12-13 Mey 1998 . Jakarta guncang, tegang, dan
suasana menakutkan. Entah dari mana datangnya gerombolan orang membakar gedung
dan mall. Api dengan asap hitam membumbung di empat wilayah jakarta. Merusak
apa saja yang di miliki etnis china. Nampaknya ini aksi balas dendam, kata
sebagian orang. Penyababnya kecemburuan sosial terhadap etnis china. Soeharto
sebagai creator dan Golkar sebagai
designer poltik ketidak adilan tetap aman aman aja tanpa seujung rambut di
ganggu rumahnya. Gerakan kaum berjuis berperut buncit. Revolusi? Mungkin itulah
yang dibayangkan para pelakunya. Entah siapa itu. Tapi, bagi saya, hari itu
yang terjadi sebuah aksi tanpa ide. Kreatornya kerusuhan di bulan mey itu
nampaknya paham betul metodelogi komunis mencapai tujuan.Ganyang ! Tapi tahukah
dia ? memang revolusi Lenin berangkat dari kesenjangan ekonomi dan sosial .
Dari situ disusun program menyeluruh. Tujuannya rebut kekuasaan, perubahan di
ciptakan. Revolusi Oktober 1917 di Rusia jadi teladan. Tapi sang kreator bulan
Mey, Gatot alias gagal total. Dia tidak secerdas lenin. ! Bahkan pantas disebut
bego. Pecundang.
Beda dengan Revolusi Prancis yang
di ledakan tanpa program apapun.Tapi, itu juga sebuah revolusi besar: dengan
itu dasar baru masyarakat diletakkan dan tak bisa diubah lagi. Perebutan
kekuasaan—sang raja dipenggal—bahkan jadi tanda zaman baru: tak ada lagi yang
kekal di takhta itu. Revolusi Prancis juga tak hanya meletus dari konflik
sosial, dan sebab itu melibatkan orang ramai. Ia sambungan cita-cita yang lahir
dari konflik sosial itu, yang dirumuskan oleh para pemikir dan disaripatikan
dalam semboyan liberté, egalité, fraternité. Tahun 1945 di Indonesia juga
sebuah ”revolusi”. Sebab sejak itu, sejak kekuasaan berpindah tangan dari
Hindia Belanda dan Jepang, Indonesia tak bisa ditarik kembali ke kerangkeng
kolonialisme. Bertahun-tahun sebelumnya, gagasan tentang sebuah bangsa
dicanangkan dan sejak 1945 bangsa itu bersedia mati untuk merdeka. Dari kancah
mereka yang bersedia mati itu Pramoedya Ananta Toer, dalam Di Tepi Kali Bekasi,
bersaksi tentang sebuah ”epos revolusi jiwa”. Revolusi: awal transformasi yang
tak dapat dibalikkan. Tapi Muso mencoba copy paste revolusi 45 dengan PKI nya. Belum sempat api besar namun telah membantai banyak ulama dan petani yang tidak sealiran. Hanya sebentar api padam oleh kekuatan TNI bersama rakyat. Gagal total.
Tahun 1966 paska G30S PKI, saya
masih kecil usia 3 tahun.Namun dari cerita paman saya ada pembantaian dengan
korban para anggota PKI atau yang dicurigai jadi pendukung. Ya, ada hal-hal
yang mengerikan dan busuk. Pelan-pelan tampak bahwa militer mengambil alih
gerak perubahan politik yang dipelopori mahasiswa ke arah sebuah rezim baru
yang antidemokrasi. Sebetulnya ada hasrat demokratisasi yang kuat di tahun 1966,
ketika para aktivis merobohkan sistem ”demokrasi terpimpin” Bung Karno. Suara
untuk mengukuhkan hak-hak asasi manusia terdengar nyaring, usaha menegakkan
kemerdekaan pers dan rule of law serius. Apa yang dicita-citakan itu kemudian
memang dikhianati. Namun yang terjadi bukan hanya kemarahan. Juga bukan hanya
rencana perubahan kekuasaan. Yang terjadi adalah gerakan untuk gagasan yang
datang dari mulut yang tercekik, perut yang tak tenang. Setelah 1966, demokrasi
memang dibalikkan jadi kediktatoran, tapi ada yang sejak itu tak dapat
dibalikkan lagi: sistem ”ekonomi terpimpin” ditinggalkan—30 tahun lebih sebelum
Cina dan Vietnam meninggalkan sistem ”ekonomi sosialis”.
Setelah 12-13 Mey tahun 1998, tak
membuat orgasme politik barisan islam mencapai klimak.Apalagi tokoh poros
tengah di jatuhkan dari kursi RI-1 dengan skandal bulog gate. Poros islam jadi
"Edi Tansil ". Peristiwa Mey itu tak punya dampak sosial yang
berlanjut. Bahkan bisa disebut, amuk hari itu hanya bagian sebuah operasi intelijen,
konspirasi elite Golkar dan militer menjatuhkan Soeharto, lengkap dengan dusta dan propagandanya—sebuah
fragmen sejarah yang kelak perlu lebih jelas diungkapkan. Tapi bahwa itu terjadi, di sebuah
Mey menunjukkan betapa mudahnya revolusi ditiru. Meskipun harus dicatat:
revolusi seperti puisi: sekali dilahirkan, ia tak bisa diulang. Amarah yang
meledakkannya dan gairah yang menyertainya tak bisa di copy paste. Tiap usaha
mengulangnya akan tampak sok-pahlawan dan absurd. Dulu 1945, 1965 memang
berhasil tapi 1948 dan Mey 1998 gagal total dan bila sekarang mau di ulang lagi itu
hanya upaya orang bego!.Keadaan telah berubah , rezim tidak bisa berdiri tanpa
pengakuan international dan kejahatan HAM akan di buru kemana saja dia sembunyi,
dan lagi orang bosan dengan revolusi. Karena pada akhirnya hanya melahirkan
para bedebah!
Di suatu malam di pusat kota
Beiing , saya meliat wanita bersama anak balitanya sedang berdagang
ubi rebus. Wanita itu duduk memagut kakinya menahan dingin menggigit di
bawah suhu 7 derajat celcius. Teman saya yang juga kader partai komunis china
berkata “Wanita itu sedang berjuang dengan keyakinannya bahwa dia tidak peduli
dengan komunisme, kapitalisme, sosialisme, agama. Dia hanya peduli kapan konsumen datang
membeli dan dia bisa hidup tanpa harus mengemis dihadapan pemerintah, dan menadahkan tangan dihadapan kaum feodal, meratapi nasip kepada Tuhan. Wanita itu menyadarkan kami bahwa keadilan sosial itu bukan hadiah tapi di perjuangkan oleh setiap orang untuk menghidupi dirinya
dan keluarganya, tanpa harus berkeluh kesah. ”