Monday, April 27, 2015

Tidak ada yang mudah...

Di zaman kini—persisnya di zaman ketika sekelompok orang berkata bila kelompoknya memimpin negeri ini maka semua akan makmur sejahtera karena Negara menjamin kebebasan setiap orang belanja dengan murah dan karena itu negara mensubsidi kebutuhan umum public. Mereka tidak paham bila kini nilai uang dan emas tergantung CDS. Tidak mau tahu bahwa Freeport sama dengan uwak Sam, cari ribut dengan mereka sama saja mati konyol. Mereka tidak mau tahu bahwa sumberdaya alam itu hanya potensi ekonomi bukan potensi financial. Tanpa keberanian menghadang resiko, dan kerja keras, potensi ekonomi tidak bernilai financial. Karena iman, pertolongan Allah akan datang. Itu semua mudah, katanya. Benar , bahwa mukjizat tak pernah datang tanpa mengecoh. Manusia punya kemampuan besar untuk membentuk khayal jadi janji—dan mempercayai janji itu setelah mengemasnya dengan ”iman” atau ”ilmu”. Di zaman ”iman”, orang percaya akan deus ex machina, dewa yang keluar tiba-tiba dari ”mesin” dan menyelamatkan manusia dari tebing jurang bencana. Tapi, untunglah, tak semua dan tak selamanya orang teperdaya. Mukjizat hanya laris ketika yang terkecoh dan yang mengecoh bersatu, ketika ada hasrat yang diam-diam mencekam, agar hari ini yang terpuruk dapat ditinggalkan dengan ”loncatan jauh ke depan”.Padahal, sejarah tak pernah terdiri atas loncatan seperti itu. Hasrat buat mendatangkan mukjizat selamanya gagal, bahkan ketika ia didukung ”iman” yang bergabung dengan ”ilmu”. Contoh yang terkenal adalah cerita Trofim Lysenko di Uni Soviet di masa kekuasaan Stalin. Pada 1927, dalam usia 29, anak petani Ukraina yang pernah belajar di Institut Pertanian Kiev ini menjanjikan mukjizat. Koran resmi Pravda (artinya ”Kebenaran”) menyebut Lysenko bisa ”mengubah padang gersang Transkaukasus jadi hijau di musim dingin, hingga ternak tak akan punah karena kurang pangan, dan petani Turki akan mampu hidup sepanjang musim salju tanpa gemetar menghadapi hari esok”.

Dengan proses yang disebutnya ”vernalisasi”, Lysenko mengklaim ia mampu membuat keajaiban itu. Partai yang berkuasa—yang selamanya ingin dengan segera dapat kabar baik—mendukungnya, dan Stalin mendekingnya. Tak seorang pakar pertanian pun yang berani membantah. Sejak 1935, Lysenko bahkan diangkat ke jabatan yang penting: memimpin Akademi Ilmu-ilmu Pertanian. Di sini ia bisa menggeser siapa saja yang tak menyetujuinya. Baru pada 1964, hampir sedasawarsa setelah Stalin mangkat, ilmuwan terkemuka Andrei Shakarov secara terbuka mengecamnya: Lysenko-lah yang bertanggung jawab atas kemunduran yang memalukan bidang biologi Uni Soviet, karena ”penyebaran pandangan pseudo-ilmiah”, bahkan penyingkiran dan pembunuhan para ilmuwan yang sejati.Kehendak untuk mukjizat acap kali berkaitan dengan hasrat untuk super-kuasa: ”iman” atau ”ilmu” seakan-akan bisa membawa seseorang ke sana. Itu sebabnya mukjizat yang mengecoh tak hanya terbatas pada kasus macam Lysenko. Ada contoh lain dari Cina. Menjelang akhir 1950-an, Mao Zedong—yang beriman kepada sosialismenya sendiri dan merasa sosialisme itu ”ilmiah”—menggerakkan rakyat di bawah kekuasaannya agar membuat ”loncatan jauh ke depan”. Mao ingin agar Cina yang ”terkebelakang” akan dengan waktu beberapa tahun jadi sebuah negeri industri yang setaraf Inggris. Caranya khas Mao: mobilisasi rakyat. Di pedesaan Cina yang luas, ribuan tanur tinggi untuk produksi baja dibangun dengan mengerahkan segala bahan yang ada. Hasilnya: baja yang tak bermutu. Sementara itu, di seantero Cina yang luas, selama dua tahun berjuta-juta petani telah dikuras tenaganya untuk itu, hingga sawah dan ladang telantar—dan kelaparan pun datang. Berapa juta manusia yang mati akibat itu, tak pernah bisa dipastikan.

Keinginan untuk mendapatkan mukjizat mungkin sebanding dengan tingkat putus asa yang menghantui mereka yang mendambakan deus ex machina. Manipulasi Lysenko terjadi ketika Uni Soviet menghadapi krisis pangan setelah ladang-ladang pertanian diambil alih negara dan panen gagal bertubi-tubi. Saya kira fantasi Mao tak bisa dipisahkan dari trauma macam yang pada 1928 dilukiskan dalam A Learner in China: A Life of Rewi Alley tentang bocah-bocah buruh perajutan sutra di Shanghai, yang berbaris panjang, berdiri selama 12 jam di depan kuali-kuali perebus kepompong yang mendidih. Anak-anak berumur sekitar sembilan tahun itu menatap lelah, sementara jari tangan mereka bengkak memerah memunguti kepompong ulat sutra yang direbus itu. Para mandor berdiri di belakang mereka dengan cambuk kawat, tak jarang mendera bocah yang salah kerja. Ada yang menangis kesakitan. Di ruangan yang penuh uap dan panas itu, ”mereka terlalu sengsara untuk bisa dilukiskan dengan kata-kata”, tulis Alley.

Kita tahu, kesengsaraan itu juga tanda ketidakadilan. Dan memang tak mudah buat bersabar di hadapan itu. Maoisme berangkat dari kehendak menghabisinya, dengan rencana yang cepat dan tepat. Tapi apa yang ”tepat” dalam sejarah yang senantiasa bergerak, berkelok, dan tak jarang jadi kabur? Baik ”iman” maupun ”ilmu” acap kali membuat hal-hal jadi terlampau mudah diselesaikan.  Tentu saja harus dicatat: Indonesia hari ini bukan Uni Soviet di masa Lysenko, bukan pula Cina di masa Mao. Di sini ”iman” dan ”ilmu” tak dibiarkan memegang monopoli. Informasi mengalir leluasa, pertanyaan dan keraguan dengan bebas dinyatakan, dan tiap pengetahuan diperlakukan hanya sampai kepada tingkat pengetahuan, bukan kebenaran. Dan di sini, bahkan kantor kepresidenan tak bisa dan tak hendak membungkam perdebatan. Jokowi tidak bicara mukjizat tapi proses kerja keras, dan dari sana dia membangun insprasi untuk orang percaya akan mujizat ..

Sunday, April 19, 2015

Islam identitas..?

Abdulkarim Soroush  ikut dalam barisan Ayatullah Khomeini dalam Revolusi Iran. Ia bahkan pernah ikut dalam dewan penasihat untuk “membersihkan” universitas dari unsur-unsur “non-Islam” sebelum lembaga pendidikan itu boleh dibuka kembali. Ia kemudian berhenti dari sana memang, namun ia bukannya seorang intelektual yang dianggap “orang luar”. Mahmoud Sadri dan Ahmad Sadri mengumpulkan karya Soroush dan menerjemahkannya dalam Reason, Freedom, and Democracy in Islam, dan menggambarkan keistimewaan pemikir ini sebagai satu kombinasi yang langka: ia punya pemahaman atas hukum Islam tradisional dan juga ia punya dasar ilmu eksakta serta sastra dan humaniora. Bukunya tentang puisi sufi Rummi dianggap sebagai salah satu yang paling berwibawa di bidang itu. Tapi dari Rummi pula ia memasuki wilayah yang berbahaya. Ia, yang pernah mengagumi Al Ghazali, akhirnya menyimpulkan bahwa ada tasawuf yang didasarkan pada rasa takut, tapi, seperti yang dibawakan oleh Al Ghazali, ada pula yang berdasarkan cinta, seperti yang dialunkan oleh Rummi. “Akhirnya saya sadar bahwa ada yang disebut agama individual, yang gurunya adalah Rummi, dan ada agama yang disebut sebagai sebuah agama kolektif yang diajarkan oleh fikih dan syariah, dan merupakan wilayah Al Ghazali,” kata Soroush dalam percakapan dengan Mahmoud Sadri dan Ahmad Sadri.

Agama kolektif itulah yang jadi kian tampak setelah Revolusi Iran—yang kemudian juga berkembang di tempat lain sebagai, dalam kata-kata Soroush, “Islam identitas”, yang berbeda dengan “Islam kebenaran”. Dalam suasana itu, suatu usaha untuk meng-ideologi-kan Islam bergelora. Di situ pulalah Ali Shari’ati, pemikir yang terkenal dari masa menjelang dan sesudah Revolusi—yang tulisannya dikagumi kalangan Islam generasi muda, juga di Indonesia—mengambil peran penting. Islam, menurut Ali Syariati, mempunyai pandangan Tauhid, yakni menuntut manusia hanya takut pada satu kekuatan, yaitu kekuatan Tuhan. selain Tuhan, yang lain hanyalah kekuatan yang tidak mutlak alias palsu. Tauhid menjamin kebebasan manusia dan memuliakan hanya semata kepada-Nya. Pandangan ini menggerakkan manusia untuk melawan segala kekuatan dominasi, belenggu, dan kenistaan manusia atas manusia. Tauhid memiliki esensi sebagai gagasan yang bekerja untuk keadilan, solidaritas, dan pembebasan. Ali Syariati mendefinisikan bahwa bila merindukan perubahan, maka dibutuhkan Raushanfikr (orang-orang yang tercerahkan), yakni individu-individu yang sadar dan bertanggung jawab  membangkitkan karunia Tuhan Yang Mulia, yaitu “kesadaran diri” masyarakat. Sebab hanya kesadaran diri yang mampu mengubah rakyat yang statis dan bobrok menjadi suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Sosialisme dalam perspektif Ali Syariati adalah paham yang berpihak pada kaum tertindas (mustadzafin) dan meluruskan perjalanan sejarah dari kekuasaan tiran menjadi kelompok tercerahkan, berpihak pada kelas bawah (proletar) bersama orang-orang yang berada di jalan Tuhan.  

Soroush tidak merasa jenak. Baginya ada satu alternatif lain, yang ia sebut sebagai “perluasan dan penyempitan tafsir”. Ia menyuarakan keniscayaan pluralitas. Baginya kebenaran dari mana pun “kompatibel”. Tak ada kebenaran yang bentrok dengan kebenaran lain. “Mereka semua penghuni dari rumah yang sama, dan bintang dari gugus yang sama.” Kita tak mungkin memiliki semua kebenaran, dan kita membutuhkan tempat lain serta orang lain untuk membantu membuka aspek yang berbeda dari kebenaran itu: “pengetahuan keagamaan secara keseluruhan adalah campuran yang benar, yang salah, yang lama, dan yang baru yang mengalir seperti di dalam sebuah sungai besar,” kata Soroush. Maka, sebagaimana direnungkan oleh Ahmad Wahib di Indonesia hampir seperemat abad sebelum dia, bagi Soroush Islam bukanlah, dan tak seharusnya jadi, sebuah ideologi—sesuatu yang diasumsikan bisa menjelaskan segala hal, membimbing segala ihwal. “Shari’ati ingin agama lebih gemuk, tapi saya ingin agama lebih ramping,” kata Soroush. Ketika ada yang berkata tentang “Islam identitas”,  bahwa ia paling benar dalilnya maka ada dua hal yang sedang dia perjuangkan, pertama adalah agama sebagai alat merebut hegemoni politik untuk meraih kekuasaan,  kedua, memperkecil nilai islam itu sendiri agar Islam sebagai rahmatanlilalamin meredub melalui kampanye perbedaan mahzab, golongan, etnis. Keduanya sengaja untuk melepaskan agama sebagai kekuatan individu,yang terikat langsung dengan sang Khalik. Makanya hak individu dalam menentukan pilihannya sangat ditentang oleh mereka.  Mereka membenci demokrasi dan segala turunan yang membela hak azasi manusia yang tidak sesuai dengan “Islam identitas”. Mereka punya visi dan misi, serta keyakinan. Bahwa merekalah yang akan menjamin kehidupan ini menjadi beres. Yang lain akan binasa dan sengsara.

Bagi saya baik  Ali Shari’ati maupun Soroush adalah hadirnya Ilmu didunia bahwa Allah disamping menurunkan Ilmu khasshah melalui Al Quran dengan perantara Rasul , Allah juga menurunkan  ilmu ‘ammah kepada manusia secara langsung yang  disebut dengan ayat-ayat kauniyah. Artinya ,apakah sesuatu yang tidak diatur dalam  Al-Quran lantas bukan berasal dari Allah? Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”. (QS al- Kahfi [18]:109). Jadi salah besar bila agama dikotak oleh harakah ‘Islam indentitas “ dan meng claim hanya dalil nya saja yang benar. Islam terlalu luas untuk hanya dimonopoli satu harakah saja. Apalagi hanya berlandaskan kepada imu khasshah dan miskin ilmu ‘ammah. Dan pemaksaan dalam agama adalah sikap yang anti Alquran (lih. al-Baqarah 256; Yunus 99). Dari Ali Shari’ati, revolusi Iran mendapatkan tempat dan mulai ada kesadaran untuk perubahan yang lebih baik, keberanian untuk bergerak dan kesadaran kelas mulai menggeliat. Butuh bertahun-tahun setelah revolusi islam Iran yang sukses menjatuhkan Syah, akhirnya di era Ahmadinejad sebagai Presiden, pemikiran Soroush mendapat tempat dalam kebijakan politik Iran dan Iran tumbuh dan kuat sebagai bangsa...

Monday, April 13, 2015

Para pembenci ...?

Minggu lalu facebook ( FB) saya kena hacker attack dengan modus laporan akun falsu.Setelah hamir 8 jam akun facebook saya hilang dari peredaran, akhirnya dapat kembali dibuka. Saya tidak terkejut atau stress ketika mengetahui saya tidak bisa lagi mengakses facebook saya. Karena saya tahu bahwa ini lambat atau cepat pasti akan terjadi. Mengapa? Karena ada banyak pihak yang tidak suka dengan cara postingan saya di facebook. Mereka menuduh  saya syiah karena saya tidak pernah mau membenci syiah. Bahkan saya terkesan membela syiah. Mereka tuduh saya  Jokowi lover karena tidak pernah membenci Jokowi. Bahkan ada yang berani bertanya secara langsung apakah saya tidak bisa menyampaikan sisi negative tentang Jokowi ? Bahkan ada yang dengan vulgar menuduh saya mengharapkan jabatan dari Jokowi. Semua itu tidak pernah saya tanggapi dengan emosi dan saya mencoba membalas comment mereka di facebook dengan prinsip ; Yang baik saya jawab dengan baik.Yang tidak ada kaitannya dengan  topic bahasan, ya saya diamkan. Yang mulai terkesan kasar atau tidak sopan maka comment nya saya hapus. Yang tetap tidak sadar comment nya saya hapus dan tetap tidak sopan maka saya block. Setiap hari saya menerima inbox dari pribadi sampai LSM yang anti Jokowi. Berbagai macam cara mereka menyampaikan pesan agar saya mengerti mereka dan ikut mereka.  Sebisa mungkin disela sela kesibukan saya,saya sempatkan membalas inbox mereka.

Di era sosmed sekarang ini , ungkapan hati orang sangat mudah tersalurkan dihadapan public. Kalau saya perhatikan postingan di FB khususnya berkaitan dengan pemerintahan Jokowi maka saya dapat simpulkan bahwa apapun kritik mereka terhadap Jokowi sebagian besar tidak didasarkan kepada data dan informasi yang benar.Kalau mereka menilai kebijakan Jokowi , mereka juga tidak paham UU dan Peraturan dibalik kebijakan itu. Sehingga mereka tidak bisa membedakan mana Jokowi sebagai Pribadi dan mana jokowi sebagai Presiden. Teman saya seorang pakar Marketing strategy pernah berkata kepada saya bahwa walau pemilu telah usai dan presiden telah terpilih namun untuk menghilangkan ketidak sukaan orang kepada Jokowi itu tidak mudah. Mengapa ? karena program brainwashing yang dilakukan Parpol melaui patron yang sangat dipercaya oleh target audience , sangat efektif menanamkan kebencian terhadap Jokowi. Para audience diracuni dengan sifat hasad atas dasar sekterian, agama, kelas bahwa Jokowi tidak pantas jadi Presiden.  Jadi memangn sifat hasad itu sangat efektif membuat orang kehilangan nalar dan hati nurani. Apa itu hasad ? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah telah melakukan pengkajian yang mendalam mengenai makna dari hasad hingga beliau menyimpulkan bahwa definisi hasad yang benar adalah merasa tidak suka dengan nikmat yang telah Allah berikan kepada orang lain. Jokowi telah mendapatkan nikmat berupa amanah dari Allah untuk memimpin negeri  ini dan yang tidak suka itu karena hasad.

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sempurna iman salah seorang kalian sampai ia mencintai untuk saudaranya segala sesuatu yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (Muttafaqun ‘alaih). Dalam hadits ini  Rasulullah menerangkan bahwa diantara bukti sempurnanya iman seseorang yaitu ia mencintai segala sesuatu yang baik untuk saudaranya sebagaimana ia mencintai kebaikan tersebut dimiliki oleh dirinya sendiri. Itulah dasar saya mengapa terkesan mendukung Jokowi. Sebetulnya bukan hanya kepada Jokowi,kepada siapapun yang punya effort dan berniat baik saya akan senang ambill bagian dari effort itu. Mengapa? saya ingin effort itu berhasil dan tak penting karena itu saya harus berkorban dan tidak mendapatkan apapun.  Makanya saya bingung bila sebagian umat islam menanamkan kebencian terhadap Jokowi. Apapun itu dijadikan dalih untuk tidak suka kepada Jokowi. Bahkan yang lebih buruk, ia berdo’a agar Jokowi jatuh. Mengapa bisa demikian? Jikalau kita menelisik lebih dalam, kita akan menemukan bahwa orang yang di dalam dirinya terdapat penyakit hasad, seakan-akan dia ingin berperan dalam menentukan takdir yang ditetapkan Allah. Dia sebetulnya berperang dengan Allah ,bukan kepada orang yang di hasad nya itu. Ini merupakan sifat yang buruk yang tanpa disadari dapat menimpa siapapun . Oleh karena itu, marilah kita jaga diri kita dari sifat yang buruk ini.

Orang yang memiliki sifat hasad akan terus merasa gerah dengan orang lain sehingga ia tidak akan pernah rela orang lain memiliki ini dan itu. Lalu ia menyebarkan propaganda-propaganda dan gosip-gosip agar orang  tersebut jatuh harga dirinya di hadapan masyarakat. Oleh karena itu, Rasulullah melarang seseorang untuk hasad kepada orang lain dikarenakan ia dapat menyebabkan hilangnya pahala kebaikan-kebaikan yang ada di dalam diri orang tersebut sebagaimana sabda beliau, “Jauhilah oleh kalian hasad karena ia akan memakan kebaikan-kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.” (HR. Abu daud). Inilah sebab terlarangnya hasad. Karena ia akan menyebabkan pahala-pahala yang telah kita dapatkan selama ini berguguran satu demi satu. Semoga para pembenci Jokowi kembali sadar kepada tuntunan Rasul dan mari bersama sama kita kritisi pemerintah Jokowi dengan smart.  Ingat bahwa Jokowi hanya bagian dari system kekuasaan di negeri ini. Tugas kita mengkritisi system yang ada agar kebaikan diutamakan, kebenaran dibela dan keadilan menang.! 

Sunday, April 05, 2015

Ubur Ubur ?

Saya posting di Wall Facebook “Ubur Ubur atau jellyfish adalah binatang yg hidup dari plankton yang ada didalam air laut. Makanya kehadiran Ubur Ubur tidak setiap waktu. Tergantung musiman ketika plankton banyak. Artinya Ubur Ubur hidup mengandalkan subsidi dari lingkungannya dan ketika ligkungan tidak lagi memberi subsidi maka dia musnah. Mengapa begitu? Karena Ubur Ubur tidak punya OTAK. Masih lebih baik udang walau otak di pantat tapi ada. Jadi, hiduplah layaknya manusia. Jangan seperti Ubur Ubur yang hanya hidup bila disubsidi.”.Gara gara postingan ini maka saya mendapatkan response positip dari public yang bisa memahami dibalik analogi itu. Tapi bagi yang gagal paham maka langsung menuduh saya  anti orang miskin, yang apalagi sebagian besar orang miskin di Indonesia adalah orang islam. Ada juga yang berargumentasi bahwa Negara majupun memberikan subsidi kepara rakyatnya. Apa salahnya subsidi.Bagaimanapun bagi mereka yang tidak paham dengan analogi saya tentang Ubur ubur penerima subsidi itu , adalah penghinaan. Seperti ungkapan “Na'udzubillah. Jikalah yang disebut ubur-ubur itu seorang muslim, celaka betul omongan Anda. Di mata Allah, kehormatan muslim itu lebih mulia dari Ka'bah sekalipun. Hebat betul Anda menyamakan seorang muslim dengan ubur-ubur. Keji sekali. Jahat sekali.”. Karena ini masalah gagal paham dan saya sampaikan di forum  public maka saya bertanggung jawab untuk meluruskan maksud saya dengan analogi tentang ubur ubur.

Ubur Ubur itu adalah mahkluk Allah. Ia tidak diberi kekuatan sebagai predator untuk mendapatkan makan. Ia juga tidak diberi otak untuk mencari makan.Tapi Allah mendesign tubuhnya mampu menyerap makanan dari lingkungan tempat dia hidup. Jadi tanpa harus berlelah mengejar mangsa untuk dapat makan atau putar otak untuk survival , cukup dengan duduk diam, plankton sebagai sumber makanan akan datang sendiri untuk dimakannya. Inilah keadilan Allah. Ubur Ubur tidak punya otak, tidak punya organ tubuh sehebat hiu namun Allah menjamin rezekinya dengan ekosistemnya. Nah, manusia bukanlah Ubur Ubur.Manusia adalah makhluk sempurna dengan organ tubuh yang lengkap. Manusia tidak di design oleh Allah untuk untuk menjadi parasit. Manusia harus mandiri dan merdeka agar sempurna. Karenanya manusia harus menggunakan panca indra dan otaknya untuk bisa makan, dan survival. 

Lantas apa masalahnya dengan SUBSIDI? Yang harus dipahami adalah subsidi itu beda dengan jaminan social. Subsidi itu adalah kebijakan pemerintah yang mengintervensi hukum pasar.Contoh subsidi konsumsi BBM atau Listrik,angkutan. BIla pemerintah memberikan subsidi maka itu tidak hanya berlaku bagi orang miskin tapi juga berlaku bagi orang kaya. Subsidi berlaku bagi semua pihak. Karena memang tujuannya bukan untuk charity  tapi untuk mensiasati pasar agar terjadi pemerataan berkosumsi.Mengapa? Karena pemerintah belum mampu memastikan semua rakyat mampu berkosumsi. Dengan adanya subsidi maka semua rakyat punya kemampuan berkonsumsi sehingga produksi dapat diserap. Kebijakan ini seharusnya tidak permanen tapi sementara sampai sistem ekonomi bekerja efektif dimana semua orang punya kemampuan berkosumsi tanpa disubsidi. Sementara jaminan sosial sampai kapanpun harus tetap ada. Karena selagi dunia terkembang selalu ada orang miskin yang harus disantuni danitulah gunanya negara  mengurus mereka yang tak mampu.

Masalahnya kebijakan subsidi yang sudah berlangsung sejak era Soehato itu tidak berjalan seperti idealisme dari teori ekonomi Rostow, bahwa subsidi bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan pemerataan. Subsidi justru menciptakan distorsi pasar dan menjadi beban tetap APBN yang dari tahun ketahun mengrogoti daya tahan APBN untuk melaksanakan fungsi sosialnya. Sampai dengan era SBY, ruang fiscal yang merupakan kekuatan real pemerintah menggerakan sector real tinggal hanya 8%. Jumlahnya tidak cukup untuk membangun 50 KM jalan baru. Makanya selama Era reformasi (terakhir era SBY ) tidak ada waduk baru dibangun, tidak ada pelabuhan laut baru dibangun, tidak ada penambahan daya listrik secara significant.! Jumlah subsidi BBM dan sector lainnya yang mencapai kurang lebih 30% APBN habis begitu saja setiap tahun tanpa ada penambahan modal tetap negara. Ekonomi hanya di drive oleh 10 komoditas yang 90% dikuasai oleh  konglomerat,  yang  menguasai 60% kapitalisasi nasional, dengan sumbangan angkatan kerja hanya sebesar 10%. Sementara petani dan nelayan serta UKM yang menyumbang angkatan kerja nasional 90% tidak terjangkau oleh APBN untuk diurus karena ruang fiscal tidak cukup untuk membangun satu waduk baru. Jadi kebijakan subsidi sebetulnya adalah paradox, APBN meningkat berlipat tapi kemakmuran tidak tercipta, bukannya kemakmuran yang didapat tapi malah mendorong Negara terjebak hutang dan desifit primer. Ini harus dihentikan agar tidak terjadi paradox

Lantas bagaimana dengan orang miskin? Rakyat miskin tidak disubsidi. Di negara maju manapun orang miskin tidak disubsidi tapi disantuni dengan program jaminan social. Ini amanah UUD 45. Pemerintah mempunyai program Kartu Indonesia Pintar untuk menjamin anak yang tidak mampu mendapatkan santunan biaya pendidikan. Kartu Indonesia Sehat ( KIS) yang menjamin premi asuransi kesehatan bagi orang miskin. Ada Kartu Indonesia Sejahtera  ( KISs) sebagai dana jaring pengaman social bagi orang yang hidup dibawah garis kemiskinan. Juga ada program dana bantuan desa untuk menggerakan ekonomi desa. Ada juga program pengadaan sejuta rumah bagi kaum buruh  didaerah perkotaan yang tidak mampu membeli rumah. Lantas kemana dana subsidi yang tadi digunakan untuk konsumsi BBM dan lainnya itu ? dana itu dialihkan ke sector real. Kalau tadi dana subsidi ada di pos belanja rutin pada APBN, kini dana subsidi ada di pos fiskal. 60% dana fiskal digunakan untuk mendukung sektor pertanian dalam bentuk irigasi,waduk, pupuk dan sarana kerja. Agar petani berdaya dan kita swasembada pangan. Sisa dana fiskal digunakan untuk membangun infrastruktur ekonomi seperti jalan,pelabuhan, agar logistic system dapat efisien sehingga hasil produksi dapat murah sampai ditangan konsumen. Jadi kebijakan subsidi harga dan konsumsi sudah kita rasakan lebih dari 50 tahun dan kini saatnya kita kembali ke fitrah kita sebagai manusia (bukan Ubur ubur) ; Bekerja keras agar kita tidak menjadi beban negara dan kita bagian dari solusi memakmurkan bangsa lewat berbagi kepada yang tidak mampu.

Tuesday, March 31, 2015

Yang muda...

Mereka menembak mati Monginsidi di Pacinang, Makassar,  tanggal 5 September  1949.Ada yang mencatat bahwa beberapa menit sebelum dieksekusi, pemimpin gerilya yang ditakuti tentara pendudukan Belanda itu memberi maaf kepada regu serdadu yang bertugas menghabisi nyawanya. Mungkin saat itu ia menukil Injil Lukas yang merekam apa yang dikatakan Yesus di saat-saat penyaliban. Tapi mungkin juga ia – yang tak mau meminta grasi kepada pemerintahan kolonial — sudah lama menerima apa yang datang bersama zamannya. Dalam sepucuk surat untuk seorang gadis yang tinggal di Jakarta, Milly Ratulangi — sepucuk surat yang ditulisnya empat hari sebelum hukuman mati itu dijalaninya —  ia menggambarkan, dengan kalimat puitis yang menggetarkan, anak-anak muda zamannya “sebagai bunga yang sedang hendak mekar…digugurkan oleh angin yang keras”. Tentu ia berbicara tentang generasinya. Umur Robert Wolter Monginsidi baru 24 tahun. Seorang bekas gurunya, Sugardo, menuliskan kenangannya tentang Si “Woce” di majalah Mimbar Indonesia 17 September 1949, dan dari sana kita tahu ia terakhir bersekolah di Sekolah Pertama Nasional di Jalan Goa 56 – sekolah yang ditinggalkannya sejak Juli 1946.  Sejak itu ia menghilang. Sejak itu orang tahu, dan berbisik-bisik, ia ikut memimpin pasukan gerilya di daerah Polombangkeng, pusat yang dipilih para pejuang kemerdekaan untuk melawan pendudukan Belanda di Sulawesi Selatan. Pada suatu hari ia luka.  Pada suatu hari ia ditangkap.  Ia melarikan diri. Ketika ia ditangkap lagi, hukuman mati pun dijatuhkan oleh  “Raad van Justitie”. Empat bulan sebelum Kerajaan Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia yang telah dimaklumkan empat tahun sebelumnya, anak muda itu mati untuk Republik yang muda – untuk sebuah harapan yang belum punya kebimbangan. 

Ia memang bagian dari apa yang digambarkan sebagai “Revolusi Pemuda” oleh Benedict Anderson: babakan sejarah Indonesia ketika pemuda mengambil peran utama dan jadi mithos tersendiri. Ia termasuk sepucuk “bunga yang sedang hendak mekar, [yang] digugurkan oleh angin yang keras”.  Tapi “angin yang keras itu” membuat yang dilakukannya dikenang, sebab pahlawan lebih cepat mati ketimbang tindakannya. Sejarah selalu menyimpan sesuatu yang menakjubkan pada laku manusia. Penyair A.E. Housman pernah menulis sebuah sajak lain. Kali ini bukan untuk seorang anak muda yang tewas oleh senjata api,  melainkan untuk seorang atlit yang mati muda:  Dua baris yang selalu saya ingat dari To an Athlete Dying Young  adalah kalimat ini:

Smart lad, to slip betimes away
From fields where glory does not stay...

Sajak ini adalah sebuah tribut bagi sang atlit: ia anak pintar, smart lad, ia mati muda. Ia telah memenangi sebuah pertandingan, ia telah menerima tepuk tangan yang gemuruh, namanya telah jadi harum, dan pada saat itu ia pergi, meluputkan diri “dari medan di mana kejayaan tak bertahan”, from fields where glory does not last..   Seandainya ia hidup terus, akan ada atlit baru yang akan mengalahkannya dan mencopot kehormatannya sebagai sang johan.   Kini dalam kematian ia selamat. Ia tak lagi tergabung ke dalam mereka yang pernah jaya tapi “namanya mati sebelum orangnya”, “the name died before the man”. Tapi Housman tak seluruhnya benar.  Nama tak selamanya mati sebelum yang empunya.. Kejayaan tak selamanya gampang hilang. Harum nama Jesse Owens, pemenang empat medali emas di Olympiade Berlin, tetap tak pudar meskipun Michael Johnson tercatat lebih unggul dalam Olympiade Atlanta di tahun 1996 sebagai orang pertama dalam sejarah yang memenangi  lomba lari 400 dan 200 meter sekaligus.

Memang, seperti tulis Housman dalam sajaknya, silence sounds no worse than cheers diam yang menyertai mereka yang mati, sehabis “bumi menutup kuping”  —  tak lebih buruk ketimbang tempik sorak yang mengelu-elukan seorang juara yang hidup. Tapi itu karena di situ diam tak sendirian. Dalam kematian mereka yang telah melakukan sesuatu yang berarti,  diam adalah sebuah sikap hormat.  Tepuk tangan diberikan kepada sang hero — yang berubah, fana dan berdosa — tapi sikap hormat ditujukan buat  tindakan  yang heroik, dari mana inspirasi lahir dan tumbuh selama-lamanya. Pahlawan adalah sesuatu yang berlebih. Sebuah komunitas tak dikukuhkan orang-orang hebat seperti dia, melainkan oleh tindakan-tindakan hebat. Dengan kata lain: perbuatan baik.  Monginsidi kekal bukan sebagai tokoh luar biasa, tapi sebagai kesediaan untuk berkorban bagi sebuah harapan bersama. “Monginsidi”, dengan kata lain, jadi penanda sesuatu yang mengagumkan. The name does not die with the man. 

Juga Chairil Anwar.  Mungkin kebetulan, mungkin tidak, bahwa dialah yang menuliskan kalimatnya yang terkenal: “sekali berarti, sudah itu mati”. Ia menuliskan kata-kata  itu dalam sajak Diponegoro, tapi tentu ia tak bermaksud merekam sebuah kejadian sejarah. Kita tahu Diponegoro, yang lahir di tahun 1785.  memimpin perang perlawanan ketika ia telah berusia 40 hingga ia dikalahkan Belanda lima tahun kemudian. Kita memang bisa bayangkan maut hadir begitu rapat di sekitar sang pangeran di kancah perang abad ke-19 yang mengguncang kekuasaan Kompeni dan membawa korban 200.000 manusia itu. Namun kata-kata “sekali berarti (se)sudah itu mati”  — kalimat dramatik yang menunjukkan dekatnya jarak antara perbuatan yang berarti dan hidup yang berakhir – agaknya tak berlaku buat riwayat hidup Diponegoro.   Pemimpin perlawanan itu ditangkap dan dibuang ke Sulawesi dan baru wafat 25 tahun setelah itu. Ia sempat merampungkan otobiografinya dalam bentuk tembang. Usianya 70..

Mungkin ”sekali berarti, (se)-sidah itu mati”  lebih tepat buat Chairil Anwar sendiri. Ia meninggal pada usia  27 tahun. Ia tak memimpin gerilya dan ditembak mati regu eksekusi penguasa kolonial seperti Monginsidi. Tapi seperti anak muda yang aktif dalam perjuangan bersenjata di Polobangkeng itu  Chairil menimbulkan pertanyaan yang penting buat zaman ini: kenapa anak semuda itu bisa membuat sesuatu yang begitu berarti dan dikenang terus?  Karena “angin yang keras” tahun 1940-an? Hanya dengan beberapa belas sajak, Chairil telah mengubah seluruh paradigma puisi Indonesia. Sejak karya-karyanya terbit, tak ada  lagi penyair yang menulis seperti para sastrawan Pujanggga Baru di tahun 1930-an menulis.. Bagi saya sumbangannya bagi perombakan pandangan sastra dan dunia jauh lebih mendalam ketimbang sumbangan S. Takdir Alisyahbana, yang pernah mencemooh puisi Chairil sebagai “rujak” belaka: segar tapi tanpa gizi.

Persoalan yang hendak dibawakan pandangan Chairil justru: apa salahnya “segar”? Kenapa sesuatu harus dinilai dari segi ada atau tak ada “gizi”?  Tidakkah dalam “segar” ada sesuatu yang lebih berarti – yakni hasrat untuk membuat hidup tak hanya dibebani Sabda dan Guna?  Tidakkah dunia seharusnya selalu bagai ditemukan buat pertama kalinya, penuh kejutan yang menarik, seperti digambarkan Chairil dalam sajak pendek Malam di Pegunungan: sementara aku berpikir mencari jawab tentang sebab dan akibat, seorang “bocah cilik” menemui hidup dengan “main kejaran dengan bayangan.” Kiranya memang hanya si “bocah” – dan mereka yang masih punya ke-bocah-an dalam dirinya — yang tak takut untuk melakukan hal-hal yang ganjil; “main kejaran dengan bayangan”. Merekalah yang tahu akan sia-sia untuk berkejaran dengan hal-hal yang mustahil dikejar, tapi asyik. Mereka di luar batas.

Tak ada yang baru sebenarnya dalam soal ini – juga kecemasan orang tua dan para pendukung Sabda, Guna, dan Batas.  Kita sering mendengar orang menyebut Sturm und Drang  — yang berasal dari gerakan sastra Jerman abad ke-18, yang mengutamakan cetusan subyektif dan spontan dalam kreatifitas untuk melawan kekuasaan nalar dan pengagungan sikap beradab di masa itu – sebagai sebuah periode remaja.  Dengan kata lain, sesuatu yang sementara dan tak serius. Tapi kepada yang meremehkan yang muda itulah Werther, tokoh karya Goethe yang terkenal, Die Leiden des jungen Werthers (Kesedihan hati Werther Muda), membela diri: ia mengakui gairah dirinya selalu mendekati tarap tanpa nalar dan berlebihan, tapi ia tak malu. Ia percaya banyak prestasi besar dihasilkan mereka yang dianggap mabuk dan edan (Wahnsinnige) oleh dunia. Kreatifitas memang memerlukan gairah dan satu dosis keedanan – itu sebabnya prosesnya bisa tampak tak tetap, melimpah ruah,  penuh Sturm und Drang, deru dan desak,  yang menyebabkan puisi Chairil — yang ditulis di tahun 1940 ketika kekuasaan kolonial runtuh dan tentara pendudukan Jepang berakhir dan Indonesia baru berteriak sebagai bayi baru lahir – adalah bagian yang terkena “angin yang keras”. Ia melampaui tata yang mati, meninggalkan apa yang disebut Rendra sebagai “kebudayaan kasur tua”, mencetuskan imaji-imaji yang tak terkendali oleh adab, dan merupakan elan yang menjulang dan menghempas. Memang hanya yang muda yang tak gentar hidup dalam gelombang.

Yang menarik dalam surat-surat Kartini bukanlah cuma  isinya, melainkan juga gayanya. “Gelombang” adalah kiasan yang tepat untuk gaya itu. Bahasanya tak datar, seperti ombak dengan badai yang terkadang tak segera kelihatan.. Kita mendapatkan ekspresi hiperbolik di pelbagai sudut, terutama ketika ia dengan antusias melukiskan sesuatu atau menyanjung seseorang yang dicintai. Pelbagai kalimat seakan-akan harus berhenti dengan tanda seru. Beberapa tahun setelah ia menuliskan surat-suratnya yang kemudian termashur itu – cerminan rasa gelisah dan protes perempuan yang hidup dalam masyarakat aristokrat Jawa di akhir abad ke-19, observasi dan komentarnya tentang lingkungan kolonial yang timpang dan menekan, cita-cita pribadinya yang tak sampai — Kartini meninggal di tahun 1904. Umurnya baru 25. Ia meninggal sebagai seorang ibu.  Di akhir hidupnya yang pendek ia isteri kedua seorang bupati yang, betapapun terpelajar dan penuh kasih sayang kepadanya, tetap bagian yang jinak dari tata yang tertib. Maka kisah Kartini jadi penting bukan karena heroismenya, melainkan karena kegagalannya: dialah perempuan yang mencoba menunggang gelombang – khas suara generasi muda — tapi terjebak dalam palung ke-tua-an.  Dalam masyarakatnya, panutan adalah ingatan. Yang membentuk adalah pengulangan khasanah yang disusun generasi tua.  Tradisi menentukan hampir segalanya. 

Pandangan bahwa “tua itu baik” itu bahkan berlanjut sampai hari ini. Dalam nyanyian nasional yang memujanya, Kartini dipanggil “Ibu kita”, bukan “sang pelopor”.  Citranya tak lagi sebagai bagian dari sebuah pergerakan progresif, melainkan sebagai pengayom struktur yang konservatif.  Tak mengherankan bila Hari Kartini adalah hari ketika para perempuan berpakaian adat, bukan berpakaian pilot atau atlit angkat besi. Dalam hal itu, nasibnya lebih buruk ketimbang Monginsidi. Pemimpin perjuangan bersenjata itu berakhir dalam mati,  Kartini dalam “tua”. Betapa menyedihkan: ia tak tampak sebagai seorang atlit yang mati muda.  Simone de Beauvoir pernah mengatakan, lawan dari hidup bukanlah kematian, melainkan ketuaan.  Jika kita ingin mengenang Kartini dengan baik, kita harus mengenang tragedinya@

Friday, March 27, 2015

Isa Anshary...

ADA yang menyebutnya ”Napoleon”. Ia memang pendek, bulat, berkibar-kibar dalam tiap konfrontasi, tangkas, dan agresif. Kini tak banyak orang yang masih mengingat sosok dan namanya, tapi pada tahun 1950-an, Kiai Haji Isa Anshary, tokoh Partai Masyumi dari Jawa Barat itu, merupakan tonggak tersendiri di Indonesia: orang mengaguminya atau memandangnya dengan cemas. Terutama waku itu, ketika gagasan untuk mendirikan ”negara Islam” dipergulatkan dalam perdebatan politik dan persaingan yang terbuka. Pada tahun 1955, Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum pertama secara nasional. Para sejarawan mencatatnya sebagai ikhtiar besar pertama kita yang berhasil dalam kehidupan demokrasi, sebab tak tercatat kecurangan dan praktis tak terjadi kekerasan selama kompetisi politik itu berlangsung. Dari pemilihan 1955, ia dipilih jadi anggota Konstituante, dewan perwakilan yang bertugas merumuskan konstitusi. Ketika pada November 1956 sampai Juni 1959 perdebatan berlangsung—untuk menentukan manakah yang akan jadi dasar negara, Pancasila atau Islam—pelbagai argumen dikemukakan oleh masing-masing pendukungnya. Banyak yang cemerlang, banyak yang membosankan, tapi sedikit yang segalak pidato Isa Anshary dalam majelis yang bersidang di Bandung itu:

”Kalau saudara-saudara mengaku Islam, sembahyang secara Islam, puasa secara Islam, kawin secara Islam, mau mati secara Islam, saudara-saudara terimalah Islam sebagai Dasar Negara. [Tapi] kalau saudara-saudara menganggap bahwa Pancasila itu lebih baik dari Islam, lebih sempurna dari Islam, lebih universal dari Islam, kalau saudara-saudara berpendapat ajaran dan hukum Islam itu tidak dan tidak patut untuk dijadikan Dasar Negara… orang demikian itu murtadlah dia dari Agama, kembalilah menjadi kafir, haram je-nazahnya dikuburkan secara Islam, tidak halal baginya istri yang sudah dikawininya secara Islam….

Pidato itu, dicatat dalam salah satu dari 17 jilid Risalah Perundingan Tahun 1957, yang diterbitkan Sekretariat Konstituante—dan dikutip dalam buku Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia—sebenarnya tak menunjukkan perkembangan baru dalam sikap Isa Anshary. Sudah pada tahun 1951, dalam majalah Hikmah, ia menyatakan, ”Hanya orang yang sudah bejat moral, iman dan Islamnya, yang tidak menyetujui berdirinya Negara Islam Indonesia.” Tentu harus dicatat bahwa Isa Anshary, ”Napoleon” itu, tak memilih jalan perjuangan bersenjata untuk itu; ia dan partainya, Masyumi, membedakan diri dari cara Darul Islam yang pada masa itu bergerilya hendak merobohkan Republik dari hutan-hutan Jawa Barat. Namun mungkinkah sikap yang demikian mutlak—yang mengutuk siapa saja yang tak sependirian dengan kata ”murtad”, ”kafir”, atau setidaknya ”bejat moral”—pada akhirnya bisa menghindar dari kehendak menampik dan menyingkirkan secara mutlak pula?  Jarak antara kekerasan dan sikap yang tak mengizinkan perbedaan hanya terbentang beberapa senti—seperti terbukti dalam sejarah ketika dalil yang absolut dipergunakan dalam bertikai. Kita tahu, riwayat agama-agama tak bersih dari darah dan kebengisan. Tentu saja tak hanya agama: yang brutal terjadi tiap kali doktrin tergoda jadi totaliter, ketika ajaran dijejalkan ke segala pojok hidup dan lubuk jiwa, ketika para ahli agama—sebagaimana kaum ideolog—merasa diri jadi penyambung lidah Yang Maha Sempurna. Yang sering diabaikan ialah bahwa tiap godaan totaliter, yang bermula dari bayangan tentang kesempurnaan, selalu berakhir sia-sia. 

Bayangan tentang ”yang sempurna” ini—yang oleh para psikoanalis akan disebut sebagai fantasi—pada hakikatnya lahir dan tumbuh dari rasa risau tentang dunia yang apa boleh buat cacat. Ketika yang cacat tak kunjung dapat dihilangkan, doktrin pun membentuk diri dengan menciptakan apa saja yang harus dikutuk dan akhirnya dibinasakan: si ”bejat moral”, si ”fasik”, si ”murtad”, si ”kontrarevolusioner”, si ”revisionis”, ”si komunis”, ”si teroris”….Tapi kita tahu, daftar itu tak akan habis. Masyarakat yang total tak akan pernah tercapai. ”Negara Islam” telah dicoba dalam sejarah, tapi jawaban selalu hanya sebuah iktikad baik yang mencoba-coba.Sebenarnya Isa Anshary tahu, dunia tak akan bisa dibereskan sekali pukul dan buat selama-lamanya. Ia menganggap ”haram” pandangan Bung Karno yang melihat gotong-royong sebagai hakikat Pancasila. Sebab di sini, menurut dia, ”Tuhan yang Maha Esa” dilebur dalam kata ”gotong-royong”. Dengan kata lain, Tuhan yang Maha Sempurna tak sepatutnya dipertautkan dengan ikhtiar bersama manusia yang masing-masing terbatas dan daif dan cacat. Tapi jika demikian, bagaimana mungkin Tuhan diturunkan dari takhta kegaiban dan kesucian untuk mengurus kehidupan politik yang mau tak mau harus dikerjakan oleh tangan-tangan yang terbatas, terkadang cela?@

Thursday, March 26, 2015

Wahabi di Minang...

PERANG Padri tak dimulai dari titik nol. Sewaktu saya kecil, yang saya baca hanyalah cerita tentang Imam Bonjol yang melawan para pendukung adat yang dibela Belanda. Setelah mulai tua, saya baca kisah tentang Tuanku Nan Rinceh, yang kurus tapi dengan matamenyala bagai api. Ia muncul dalam arena konflik sosial yang melanda Minangkabau sejak awal abad ke 19. Ia muncul dan ia mengagetkan. Di daerahnya di Bukit Kamang yang tinggi, ia memaklumkan jihadnya seperti pedang berkilat. Merasa ia harus memberi contoh bagaimana ajaran agama mesti ditaati tanpa ditawar, konon ia membunuh saudara ibu kandungnya. Wanita itu seorang pengunyah tembakau. Masyarakat yang ingin ditegakkan Tuanku Nan Rinceh memang masyarakat yang ideal: tak ada orang menyabung ayam, minum tuak, atau mengisap candu. Tak ada orang memakan sirih. Pakaian putih-putih haru dikenakan, dan kaum pria haru mengikuti Nabi: membiarkan diri berjanggut. Wanita haru bertutup muka, tak boleh memakai perhiasan. Kain sutera harus dijauhi. Syariat Islam harus dijalankan, dan siapa yang tak taat dihukum.Memang, ada pengaruh gerakan Wahhabi, yang waktu itu sedang naik pasang di sekitar Mekkah, dalam semangat Tuanku Nan Rinceh itu. Lurus, sederhana, menuntut sikap yang serba murni. Tapi zaman tampaknya menghendaki semangat yang lempang dan puritan. Tuanku Nan Rinceh, mungkin “ekstrem”, bukan fenomena yang tersendiri.Tak berarti ada persekongkolan di mana mana. Sejarah umat Islam adalah sejarah tentang perbedaan-perbedaan, dan kita bisa sesat bila tak memandangnya secara demikian. 

Gerakan “pemurnian” di Bukit Kamang itu toh akhirnya bentrok dengan gerakan Islam di tempat lain. Khususnya dengan seruan “kembali ke syariat” yang sejak akhir 1700 dibawakan oleh Tuanku Nan Tua dari Kota Tua di wilayah Agam. Sengketa itu sengit. Setelah gagal mempertemukan pendapat dalam suatu pertemuan, Tuanku Nan Rinceh pun menarik garis Orang alim tua dari surau tarikat Syattariyah itu, Tuanku Nan Tua, yang mengutip pelbagai ayat Quran untuk menunjukkan bahwa Nabi pada dasarnya mengenggani kekerasan, kemudian dicemooh sebagai “Rahib Tua”. Muridnya, Jalaluddin, yang mendirikan dusun Muslim di Kota Lawas, dijuluki “Raja Kafir”. Lalu perang pun pecah selama enam tahun.Apa gerangan penyebabnya? Terbit sebuah hasil penelitian sejarah Sumatera Barat oleh Christine Dobbin, Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy, sebuah studi tentang masa riuh 1784-1847. Seperti tampak dari judulnya, Dobbin mencoba menunjukkan maraknya api keagamaan di Minangkabau itu sebagai jawaban sosial atas perubahan ekonomi yang terjadi, ketika perdagangan kopi untuk ekspor sedang menunggu. Ketika itulah orang-orang Minang, terutama dari daerah pebukitan, tempat kopi tumbuh mudah, menemukan dunia baru. Mereka hidup dari suatu proses jual-beli, yang jaringannya lebih luas ketimbang dusun sendiri – suatu jarimgan yang tentu saja impersonal. Adat setempat yang mengatur hubungan-hubungan lokal karena itu tak lagi memadai. Tak mengherankan bila para penghulu, yang lazim memecahkan sengketa sosial dengan memakai pedoman aturan setempat, jadi repot. Dalam keadaan sedemikian, ketika hukum tak lagi cukup, sementara perkara yang harus dihakimi bertambah rumit dan banyak, surau pun tampil sebagai alternatif. Hukum Islam, yang diturunkan di Mekkah di suatu masyarakat pedagang, memang memungkinkan itu: la tldak asmg dengan kasus-kasus yang muncul setelah kegiatan komersial berkembang cepat.

Tuanku Nan Tua sendiri bahkan ikut aktif dalam kegiatan itu – dan sukses. Suraunyapun giat menyerukan agar orang berpegang hukum Islam dalam menyelesaikan soal-soal perniagaan. Tak ayal, syekh dari surau Syattariyah ini pun dianggap pelindung para pedagang. Tapi dalam keadaan yang lebih makmur itu pula orang berkesempatan berfoya-foya. Hampir di tiap pasar orang mendirikan gelanggang sabung ayam, sementara tuak dan candu dengan leluasa diedarkan. Semua tingkah ini jadi tambah mencolok buruknya bagi orang ramai, ketika semangat pedagang hemat, bersahaja, ulet tengah berblak. Maka, terhadap kemaksiatan inilah surau-surau angkat suara – dan akhirnya angkat senjata.Kaum Padri, juga Tuanku Nan Rinceh, pada dasarnya meneruskan semangat itu. Dan dalam banyak hal mereka berhasil. Desa yang dibangun Haji Miskin pada tahun 1811, misalnya, di Air Terbit, di lereng Gunung Sago, adalah contoh desa yang teratur serta makmur. Bahkan orang Belanda juga mengakui hal itu. Namun, sayang, tak sepenuhnya masyarakat ideal yang dikehendaki bisa bertahan. Kaum Padri sendiri berubah. Di Pandai Sikat orang-orang desa mulai kembali makan sirih dan merokok, pakaian wanita tak jadi setertutup dahulu. Adat setempat tak begitu saja hilang, dan seperti halnya pihak lain, seperti halnya manusia sepanjang sejarah, kaum Padri pun akhirnya menerima kompromi. Kemurnian barangkali memang tak ditakdirkan untuk dunia yang tak kekal, tak tunggal, ini.

HAK istri.

  Ada   ponakan yang islamnya “agak laen” dengan saya. Dia datang ke saya minta advice menceraikan istrinya ? Apakah istri kamu selingkuh da...