12%. Nasdaq telah turun hampir 16% . Di Asia, indeks Nikkei 225 Tokyo anjlok 7,8%. Hang Seng Hong Kong anjlok 13,2%. indeks Shanghai Composite turun 7,3%. Di Taiwan, Taiex turun 9,7. Kospi Korea Selatan turun 5,6%. Australia S&P/ASX 200 turun 4,2%. Indeks DAX Jerman turun 5,8% Indeks CAC 40 Paris juga turun 5,8%, dan FTSE 100 Inggris turun 4,9%.


Mengapa begitu dahsatnya dampak tarif resiprokal Trumps. Padahal yang dipajaki rakyat AS sendiri. “ Tanya Dewi.


“ Semua index itu jatuh bukan karena tarif resiprokal Trump. Tetapi karena efek balasan dari China. Maklum China menguasai 20% supply chain global dengan penguasaan manufaktur 26% dari seluruh manufaktur dunia. Tentu timbul ketidak pastian. Kepanikan melanda.Ya. Investor sale down saham dan pindahkan uangnya ke Surat utang negara. Yang jadi target Surat utang German, Jepang dan AS. “ Kata saya.


Mengapa ? Harus german, Jepang dan AS ?


“ Karena bagaimananpun fundamental negara tersebut kuat. Jadi udah seperti safe haven “ Kata saya.


“ Terus kenapa IDR juga melemah?


“ Yang karena kita ikut terdampak kena tarif resiprokal yang tinggi. Investor kawatir akan terjadi resesi. Maklum AS itu tujuan ekspor indonesia terbesar kedua setelah China. Nah CDS kita naik di pasar. Tentu dampaknya harga SBN jatuh karena yield terkerek naiki. Otomatis Rupiah tertekan ke bawah. Itu biasa saja. ” Kata saya.


“ Gimana dengan IHSG setelah libur lebaran?


“ Logikanya kan, kalau Rupiah melemah, otomatis value saham hatuh. Ya investo sale down. Ya pasti terjadi koreksi kebawah. Tetapi karena yang membentuk harga saham itu hanya 7 emiten konglomerat.  Bisa aja ketahan kejatuhannya. Kalau presiden panggil mereka untuk intervensi. “ Kata saya.


“ Pertanyaannya sampai kapan mereka kuat menahan? Kan engga mungkin mereka mau tekor. “ Kata dewi. 


Dampak kepada perekonomian nasional dan Solusi

AS adalah tujuan eksport kedua terbesar setelah china. Produk ekspor sebagian besar adalah CPO , TPT dan alas kaki. Produk itu semua terkait dengan padat karya. Kenaikan akan membuat produk Indonesia yang masuk ke pasar menjadi lebih mahal, sehingga daya saing produk tersebut akan kalah bersaing dengan produk lain.  Hal ini akan menyebabkan pembeli dari AS mengurangi pembelian atau beralih ke pemasok lain. 


Nah kalau omzet turun tentu akan berdampak rasionalisasi, yang berpotensi menimbulkan badai PHK besar-besaran. Tentu akan berdampak serius terhadap IHSG.terutama emiten CPO, automative, TPT. Memang ekspor ke AS hanya 10% ( usd 26 miliar/usd 264 miliar) dari total ekspor Indonesia. Namun mengingat  surplus neraca perdagangan kita juga 10% dari total ekspor.  Tentu kenaikan tarif itu berdampak signifikan atas penerimaan devisa. Rupiah akan sulit stabil.


Penerimaan pajak juga akan turun. Defisit APBN akan melebar. Pertumbuhan ekonomi akan melambat, yang bisa saja terjadi dengan PMI kontraksi. Kalau premium CDS terus naik akibat defisit melebar, harga SBN jatuh dan yields terkerek naik. Resesi melanda tak terelakkan. Yang kemudian berujung kepada krisis hutang.


Mengapa pemerintah lambat bertindak konkret? Karena seperti kata pejabat china, ini bukan sekedar kenaikan tarif resiprokal tetapi lebih kepada politik , ya Amerika gunakan tarif sebagai kebijakan geopolitik nya.  Nah sementara Indonesia sejak era Prabowo sudah menentukan pilihan politik luar negeri terkait dengan mengakui nine dash line LCS, masuk BRICS, dan menggunakan asean sebagai bargain dialog dan berbeda sikap atas penyelesaian Gaza. Bagi AS tidak ada lagi ruang negosiasi dengan Indonesia kecuali hanya basa basi diplomatik. Itu resiko yang harus kita terima sebagai konsekuensi pilihan politik luar negeri.


Karena kita tidak mungkin lakukan transshipment lewat Singapura guna dapatkan tarif rendah. Procedur seperti itu prohibited bagi AS. Singapura juga tidak akan mau karena engga ada asuransi mau cover cargo itu.  Tapi kita masih punya ruang lakukan diplomasi secara informal. Apa itu ? Indonesia bisa manfaatkan lobi Freeport McMoran yang dekat dengan Trump. Atau Indonesia teken kontrak jangka panjang shale gas dari AS. Semua pengusaha minyak punya lobi kuat dengan gedung putih. Ya jalan belakang aja. 


Pada waktu bersamaan kita deregulasi tata niaga ekspor impor agar aspek non barier dan moneter barier bisa dihapus. Dah gitu aja.  Sebaiknya cepat bertindak sebelum PHK meluas, NPL bank meledak dan IDR terjun bebas.


Politik perdagangan.

Berbisnis dengan AS itu tidak mudah. Ketat sekali aturannya. Ttidak mungkin bisa dilakukan transhipment. Dalam LC selalu disebut syaratnya transhipment or transferable not allowed. Misal, dalam ekspor ke AS. Mengharuskan ada COO ( cerficate of origin). Mereka tunjuk sendiri Lembaga surveyor untuk mengawasi COO ini. Makanya Dirjen Perdagangan Luar negeri  negara manapun termasuk Singapore engga berani main main dengan COO ini.


Berbeda dengan ekspor ke China atau India. Mereka tidak peduli mau transhipment atau transferable. Karena prinsip mereka adalah bisnis atau dagang. Bukan politik. Nah kalau banyak pengusaha Indonesia seperti batubara dan CPO melakukan transhipment lewat Singapore, itu bukan karena tarif, tetapi karena transfer pricing alis menghindari pajak di Indonesia. Mereka jual ke Singapore harga murah agar pajak rendah. Setelah itu jual ke China dan India dengan harga sebenarnya.


AS menetapkan kenaikan tarif impor itu bukan berdasarkan jenis barang tetapi negara. Mengapa? Bagi AS dari dulu kebijakan tarif itu memang menjadi bagian dari kebijakan geostrategis dan geopolitik mereka kepada negara lain. Misal dulu AS memberikan fasilitas GSP ( general System preference) untuk indonesia karena dianggap negara under develop. Tarif masuk ke AS 0 persen. 


Karena adanya fasilitas GSP itu terjadi relokasi pabrik di korea, jepang, Jepang ke Indonesia. Seperti pabrik TPT dan alas kaki. Ya mereka datang dan berinvestasi ke Indonesia tentu agar bisa bersaing masuk ke pasar AS. Tetapi sejak Indonesia masuk negara upper middle-income country. Otomatis fasilitas GSP dihapus. Makanya banyak pabrik TPT dan alas kaki yang bangkrut. Karena udah sulit bersaing di pasar AS.


Terlepas soal suka tidak suka kepada Jokowi. Dalam hal kebijakan perdagangan international. Berkali kali dipaksa revisi UU BUMN, Jokowi menolak.Bahkan dipaksa buat aturan DHE oleh elite politk, dia buat dengan BiAS. Berkali kali dipaksa gabung ke BRICS, Jokowi menolak Soal Gaza dan Palestina, Jokowi tetap main dua kaki sesuai dengan UUD 45, yaitu non block.


Artinya Jokowi itu tidak pernah against dengan AS. Bahkan dalam kasus divestasi Freeport, dia menggunakan pembiayaan lewat 144A yang difasiitasi the Fed. Jadi walau Freeprot jadi minoritas namun tetap aja AS mengontrol secara financial. Bukan karena Jokowi takut tapi smart atau tepatnya tahu diri. Engga mungkin menang lawan AS. Apalagi kurs IDR tergantung dari kebaikan hati Uwak Sam dan 80% industry padat karya tergantung kepada pasar AS.

Wednesday, March 26, 2025

Roller Coaster ekonomi dari masa ke masa.

 




Zaman orde baru demokrasi ala pak Harto. Walau kita menganut trias politika, legislative, eksekutif, yudikatif namun kekuasaan tetap terpusat kepada Presiden. Dunia tidak peduli. Apalagi Pak harto tidak pernah pinjam uang untuk APBN dari asing atau pasar uang. Dia hanya pinjam uang untuk proyek. Dan itu uangnya tidak mampir di kas negara tetapi masuk langsung ke proyek.  Tentu yang bayar utang adalah proyek itu sendiri. Seperti Pabrik Pupuk, Semen, Petrokimia, PLN, Telkom dan lain lain. 


Pada tahun 1997 krisis berawal bukan krisis pemerntah, tetapi krisis Moneter. Artinya yang krisis BI. Mengapa ? karena modal BI negative. Apa sebab? Akibat KKN. Banyak bank memberikan kredit tidak sesuai aturan dan dengan mudah aturan dilanggar. Contoh, larangan BMPK atau Batas Minimum Pemberian Kredit, kepada afialiasi atau grup dari bank. Moral hazard effect. Pemberian kredit di mark up. Memberikan relaksasi kepada perbankan untuk menarik utang luar negeri lewat PBG dan SBLC.  Dan lain lain.


Lambat laut, arus kas masuk ke bank tersendat. Karena banyak proyek tidak menghasilkan laba. Sehingga tidak ada uang untuk bayar bunga simpanan dan deposito. Bank terpaksa menaikan suku Bunga untuk menyarap likuiditas dari masyarakat. Moneter terdistorsi. BI memberi Kredit Likuiditas kepada Bank agar bunga turun. Belum lagi tagihan dari bank luar negeri atas utang korporat yang dijamin bank dalam negeri di call. Sementara kurs IDR terus melemah akibat devaluasi. Utang luar negeri jadi bertambah dalam IDR. Korporat tidak bisa bayar. BI terpaksa bailout guna menghidari effect systemic.


Soeharto bisa saja berkelit itu masalah BI. Tetapi dia lupa. Bahwa BI itu tidak terpisah dari pemerintah. Artinya dengan adanya pelonggaran kredit oleh BI, itu sama saja pemerintah menambah uang beredar, yang bagaimanapun harus dibayar lewat fiscal. Sementara sistem fiscal belum solid akibat sistem demokrasi yang terpusat. Jatuhnya kurs, karena jatuhnya trust pasar. Yang tentu berdampak kepada jatuhnya trust politik. Soeharto sadar. Yang dihadapinya adalah sistem yang dia pilih sendiri dan dia dijatuhkan oleh sistem itu sendiri. Dia lengser.


***


Setelah Soeharto lengser. Habibie tampil berkuasa. Yang pertama dia lakukan adalah mengembalikan Trust. Caranya? Inilah nasehat Director IMF, buat undang undang reformasi Politik, yang akan menjadi dasar reformasi keuangan negara. Selama 7 bulan kekuasaannya, Habibi berhasil membuat UU Otonomi Daerah, UU kebebasan Pers, dan UU Independensi BI. Otonomi daerah memastikan tidak ada lagi sentralistik. UU Pers, memastikan negara tidak boleh intervensi kebebasan Pers dan UU BI, menjamin pemerintah tidak boleh intervensi.


Era Gus Dur, IMF minta lagi agar pisahkan TNI dari Sipil. Jadi tidak ada lagi militerisme. Era Megawati, berlaku SAP. KPK sebagai Lembaga adhock dibentuk. Pemberantasan Korupsi segera dilaksanakan dan pada waktu bersamaan reformasi kelembagaan POLRI, Kejaksaan, Hakim Tipikor dilakukan secara terprogram. Agar kelak kalau sistem peradilan sudah solid, maka KPK bisa dibubarkan. juga disahkan UU Keuangan negara dan UU Perbendaraan negara. Agar disiplin anggaran dilakukan secara transrfaan sesuai dengan Government finance statistic reform


Era SBY, Indonesia sudah  clean dari masa lalu. SBY tidak punya beban politik akibat krismon. Karena masalah BLBI sudah diselesaikan lewat Obligasi rekap ( QE). Asset obligor BPPN sudah disita dan dilelang lewat BPPN. Indonesia sudah masuk ke wahana financial resource. Tidak perlu repot cari duit. Tinggal hitung berapa defisit APBN, ya pemerintah terbitkan SUN. 8 tahun Era SBY, PDB meningkat 193%. Dahsat kan. Dari keterpurukan bisa bangkit menuju negara dengan PDB USD 1 trilion dan qualified jadi anggota G20.


Yang disayangkan peningkatan PDB itu bukan karena meningkatnya produksi dan Human Capital, tetapi karena kemudahan berhutang yang sebagian besar dipakai untuk subsidi konsumsi (BBM) dan lain lain. Makanya SBY mewarisi defisit primer kepada Jokowi. Pendapatan dikurangi belanja ( tidak termasuk bayar bunga) hasilnya defisit. 


Di era Jokowi, difisit itu disikapinya dengan rasionalisasi APBN. Mengurangi pos subsidi dan meningkatan tax ratio lewat tax amnesty. Trust market bangkit lagi. Jalan berhutang terbuka lagi. Sampai pada periode pertama. Jokowi selamat. Bisa pertahankan pertumbuhan diatas 4% dengan terbangunnya infrastruktur secara luas. Namun periode kedua. Pandemi COVID melanda. Ekonomi kontraksi. BIaya pandemic menguras anggaran yang dibiayai dari SBN burden sharing. 


Pada saat Pandemi, karena skalanya luas, moral hazard penyimpangan anggaran tidak terelakan. ICOR nakk diatas 6. Juga terjadi perang dagang China-AS dan setelah itu terjadi perang Rusia-Ukraina yang membuat harga pangan dan MIGAS melambung. Kurs IDR melemah terus. Karena banyak devisa terpakai untuk impor. Pada waktu bersamaan kita diuntungkan oleh kenaikan harga ekspor komoditas utama. Kita mengalami windfall. Surplus perdagangan. APBN selamat dan bisa terus berhutang lewat SBN. IHSG meningkat diatas 7000. Pasar modal bullish. Harapan besar. 


Namun dari tahun 2023 likuiditas mulai berkurang akibat terserap SBN. Puncaknya tahun 2024. Asing mengurangi porsinya.  Mengapa ? karena the Fed menaikan suku bunga setelah QE. Akibatnya likuiditas mengalir ke AS. Era suku bunga tinggi memang merepotkan BI dan Menteri keuangan.Apalagi tax ratio tidak meningkat significant. Korupsi skalanya semakin besar dan meluas. Utang meningkat 3,5 kali lipat dari stok utang 2014. Antisipasi berkurangnya Likuiditas, DPR bersama pemerintah mengizinkan BI masuk kepasar Perdana beli SBN.


Era Prabowo. Likuiditas semakin ketat. Porsi kepemilikan SBN oleh BI makin besar yaitu diatas 25%. Yield SBN terus meningkat. Resiko SBN membayangi. Akibat defisif fiscal. Yang menanggung bunga dan hutang jatuh tempo era Jokowi. Engga ada lagi tersisa untuk ekspansi, kecuali pagu utang yang diatur UU diubah. Kalau diubah, pasti yield SBN akan meningkat lagi. SBN jadi jatuhnya murah, dan lama lama bisa jadi sampah. Solusinya? Mendapatkan dana diluar skema APBN. Nah dibentuklah BPI Danantara.


Dalam konteks ngurus negara, saya tidak setuju skema financial resource di luar APBN seperti Danantara. Mengapa? Walau diluar skema APBN kan tetap saja melibatkan  negara sebagai undertaking secara tidak langsung. Sulit dijamin displin penggunaannya. Karena pengawasan dan pengendalian disiplin dana tidak seperti di APBN yang ada Lembaga yang lahir dari Rahim demokrasi seperti BKP, BPKP, KPK dan inspektorat pada setiap kementrian.


Saya setuju kalau keberadaan Danantara ini focus kepada program rasionalisasi BUMN dan Asset menager. Dengan rasionalisasi BUMN, proses  transformasi BUMN berkelas dunia bisa dimitigasi resikonya. Setelah BUMN sehat, biarkan BUMN mencari dana sendiri lewat perbankan, pasar uang maupun pasar modal, untuk melaksanakan penugasan dari negara sebagai agent of development. Itu tidak akan sulit. Mana ada investor engga mau deal dengan korporat yang sehat dan profitable.


Sebagai Asset Manager, Danantara jangan ambil modal dari sumber likuiditas bendahara negara. Cerdas dikitlah. Engga melulu harus tunai. Jadi caranya, saat terima deviden BUMN, saat itu juga belikan SBN. Likuiditas bendahara negara tidak terganggu. Nah kalau Danantara perlu uang merasionalisasi BUMN, bisa gunakan SBN itu lewat pasar repo. Tentu pastikan setiap penarikan dana lewat REPO dengan skema yang secure sehingga bisa rolling. Jangan sampai default. Kalau default itu sama saja makan dari uang negara.


Sebagai asset manager, Danantara bisa provide financial solution mengatasi defisit fiscal. Pos pembiayaan APBN bisa dilempar ke Danantara. Jadi APBN tidak lagi defisit. Misal, pemeritah harus bayar utang jatuh tempo dan menugaskan Danantara untuk melakukan restruktur. Tidak lewat revolving bayar utang pakai utang, tetapi lewat Debt SWAP. Caranya ? Danantara wrap SBN itu menjadi instrument structure back securities. Kemudian instrument structure itu di SWAP dengan Bond negara laib anggota OECD atau BRICS.


Misal, bunga Bond  Jepang 1%. Bunga SBN 6%. Danantara tukar SBN itu dengan instrument back securities yang berbunga 2%. Nah 4% itu jadi income Danantara. Income itu sangat besar. Pertahun kita bayar bunga diatas Rp. 400 triliun. Bisa hemat Rp 300 triliun, itu sangat besar untuk menjamin likuiditas BUMN melaksanakan tugas negara membangun proyek strategis nastional


Atau Danantara bisa memanfaatkan pasar credit carbon. Potensi credit karbon kita sangat besar. Bisa mencapai Rp. 8000 triliun. Caranya? Negara memberikan hak konsesi hutan tropis kepada Danantara untuk dilestarikan dan dijaga. Dari sumber daya itu bisa disekuritisasi untuk dapatkan uang dari pasar credit carbon dan uangnya untuk bayar utang negara.


Apa yang saya jelaskan diatas, bukan hal too good to be true. Tentu harus melewati prosedur risk management, international financial compliance standards yang ketat dan sophisticated,  dan  tidak bisa cepat. Butuh waktu lama berproses. Setidaknya perlu 5 tahun  untuk bisa established.. Tapi tanpa dukungan team professional yang punya dedikasi bela negara dan standar moral yang tinggi, serta  dukungan sistem demokrasi yang sehat hampir tidak mungkin bisa sukses.  


***


Problem utama kita sejak era Soharto sampai era Prabowo adalah buruknya management resiko dalam mengelola sumber daya. Itu karena politik menjadi panglima. Sehingga dengan mudah membuka peluang korporat menguasai bisnis rente yang non tradable dan meningkatkan uang beredar tanpa terkendali lewat bursa dan sistem perbankan. GINI rasio memburuk. Dampaknya terjadi ketidak seimbangan fiskal dan moneter. Hanya masalah waktu, pasti akan tergelincir sendiri. Seharusnya hukum sebagai panglima. Ya Hukum atas dasar sistem demokrasi yang sehat tentunya.


Saya hanya rakyat jelantah. Bukan siapa siapa. Saya mendukung saja setiap upaya yang terbaik untuk negara, tentu dengan sikap kritis. Saya sadar, upaya tetaplah upaya. Tentu tidak ada rencana yang sempurna. Pasti ada proses mitigasi resiko, trial and error. Tapi yang penting selama proses itu pastikan Pak Prabowo sehat. Kalau ada apa apa dengan dia, habis kita. No hope. 


*Ditulis di SQ pada ketinggian 33,000 feet 

Saturday, March 22, 2025

BlackRock

 



Mungkin orang awam menganggap BlackRock (BR) bagian dari elite penguasa keuangan dunia. Itu ada benarnya namun pastinya tidak seratus persen benar. Mengapa ? karena BR adalah Lembaga keuangan non bank yang berbisnis mengelola asset bukan miliknya. Jadi kalau asset yang dikelolanya ( AUM) sebesar USD 11,5 trilion, itu bukan berarti dia pemilik asset. Namun yang pasti dia dapat trust dari clients nya. Ini yang mahal. Maklun dia bukan negara tetapi trust nya lintas negara.


BR hanya sebagai meneger asset dan mereka dapat fee atas jasa itu.  Siapa yang bayar fee itu? Ya para clients seperti Dana Pensiun, Bank central, SWF, High-net-worth individual (HNWI) dan lain lain. Artinya kalau kinerja AUM nya buruk tentu dia akan ditinggalkan oleh Clients-nya. Apalagi kalau terlibat skandal korupsi seperti PLN atau Pertamina. Udah pasti tamat dia.


Secara bisnis, BR bukan bisnis yang high profit. Maklum dia hidup dari fee saja. Dan saham BR juga bukan pilihan yang bagus. Karena tahun 2024 saja dia membayar bonus kepada Direksi sebesar USD 800 juta. Jadi lebih mengutamakan personal para pengelola daripada pemegang saham. Makanya ada wacana akan diakusisi oleh JP Morgan. Namun rencana itu hanya jadi wacana. Karena terhalang oleh UU anti monopoli dari FTC ( federal Trade Committee ).


Bagaimana BR bisa begitu raksasa AUM nya? Padahal berdiri baru beberapa decade yaitu tahun 1988. Jawabnya, karena pemegang saham BR memang pemain lama dalam dunia keuangan. Siapa saja? Pemegang saham terbesar adalah Vanguard. Kemudian berikutnya adalah Blackrock Inc, State Street, Bank of America dan Temasek. Tentu ada pemegang saham personal seperti Susan Wagner, Laurence Fink, Robert Kapito. Richard Kushel, Murry Gerber. Mereka semua pendiri BR.


BR punya platform investasi yang terhubung dengan ribuan saham di bursa efek utama. Kalau anda berniat berinvestasi pada platform trading BR,  Anda bisa membuka akun ETF ( exchange trade fund). ETF merupakan mutual fund  berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang unit penyertaannya diperdagangkan di Bursa. Ada dua jenis ETF. Satu bersifat terbuka yang berbasis index. Satu lagi ETF bersifat tertutup. 


Kalau ETF bersifat terbuka, investor bisa flexible dalam berivestasi. Tidak semua investor berivestasi denga uang cash. Mereka hanya ada kumpulan asset berupa saham dan obligasi yang ditempatkan di bank custodian. Nah ETF-BR punya fasilitas untuk mengakses duit lewat Short selling dan Repo. Sehingga investor tidak perlu jual asset untuk berinvestasi dalam perdagangan berjangka. Kalau ETF bersifat tertutup tidak berbasis index. Itu pure dealing di market lewat meneger investasi. 


Kalau anda punya skill trading, keberadaan BR ETF memungkinkan wahana terbuka lebar dan lintas batas. Data riset mereka juga hebat terupdate real time. Sehingga bisa cepat membaca perubahan market dengan benar. Engga sulit dapat cuan. Makanya hampir semua orang kaya yang punya kelebihan uang berinvestasi pada ETF BR. Dan wajar kalau total AUM BlackRock mencapai lebih USD 10 trilion  yang nilainya 10 kali dari PDB Indonesia. Bahkan lebih besar dari PDB seluruh negara ASEAN.


Nah karena BR mengelola asset dari investor institusi dan individu berkelas dunia. Itu semua clients nya.  Tidak sulit bagi BR untuk mendukung pendanaan proyek yang punya bisnis model yang strong. Lewat SPV mereka create product investasi semacam thematic bond untuk pembiayaan pada proyek yang punya value strategis, seperti renewal energi, media dan video stream, energi, IT, mining, logistic dan food. Produk investasi BR ini diperjual belikan lewat ETF dalam kemasaran hedge fund. Sementara pendanaan pada perusahaan start up  lewat skema Convertible bond dari  unit bisnis Venture Capital BR. 


Mengapa saya ceritakan soal BlackRock ini? Itu sebagai wawasan bagaimana asset menegement holding company mengelola bisnisnya. Kekuatan mereka ada pada SDM yang professional. Kekuatan riset dalam menentukan keputusan investasi. Punya standar tinggi terhadap etika moral. Dan menolak nepotisme, apalagi bersinggung dengan politik. Jadi credit rating atau trust ada pada standar itu. Nah apakah Danantara bisa seperti BR? 


Kenaikan tarif Trumps ?

  Kebijakan yang dipaksakan. Kalau anda mempelajari tekhnik diplomasi dalam bahasa yang terstruktur dan bersepktrum jauh ke depan, maka anda...