Tuesday, April 15, 2025

Sistem ekonomi China dan AS.

 






Apakah bisa jelaskan system ekonomi di China dan AS, tanya Ira dalam diskusi dengan dia di kantornya. Saat itu dia memang mengundang team riset geopolitk dan geostrategis. Dia ingin tahu sudut pandang saya sebagai praktisi. Saya lebih suka menyampaikan analog untuk menggambarkan bagaimana praktek ekonomi diterapkan. Itu lebih mudah dipahami. Karena memang saya tidak terpelajar. Tidak punya narasi akademis cukup.


Ada developer datang ke Pemda China, kata saya mengawali dengan analogi. Developer ini bisa saja swasta atau BUMN. Mereka punya idea mau bangun Kawasan perumahan dan perkantoran. Luasnya 100 hektar.  Skema bisnisnya sederhana. Karena Tanah di China dimiliki oleh negara, Pemda beri izin beserta dengan pemberian hak konsesi atas tanah. 


Dari sini terjadi deal. Pemda punya tanah dan investor punya modal.  Struktur saham ditentukan secara proporsional berdasarkan nilai investasi. Kemudian, pembangunan dilaksanakan. Setelah proyek jadi, Pemda mengeluarkan surat utang berdasarkan saham yang mereka punya pada proyek itu. Surat utang  atau bond disebut Local Government Vehicle fund atau LGVF. Bond ini dijual di pasar sekunder. 


Perhatikan unique nya struktur LGVF. Penerbitnya bukan PEMDA tapi vehicle company. Mengapa?. Karena Surat utang itu sama dengan SUKUK atau syariah. Bukan tanah yang jadi jaminan. Tapi saham yang melekat dalam konsesi bisnis yang diberikan pada proyek itu. Tidak berbunga. Kuponnya dari deviden yang diterima. Jadi sebenarnya LGVF itu dalam system Wallstreet disebut dengan revenue bond. 


Dalam perkembanganya, tentu bisnis proyek itu punya nilai di pasar. Ya namanya property, harga per meter mengikuti demand. Kalau demand tinggi, harga naik. Tentu dampaknya harga bond LGVF itu naik di market. Katakanlah awalnya harga perlembar 1 Yuan. Bisa saja naik 3 Yuan atau 3 kali lipat. Agar harga tidak bubble akibat kenaikan permintaan LGVF. Maklum rakyat China suka berinvestasi pada LCVF karena bebas pajak pendapatan. Pemda tambah pasokan LGVF ke pasar. 


Itu jadi  alat likuiditas bagi Pemda melakukan ekspansi. Uang hasil penjualan LGVF itu digunakan PEMDA untuk bangun infrastruktur dan kredit kepada UKM untuk pembiayaan pendirian  pabrik, kegiatan usaha dagang dan jasa. Artinya peningkatan value dari LGVF itu tidak di keep tapi di leverage untuk pertumbuhan ekonomi local. Apa yang terjadi ? Secara tidak langsung LGVF adalah alat bagi China memotivasi  orang kaya bergotong royong membiayai program pembangunan bagi semua.


Kalau ternyata nilai LGVF diatas 3 kali dari PDB. China tidak ambil pusing.  Itu bukan harga real. Tetapi harga persepsi market.  Kalau terjadi default karena ekonomi down. Pemerintah pusat tinggal bailout lewat buyback. LGVF dikuasai pemerintah. Orang kaya memang dirugikan tapi orang miskin sudah  tertolong dari terbangungnya proyek. Biasanya setelah  proses recovery, dan ekonom pulih, pemerintah akan lempar lagi LGVF itu ke market. Nah orang kaya dapat hak memesan lebih dulu LGVF itu. Mereka bisa tutupi kerugiannya, kata saya. Mereka menyimak. 


Nah bagaimana dengan AS ? Kalau di AS, Pemodal swasta membeli tanah dan membungkusnya dalam proyek feasibility studi yang dilengkapi izin dari pemerintah. Kemudian mereka menerbitkan surat utang atau melepas saham di bursa. Contoh, mereka akuisisi emiten di bursa yang sudah tidak aktif lagi. Kemudian mereka cemplungkan proyek itu kedalam Emiten itu untuk lakukan aksi korporasi atau right issue dengan menjual saham di bursa. Tentu dengan harga berlipat berdasarkan prospectus bisnis.


Uang dari penjualan saham itu dipakai untuk bangun proyek dan setelah proyek jadi, marcap terbentuk. Mereka terbitkan lagi surat utang untuk ekspansi, yang kelak akan meningkatkan nilai saham semakin berlipat. Nah value dari saham itu dinikmati oleh pemegang saham. Atau mereka yang disebut dengan pemodal. Semakin berlipat value saham itu pemegang saham semakin kaya. Nah akibat dari adanya excess liquidity, menimbulkan moral hazard. Orang banyak focus kepada money make money. Mereka punya prinsip lets money working for us. Bukan lets hard working for  money.


Makanya engga aneh. Berlalunya waktu sector real yang low tech tapi padat karya ditinggalkan pemodal. Ah daripada capek urus buruh dan pasar, mending main di pasar modal dan uang. Kita bisa menikmati hidup dengan financial freedom. Mau gimana lagi? Hidup hanya sekali. Nikmati selagi bisa. Itu mindset kapitalisme. Kita semua paham moral hazard dari kapitalisme.


Terdengar lucu kalau Trump kesal, kita kaya tetapi semua barang di dalam negeri dibuat di China dan Jepang. Ya wajar. Orang kaya mana mungkin mua leverage value asset itu seperti pemda di China untuk bantu UKM dan pengembangan ekonomi rakyat berbasis produksi. Mereka mending tempatkan uangnya di bank dan bank belikan SBN. demikian kata saya.


Mereka saling pandang. Kalau AS kan jelas referensi ekonomi nya adalah monetarist sebagaimana teori Milton Friedman yang mengkoreksi Keynessian. Jelas menimbulkan bubble asset dan ketidak seimbangan antara fiscal dan moneter. Pertumbuhan utang lebih besar daripada penerimaan pajak. Kalau China apa referensinya ? tanya Ira.


Di China ada Nabi yang jadi panutan mereka, yaitu Kong Fu Tze, yang juga dikenal sebagai Konghucu atau Konfusius. Prinsipnya sama dengan ajaran agama samawi. Percaya kepada  Tuhan Yang Maha Esa. Bahwa ajaran agama melarang hutang publik berbunga kecuali private to private atas dasar akad suka sama suka. Melarang memperdagankan apapun tanpa phisik. 


Perhatikan. LGVF itu backup nya adalah proyek. Bisa dllihat oleh siapapun proyek tersebut. Tidak berbunga tapi bagi hasil. Kalaupun diperdagangkan di pasar, harga jualnya mengikuti harga real dari proyek itu yang berlaku di pasar. Kan beda dengan konsep saham di bursa. Nilai saham tidak ada korelasinya dengan tingkat price earning ratio atau PER. Itu dalam agama disebut riba atau dosa. Memperdagangkan yang tidak ada korelasinya dengan nilai phisik. Orang China paham, sesuatu yang berlebihan menimbulkan karma buruk, demikian saya menjelaskan.


Tapi China kan juga ada pasar modal. Bagaimana Pasar modal beroperasi? Apakah sama bebasnya dengan Wallstreet. ? tanya Ira. Saya jelaskan, di China,  sebagaimana masyarakat modern tentu ada system pasar modal. Bahkan pasar modal berkembang pesat. Termasuk pasar modal terbesar di dunia. Namun Marcap jauh lebih kecil dari AS. Contoh Shanghai Stock Exchange (SSE),Shenzhen Stock Exchange (SZSE ) dan Hong Kong Stock Exchange, total marcap nya hanya sebesar USD 14 trilion ( data tahun 2023). Sementara AS, Marcap Wallstreet dan Nasdaq mencapai USD 49 trilion. Artinya tiga kali lebih dari China.


Mengapa ? karena aturan dari pemerintah China yang sangat ketat. Menghindari terjadinya bubble asset. Contoh, gagalnya Ant Group IPO di Bursa Shanghai. Padahal nama besar Jack Ma dan Alibaba mendunia. Itu karena dibalik Ant Group ada investor asing sebagai standby buyer. China membatasi investor asing di pasar modal. Akibatnya investor istitusi yang terhubung dengan pengelola Hedge fund asing engga bisa masuk.


Otomatis penguasaan saham oleh  investor institusi di bursa sangat terbatas. Tidak lebih 1%. Sisanya atau 99% dikuasai oleh investor retail. Sebagian motive mereka berinvestasi di bursa karena alasan berjudi dan sebagian lagi karena investasi. Maklum, orang China itu suka berjudi. Makanya   pemerintah awasi ketat praktek short selling dan instrument derivative yang sifatnya cenderung spekulatif. Kawatir skala judi jadi massive dan membesar.


Kalau anda main di bursa Shanghai atau Shenzhen. Jangan kaget bila pada umumnya investor retail engga mempan dengan rumor. Mereka rasional sekali. Pasar jatuh atau naik disikapi biasa saja. Engga ada tuh anggota DPR datang ke Bursa kalau terjadi crash. Engga dipolitisir. Pasar ya pasar.


Disamping itu, pengusaha China memang tidak begitu tertarik mengandalkan pembiayaan dari pasar modal. Umumnya mereka menggunakan saluran perbankan dan Lembaga keuangan seperti venture capital. Mungkin anda tidak percaya. 90% surat utang di China itu berbasis SUKUK, seperti  LGVF  dan sangat diminati investor retail. Tentu basisnya produksi real. Bukan ilusi yang bersifat bubble.


Di dalam negeri china tidak ada pasar Valas. Karena uang tidak dianggap komoditas. Kurs Yuan ditentukan negara. Namun China juga menyediakan pasar RMB lewat offshore tapi sifatnya terbatas. Sehingga China bisa intervensi transaksi dengan mudah kalau ada pihak trader mau permainkan kurs RMB. Artinya, China itu walau terlibat dalam system keuangan global secara modern namun mereka tidak pernah beranjak dari budaya dan agama.


Rasio GINI di AS sangat timpang. Di China juga sama, kata Ira. Saya jelaskan. Tetapi 1% yang menguasai  sumber daya adalah negara (BUMN). Beda dengan di AS, 1% itu adalah private. Artinya peradaban itu terbangun lewat kepemimpinan negara yang kuat dan law enforcement. Tidak bisa diserahkan semua kepada private. Distribusi pendapatan dan keadilan sosial itu hanya mungkin terjadi lewat produksi, tentu produksi berbasis sains. Anggaran R&D China terbesar ke dua di dunia.


Nah kalau AS dan negara lain yang mengikuti mahzab Milton Friedman tidak pernah sepi dari resesi, terjebak hutang, ya wajar. Karena mereka memakan buah terlarang. Itu sama saja berperang dengan Tuhan. Mana mungkin menang, kata saya. Mereka terhenyak.



No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.