Darurat sipil?
Tadi saya sempat ngobrol lewat WA dengan teman aktifis. Dia katakan bahwa sepertinya pemerintah Pusat sengaja membiarkan Daerah menghadapi sendiri Wabah C-19. Memang efisien tetapi jelas tidak ada kemanusiaan.
Saya katakan “ sebelum kita menyimpulkan apa yang kita lihat, ada baiknya kita ketahui duduk persoalannya. Peran pemda dalam UU 24/2007 tentang bencana nasional, itu jelas sekali dalam pasal 8 dan 9. Dalam pasal 8 pemerintah daerah harus mengalokasi pos bencana dalam APBD nya. Atau disebut dana siaga. Semua Pemda punya pos anggaran itu. Kalau kurang, PEMDA diberi hak melakukan realokasi anggaran untuk focus kepada bencana. Jadi itu bukan Pusat menyerahkan kepada Daerah, tetapi amanah UU memang begitu.”
Tapi kan engga cukup” katanya cepat. Saya katakan. Jangan terlalu cepat menyimpulkan soal anggaran. Dalam hal C-19 persoalan yang harus segera dilakukan dan bisa langsung inisiatif pemda tanpa perlu izi dari pusat adalah pengadaan rapid test, masker , APD, dan ventilator. Contoh untuk DKI anggarannya tidak sampai senilai anggaran lem aibon. Rapid test. Harga impor engga mahal. Hanya USD 3,5 per unit. Kalau Pemda impor katakanlah 500.000 kit. Itu hanya USD 1,75 juta atau Rp. 20 miliar. Masker. Harga impor USD 0,10. Kalau beli 10 juta unit untuk penduduk DKI , itu baru Rp. 18 miliar. Bagikan gratis kepada seluruh warga.
Kemudian beli APD untuk RS. Harga APD pun tidak mahal. Hanya Rp. 50.000. Kalau untuk kebutuhan RS Daerah 10.000 lembar cukup, anggarannya sebesar Rp. 500 juta. Ventilator harganya cukup mahal, sekitar Rp 100 juta/unit. Kalau ditambah 100 unit dengan asumsi pasien RS Daerah yang butuh ditangani dengan ventilator sebanyak 100, itu baru Rp. 10 miliar. Total kebutuhan hanya kurang lebih Rp 48,5 M. Dana itu engga perlu dari pusat, dan engga perlu realokasi APBD. Dana siaga sudah tersedia pada setiap Pemda.
Jadi, menurutnya, kalau dari awal katakanlah pada bulan januari Pemda sudah melakukan rapid test, tentu sudah diketahui data pasti berapa tingkat penyebaran C-19. Dengan data itu bisa dibuat rencana jelas. Sebelum kebijakan Social distancing, pemda bisa bagikan masker gratis, APD dan ventilator. Itu baru kerja dan itu engga perlu ongkos mahal. Engga perlu sampai korbankan anggaran infrastruktur apalagi batalkan ibukota baru” Katanya menyimpulkan. Saya membenarkan. Saya teringat cerita teman lain, rapid test dari sumbangan saja banyak di gudang. Belum dimanfaatkan oleh Pemda. Bahkan hanya untuk distribusikan APD saja , pemda masih lelet. Tetapi kalau bicara pecintraan kencang sekali. Jadi ini lebih kepada mental mantiko dari pejabat pemda.
Bagimana wacana lockdown? tanyanya. Saya katakan, kalau lockdown, kita mengacu kepada UU Karantina kesehatan. Kalau itu diterapkan ongkos akan jadi sangat mahal. Karena mengharuskan pemerintah menanggung biaya kehidupan orang selama dikarantina. Belum lagi dampak ekonomi bagi mereka pekerja informal yang kehilangan pendapatan.Tidak termasuk sumber daya yang dilibatkan besar sekali, dan ini tidak akan efektif bila penegakan hukum lemah. Jadi UU Karantina tidak cukup efektif. Kecuali dipadukan dengan UU darurat sipil, yang memungkinkan komando satu tangan langsung di bawah presiden selaku panglima tertinggi. Dengan dibantu oleh pemda tentunya.
Tetapi dengan UU darurat sipil, praktis kekuasaan otonomi jadi tidak ada. Pemda akan jadi macan ompong. Apa engga menimbulkan masalah politik? Katanya.
“ Loh itu kalau situasi terburuk terjadi, kalau UU otonomi tidak cukup efektif menghadapi pandemi nasional. Ya darurat sipil dialakukan dalam rangka melaksanakan UU Karantina kesehatan dan UU bencana alam.”
“ Jadi sebenarnya , tanggung jawab pusat itu apa?
“ Kalau tanggung jawab financial yang berkaitan dengan pencegahan penanggulangan, otonomi daerah sudah lebih cukup untuk selesaikan. Kalau anggaran pemda kurang, mereka diberi hak oleh presiden untuk realokasi APBD. Masih kurang juga?, Pusat punya dana siaga Rp. 4 triliiun di APBN yang bisa dipakai. Apalagi? Pusat hanya koordinasi saja. Tapi kalau menyangkut dampak ekonomi nasional dari adanya C-19, nah itu tanggung jawab pusat.”
“ Paham saya sekarang. Enaknya ngobrol dengan kamu, semua mudah dipahami dan keliatan kamu tidak berpolitk. Rasional sekali. Sebetulnya tidak rumit. Masalahnya sederhana kalau masalah C-19 ini tidak di bawa ke ranah politik dan hanya focus sesuai dengan amanah UU. “ katanya. Kami sudahi telp itu.
Realokasi APBD untuk Corona
Saya perhatikan selama ini Abas sangat atraktif melakukan sosialisasi virus corona tetapi miskin tindakan yang efektif secara langsung bisa dirasakan untuk mengatasi penyebaran corona. Mengapa saya katakan tanpa tindakan efektif ? karena sampai sekarang Abas telah membuat kebijakan begitu banyak untuk mengatasi penyebaran virus corona seperti perintah gubernur melakukan sosial distancing. Bahkan ada wacana mau lakukan lockdown. Tapi itu hanya omongan doang. Mengapa?
Sampai sekarang Abas belum melaksanakan realokasi APBD. Sesuai arahan Presiden, pemerintah daerah dalam hal ini gubernur dan DPRD wajib membahas relokasi anggaran yang mengutamakan pencegahan COVID-19. DKI hanya menggunakan biaya tidak terduga (BTT) dalam APBD 2020 senilai Rp 183 miliar untuk penanganan Corona. Namun dana tersebut dirasa masih kurang dan perlu pengalihan dari alokasi anggaran untuk penanganan Corona. Apalagi DKI menerapkan social distancing secara ekstrim. Menutup semua tempat keramaian dan wisata.
DKI punya anggaran sebesar Rp 87,95 Triliun. Sesuai perintah Presiden agar APBD itu di realokasi untuk COVID 19. Kalaulah anggaran non prioritas bisa dialokasikan untuk COVID-19, itu sedikitnya bisa mencapai 10% dari APBD atau Rp. 8,7 triliun. Itu besar sekali untuk memerangi COVID 19. Dengan begitu DKI punya uang untuk melakukan aksi nyata memerangi COVID-19. Punya uang beli sendiri masker dan bagikan gratis kepada Rakyat yang diwajibkan social distancing. Bagikan APD kepada paramedis dengan cepat. Beli alat rapid test agar bisa segera dilakukan test massal. Memberi BLT kepada mereka terkena dampak ekonomi akibat social distancing. Yang ada sekarang DKI hanya jadi distribusi dari hasil sumbangan publik dan anggaran BPBN.
Apapun kebijakan tanpa uang , itu hanya omong kosong. Padahal uang ada. Tetapi mengapa lambat sekali PEMDA melakukan realokasi APBD? Ini berkaitan dengan proyek yang sudah terlanjur dijanjikan kepada rekanan dan para stakeholder. Kalau terjadi realokasi, pasti banyak proyek batal atau tertunda. Padahal sebentar lagi mau PILKADA serentak. Semua partai butuh uang untuk jadi pemenang menempatkan kadernya jadi raja kecil di Daerah.
Dengan belum adanya realokasi APBD apakah bisa dikatakan PEMDA serius memerangi COVID-19? Apakah sesuai dengan omongannya: engga penting Ekonomi, utamakan kemanusiaan. Saran saya, udahan wacana yang engga jelas. Segera rapat DPRD dan GUBERNUR/Walikota/Bupati. Hapus semua anggaran non prioritas dan alihkan ke COVID1-19. Lakukan segera.! Kalau engga mau, sebaiknya DIAM!
UU Karantina (Lockdown ).
Selama ini kita sering mendengar istilah lockdown. Yang dimaksud lockdown itu adalah menutup pintu keluar masuk wilayah, dan melarang orang keluar dari rumah tanpa izin dari pemerintah. Dalam UU yang dimaksud dengan lockdown itu adalah karantina wilayah atau nasional. Mari kita bahas UU karantina itu.
Yang dimaksud dengan UU itu adalah UU Karantina Kesehatan No 6/2018. Apa jadinya kalau Pemerintah menerapkan karantina ? Contoh karantina diberlakukan di Jakarta. Maka pemda DKI harus memperlakukan sama kepada setiap orang ( pasal 7). Tidak ada kaya atau miskin. Apa perlakuan itu? Pasal 8, hak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama Karantina.
Kemudian apakah segampang itu PEMDA menetapkan lockdown? Perhatikan Pasal 10 ( Bab IV). Sebelum menetapkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, Pemerintah Pusat terlebih dahulu menetapkan jenis penyakit dan faktor risiko yang dapat menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Ukuran faktor resiko ini tidak bisa berdasarkan persepsi, feeling, rumor dan kepanikan. Tetapi atas dasar data yang akurat sehingga memastikan tingkat resiko yang ada. Masalahnya apakah PEMDA sudah melakukan Test secara massal? Berapa tingkat orang terinpeksi, suspek yang jadi patokan?. Seratus, seribu atau berapa? kan engga bisa hanya 1 atau 5 orang lantas mengumumkan karantina.
Lantas apa benar pemerintah harus melaksanakan Karantina itu? Pada pasal 11 disebutkan, harus mempertimbangkan kedaulatan negara, keamanan, ekonomi, sosial, dan budaya. Jadi kalau karantina itu seperti pasal 7, 8, jelas tidak bisa diterapkan karantina. Mengapa ? Apakah sudah dipikirkan dampak logistik kalau sampai menutup pintu masuk atau keluar wilayah. Kalau karantina dilakukan secara ektrim, orang dipaksa tinggal di rumah. Melanggar berarti pidana. Maka apakah ada anggaran untuk itu kasih makan semua orang? Apakah siap peralatan medis dan RS untuk itu? Bagaimana dampaknya kalau anggaran tidak tersedia sementara karantina dilakukan? pasti Chaos. Pasal 11 jelas jadi dasar mengapa pemerintah tidak menempatkan lockdown sabagai opsi pertama.
Bagaimana dengan anggaran? pada pasal 6, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap ketersediaan sumber daya yang diperlukan dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan. Jokowi sudah instruksikan PEMDA bersama DPRD melakukan realokasi APBD untuk anggaran penanggulangan Virus Corona. Apakah sudah ada PEMDA dan DPRD melakukan realokasi APBD? sampai sekarang menurut catatan saya belum ada realokasi APBD. BIsa ditebak. Anggaran yang ada itu sudah ada jatah proyek, dan anggota DPRD dan PEMDA udah kadung janji sama rekanan. Itu soal fee.
Jokowi sudah siapkan PERPPU untuk recovery Bond dalam rangka penyediaan anggaran corona, tetapi tetap butuh DPR. Apakah akan disetujui DPR? Belum tahu. Mengapa? Keliatannya kalau soal duit, DPR dan DPRD ogah ada perubahan alokasi. Susah banget. Apalagi dana stimulus ini akan menguntungkan Jokowi dan PDIP secara politk, maklum itu termasuk anggaran BLT.
Jadi anda bisa nilai sendiri. Mengapa terjadi keterlambatan proses penanganan Corona ini?. Semua elite politik dan kepala Daerah adu jago ngomong soal kepedulian kepada rakyat, adu cepat mau lockdown, tetapi kalau soal duit, semua mingkem. Mengapa? mereka tahu dan sangat paham bahwa lockdown bukan opsi yang dipilih tetapi sosial distancing dan physical distancing. Namun lockdown itu jadi istilah seksi agar mereka dianggap peduli kepada rakyat dan itu perlu menjelang PILKADA serentak sebentar lagi.
Tanya jawab sosial media
“ Babo, [Awal Januari 2020] Anies udah ngawasin orang sejak awal. Anies satu2nya pejabat yang concern banget sama Corona pada saat itu sampe dikritik sama lawan politiknya dengan alasan bikin takut. sampe buzzer kubu pemerintah ngehujat abis anies baswedan
“ Apa yang disampaikan Anies itu tanpa data dan fakta. Seharusnya ada data analis secara konprehensinve terhadap penyebaran Virus Corona itu. Dia libatkan Dinas kesehatan untuk melakukan test sampling pada setiap orang datang dari luar negeri untuk mengetahui sejauhmana kecurigaan penyebaran itu. Nah data itulah yang dipakai untuk disampaikan kepada publik dan DPRD, maupun pusat. Mengapa itu tidak dilakukan? Mengapa cuma omong doang? Mau cari panggung?
“ Pemerintah itu kerja bukan berdasarkan rumor dan feeling tetapi fakta. Memang saat itu tidak ada laporan dari RS ada kasus corona.
“ Jangan lupa meme-meme buzzer kubu pemerintah Permadi arya (Abu Janda) yang giring opini "Orang "indonesia kebal corona karena imunnya beda sama orang luar negeri, cukup minum tolak angin lah, dikerokin lah, indonesia ga takut corona lah dll". (https://twitter.com/permadiakt.../status/1234692301932224514 ).
“ Dampak kepanikan berlebihan jauh lebih buruk dari corona itu sendiri. Karena bisa berimplikasi kepada menurunnya daya tahan tubuh dan chaos sosial. Mereka berusaha membantu agar tidak ada kepanikan berlebihan.”
“ Kamu harus tahu. Untuk menutup Bandara tidak bisa atas dasar rumor dan feeling saja. Harus ada data faktual sebagai dasar penutupan bandara. Mengapa? Bandara itu berhubungan langsung dengan international dan banyak stakeholder terkait dengan bandara. Kalau ditutup tanpa data yang akurat maka pemerintah bisa dituntut secara international. Penutupan bandara untuk turis China saja, itu dilakukan lewat politik tingkat tinggi antara Jokowi dan Xijinping. Nah setelah ada fakta confirmed Corona, barulah kita punya dasar hukum untuk menutup bandara secara resmi bukan hanya china tetapi beberapa negara.
“ [Awal Maret 2020] Anies ngasih data Orang dalam pengawasan dan pasien dalam pengawasan ke masyarakat supaya aware sama corona, dibantah sama Kemenkes, (https://www.wartaekonomi.co.id/.../terawan-bungkam-mulut... ). Alasan Pemerintah pusat simpel "JANGAN BIKIN KEPANIKAN", padahal transparansi data itu perlu. Bahkan sampe saat itu Pemerintah pusat belom ngeluarin istilah2 "social distancing" seperti yang dikampanyekan saat ini. Pemerintah pusat masih sibuk bantah sana sini. nih salah satunya yang greget. (https://republika.co.id/.../kelakar-menhub-kita-kebal... ).
“ Data yang disampaikan Anies itu semua sudah di Check. Menurut Terawan, semua pemeriksaan terhadap pasien yang diduga terinfeksi virus novel corona (Covid-19) menunjukkan hasil negatif.”
“ [2 Maret 2020] Tepat 2 Hari setelah anies dibantah sama terawan (menkes), presiden jokowi umumin 2 orang positif corona dimana 2 orang itu udah jadi pasien dalam pengawasan anies dan pemprov. Baru lah mulai tuh kalian (TELAT) teriak "social distancing" dimana penyebaran udah jelas2 dari bulan februari berdasarkan data pnemonia pemprov. Artinya secara tuh Orang Jepang yang positif corona udah masuk ke Indonesia dan ga tau dia kemana aja selain ke pesta dansa itu (yg nularin pasien 01 dan 02).”
“ Apakah data dua orang yang terinfeksi itu termasuk dalam data yang diberikan Anies ?kan engga. Fakta dua orang itu bukan data yang diberikan anies. Tetapi data yang tidak terjangkau oleh Anies. Kalaulah dari awal anies memberikan data dengan serius dan benar, tentu boleh dikatakan anies kerja benar. Engga bisa koinsiden jadikan pembenaran ramalan.”
“ Bayangin kalo tuh virus ga kedetect dan udah nyebar dari pertengahan bulan Februari, tapi belum ada gejala (secara alat deteksi corona di indonesia belom ada, cuma pake thermal scaner), sedangkan pada saat itu bisa aja virus masuk lewat KRL, TJ, atau angkutan umum lainnya, ya mau gimanapun pasti itu udah nyebar di jakarta, apalagi KRL itu dilewati 3 kota (jakarta-depok-bogor).
“ Engga perlu dibayangin. Karena data membuktikan memang sejak februari tidak ada confirmed corona.”
“ Jadi jelas dari awal pemerintah pusat itu ga jelas dalam penanganan corona terus sekarang dimata netizen yg dulu teriak2 "indo kebal corona" pemerintah pusat dianggap hero. Bos, hero tuh tenaga medis, dokter dll. Mereka yang layak kalian Apresiasi. Bukan pemerintah pusat. Dokter aja banyak yang berselisih pendapat sama pemerintah pusat kok, jangan lo anggep mereka sejalan, coba nonton ILC corona (https://www.youtube.com/watch?v=t6eugsqoJlk ). “
“ Virus Corona itu tidak menyebar lewat airbone, khususnya daerah tropik. Itu valid dari ahli virulogi. Penyebaran yang terjadi bukan dari udara tetapi dari orang ke orang yang dalam kondisi closer to closer. Makanya kita tidak memilih opsi lockdown ekrim seperti di Wuhan tetapi social distancing. Dan lagi tidak ada satupun negara yang siap menangani corona seperti China lakukan.”
"Terus sekarang kita beratu lawan corona, jangan pecah2, gausah saling menyalahkan", halah bahasa lu kaya buzzer udah kalah argumen, kaya politikus lagi pencitraan di media, kata2 gini tuh harusnya keluar dari januari, MENCEGAH LEBIH BAIK DARIPADA MENGOBATI, meskipun gabisa dicegah ya at least dari awal kalo ada yang ngingetin JANGAN NGEBANTAH bos, kerjaan pemerintah diawal kan ngebantah2 doang, mungkin karena takut investor kabur, padahal investor itu ngeliat dari bagaimana negara serius nanganin masalah (https://tirto.id/dana-rp72-miliar-buat-influencer-redam... ).
“ Selagi belum ada dana realokasi APBD untuk covid 19, itu sama saja bohong alis omong doang. Sebaiknya diam saja. Jadi engga ada polemik.”
“ Pencegahan lewat penutupan akses keluar masuk itu harus sesuai dengan UU karatina. Apakah pemda sudah alokasikan anggaran untuk lockdown wilayah? Sampai sekarang belum PEMDA yang mau realokasi anggaran untuk covid 19.”
“ Gw nulis ini karena ada beberapa pihak yang ingin cuci tangan melalui buzzer2 dan meme2 yang bilang "pemerintah cape2 ngasih aturan, rakyat susah dibilangin", coy pemerintah pusat ae ngebanyol dari awal, jadi 22nya salah. (Rakyat yang mudik karena kurang informasi dan edukasi dan Pemerintah pusat yang jelas2 dan sangat jelas telat dan banyak ngebanyol dari awal ga ada kebijakan yang jelas). Inget bos, pemerintah itu ngelola pajak, pajak yang kita bayar setiap hari lewat PPN, setiap tahun lewat PPh, dll. Mereka kalo ga becus ngelola ya jangan ngejabat. "yaudah lu aja sana jadi pemerintah, kaya bisa aja lu", gw ga bisa tapi kalo di kritik sama ahli2 yang diluar pemerintahan itu di dengerin jangan Denial mulu. Terutama lewat 2 congor istana si ngabalin dan fajroel rahman. (https://www.tribunnews.com/.../indonesia-bersih-dari... ), Jadi stop cuciin tangan pemerintah pusat dengan ngolok2 warga yg mudik karena kurang informasi dan edukasi karena dari awal pemerintah pusat sendiri nyepelein.
“ Sudah dibilang bahwa penyebaran virus di indonesia itu dari orang ke orang bukan dari udara ( airbone). Jadi pelarangan mudik itu yang bisa menimbulkan keramaian berpotensi terjadi penyebaran virus.
“ Terakhir, kalo emang ga mau ada mudik kenapa transportasi masih open buat warga ? buat apa tuh kemenhub punya otoritas ? mungkin warga mikir "toh terminal aja masih buka ya artinya boleh mudik". Pemerintah pusat tuh punya otoritas lewat kebijakan yang kemudian jadi HUKUM, mau lewat Permen atau Perpu terserah asal jelas ngurangin mobilitas. kalo kata bang Haris Azhar, pemerintah ikut2an teriak himbauan doang mah ga guna karena itu tugasnya dokter2 + influencer bos, bukan pemerintah.”
“ Tidak ada larangan kendaraan keluar masuk karena kita belum menerapkan UU Karantina kesehatan. Yang ada adalah social distancing. Kalau terminal ramai, maka polisi wajib bubarkan. Nah tinggal kalau mau mudik, bisa engga angkutan melakukan operasi tanpa ada keramaian. Itu tugas PEMDA memikirkan. Artinya bukan angkutan dikurangi tetapi justru ditambah agar tidak berdesakan dan jarak antar penumpang tetap sesuai dengan aturan social distancing.”
Essay corona