Friday, May 01, 2009

Buruh

Buruh itu ada dimana mana. Bukan hanya di pabrik dan tambang tapi juga dipedesaan dan diperkebunan serta dijalanan. Yang tercatat sebagai buruh adalah mereka yang secara formal berhubungan dengan pengusaha. Sementara buruh informal jauh lebih besar jumlah dan berada disemua sudut kota dan desa. Mereka tak pernah diperhatikan secara formal dari explotaiasi karena mereka informal. Tapi nasib mereka tak jauh berbeda dengan nasip buruh formal yang sejak orde baru sampai era reformasi , selalu terexploitasi oleh kerakusan pemodal. Hidup bagi mereka bukanlah hak untuk bermartabat tapi sekedar menyambung hidup.

Setiap hari , setiap detik mereka kaum buruh menyaksikan hiruk pikuk roda mesin pabrik, roda buldeser membangun gedung, roda truk mengangkut hasil tambang dan hasil kebun,deru mesin bor menyedot Migas. Setiap hari mereka melihat kapal hilir mudik mengangkut hasil produk , hasil alam. Milliaran dollar nilai ekonomi berterbangan keluar negeri baik melalui laba konglomerasi asing maupun melalui APBN lewat pembayaran hutang.Semua itu mereka saksikan dalam keseharian harga yang terus melambung.. Sementara upah mereka tak pernah melebihi kecepatan naik barang/jasa atau laba para pengusaha.

Ketika dunia dilanda krisis maka kembali para buruh dijadikan strategi nasional untuk membujuk pengusaha tetap bertahan. Caranya , upah boleh dikurangi.Lantas kemana laba selama ini. Kemana pajak rakyat selama ini ? Mengapa begitu cepat kebijakan mengatasi krisisi dikeluarkan yang berkaitan dengan nasip para buruh. Ini tidak laini karena alasan klasik untuk mengurangi biaya produksi. Padahal ongkos buruh tak lebih 10% dari total biaya produksi.Sementara biaya lainnya jauh lebih besar. Apalagi yang berhubungan dengan tidak efisiennya insfrastruktur ekonomi dari system yang korup. Tapi ,lagi lagi pemerintah tidak melihat yang lain sebagai unsur biaya yang memberati pengusaha kecuali upah buruh.

Negeri ini adalah negeri kaum kuli.Begitu sejak jaman kolonialisme. Tak ada yang berbeda. Impilikasi kebijakan kolonialisme dengan kebijakan paska kemerdekaan tak jauh berbeda. Pembangunan ekonomi menempatkan rumah tangga sebagai sumber daya kekuatan ekonomi sebagai pembeli dan pekerja. Sebagai pembeli , mereka dipaksa untuk membelanjakan upahnya dengan harga tidak dikontrol pemerintah tapi upahnya tetap dikontrol. Inilah yang disebut dengan penjajahan baru secara sistematis.Lihatlah data dari bank dunia tahun 2008 bahwa angka kemiskinan menigkat menjadi 49,5 % atau separuh dari total populasi Indonesia atau 80% dari jumlah orang dewasa.

Sementara jumlah penganguran yang belum terserap sebagai kuli selalu besar peningkatannya dari tahun ketahun. Proporsi penganggur terdidik dari total angka pengangguran pada tahun 1994 tercatat sebesar 17 persen, menjadi 26 persen pada tahun 2004, dan kini pada tahun 2008 meningkat menjadi 50,3 persen. Artinya bahwa angka-angka yang dikeluarkan oleh pemerintah saat ini merupakan kebohongan publik dan semata-mata angka-angka politis demi menarik simpati masyarakat untuk pemilu 2009. Ini tidak termasuk pengangguran tak terdidik yang datanya jauh dari pencatatan formal.

Hari buruh sedunia selalu digelar dengan berbagai aksi dari kaum buruh. Agenda mereka tak lain agar pemerintah atau penguasa memberikan ruang bagi mereka untuk bermartabat dihadapan pemilik modal. Tapi setiap hari buruh, setiap kegiatan kaum buruh menuntut haknya, dicurigai oleh pemerintah pro demorkasi sebagai tindakan anti demokrasi. Tapi tindakan pemodal yang membuat system pasar modal hancur, Tindakan pengusaha yang ngemplang hutang bank dilindungi dengan berbagai kebijakan. Tindakan pengusaha yang merusak lingkungan , dibela. Semua kebijakan untuk pengusaha adalah keamanan untuk pemodal. Tapi kebijakan untuk buruh adalah penindasan. Tak pernah ada kebijakan yang seimbang dan adil. Sampai kapankah ?

Selamat hari buruh. Teruslah berjuang dan berdoa kepada Allah demi tegaknya keadilan bagi semua.Kemenganan akan tiba,disini atau di akhirat.

Friday, April 10, 2009

Jangan kecewa ?

Pemilu kali in berbicara tegas. Bahwa sosialisme telah kalah dinegeri ini. Agama dipinggirkan dan tak laku dijual diranah politik. Demokrat tetap unggul diatas kanvas bursa, pasar , serta dunia iklan. Ada yang mengharukan ketika sebagian berbicara tentang masa depan Indonesia yang penuh kekeluargaan dan gotong royong, kita memandang ruang kosong dimana singgah sebuah nostalgia : gema lagu “ padamu negeri, barisan buruh , tani, nelayan yang mengibarkan bendera dan menuntut hak, seperti dalam film documenter “rebut Irian “ , orang yang berkorban dalam komune bela negara. Kini semua itu tak lagi nampak dalam berita sehari hari. Heroisme punah. Solidaritas berkutat pada kekuatan modal dan media massa.

Ada yang ganjil rasanya. Dulu dilukiskan Bung Karno Indoesia kedepan adalah kejayaan nusantara. Hatta berteguh hati masa depan Indonesia adalah kemerdekaan ekonomi yang tidak berbaiat pada sosialis ,apalagi kapitalis. Kecuali namanya Ekonomi Pancasila. Adakah masa depan kini sebuah masa lampau ? Saya tidak tahu. Soekarno meninggal dalam keterasingan dengan ide idenya. Hatta meninggal dalam impiannya yang tak terwujud. Seakan kematian itu mencerminkan padadox pemikirannya. Soeharto ingin melanjutkan impian itu namun tersungkur oleh tesis kebingungan antara social dan kapitalis. Tak ada yang selesai. Semua masa lampau adalah kebingungan , hari kini kita masih tetap bingung.

Sebetulnya yang membingungkan adalah kebencian kita tentang tidak adanya keadilan ekonomi. Biang persoalan itu lebih disebabkan oleh kapitalisme yang tak pernah mati. Kapitalisme mencangkokkan dirinya ketubuh perawan, dan marak di koloni koloni kampus sekuler dan kaum elite partai. Kapital belum mati. Ia masih sibuk menghimpun lebih banyak capital lagi lewat cara cara lain ditengah keterpurukannya akibat ulahnya sendiri. Pemilu kali ini membuktikan bahwa Indonesia bukan Venezuela atau Bolivia. Disini darah revolusi telah habis. Semangat sudah layu. Yang tersisa adalah penyakit lama, berharap uluran tangan asing menyelesaikan masalah APBN. Selebihnya adalah kosong.

Padahal kalau kita diam sebentar dan menutup mata dengan semua tesis diluar. Maka kita akan bertemu dengan “subjectivitas”, pengembangan diri, dan menjadi bagaimana dirimu sendiri”. Dengan ringkas, sesuatu yang punya kemerdekaan buat tumbuh dan menjadi. Kapiltasime meringkus itu dan membuat manusia merasa dirinya hanya hadir diluar kerjanya, dan kerjanya…berada diluar dirinya. Proses aliensi itulah yang menyebabkan kerja dan rakyat lemah kehilangan martabat. Tapi bagi rakyat itu tak lagi dipikirkan. Mereka hanya tahu bahwa pemerintah yang kini berkuasa mampu membagikan uang tunai langsung. Itu lebih mengena daripada janji kedepan, apalagi mengangkat pemikiran masa lalu yang hanya ada dalam konsep tanpa ada bukti sejarah kemakmuran.

Pemilu telah terlaksana. Hasilnya untuk sementara pemerintah yang kini berkuasa menguasai mayoritas suara rakyat. Pemikiran tentang masa lalu terbukti tak laku dijual. Gema revolusi system ketinggalan jaman. Gema agama kehilang ruh. Lagi lagi, rakyat bersikap untuk tak mau lagi berpikir tentang masa depan. Siapapun yang bisa menawarkan sesuatu yang kongkrit masa kini maka dialah pemenang. Rakyat tak peduli bila semua itu didapat dari hutang luar negeri yang menjebak. Sumber daya alam yang tergadaikan kepada asing dengan segala jargon kapitalisme penghisap darah.

Pilihan rakyat adalah cermin realitas kita semua. bahwa tak ada lagi nostalgia , juga tak ada impian masa depan. Itulah harga dari demokrasi yang kita pilih. Jangan kecewa !

Saturday, April 04, 2009

Prabowo ?

Tak salah bila kita melihat kebelakang. Optimistis pernah ada dulu. Ketika era Soekarno, seorang sosialis berdiri tegak untuk lahirnya The new Emerging force. Dunia terkejut, Indonesia berteriak garang. Kekuatan Indonesia menyelimuti seluruh dunia. Setelah itu berbagai proyek berkelas nasional maupun internasional dibangun. Tapi tak ada sesungguhnya pembangunan karena semua itu dibayar melalui hutang luar negeri. Era Soeharto , era pembangunan untuk menuju lepas landas. Semua kekuatan politik dibungkam dan dipaksa untuk masuk dalam barisan sang jenderal. Projek bersala raksasa bertaburan diseluruh pelosok negeri namun lagi lagi semua itu dibayar dari hutang luar negeri. Tak ada sesungguhnya pembangunan kecuali melampiaskan syahwat penguasa un untuk dipuja.

2009 , pesimisme ada. Dimana gerangan harapan itu ? Sepuluh tahun lalu orang remai menangis haru didepan tv ketika mendengar Soeharto membacakan maklumat untuk mundur. Haru , karena sang dictator tua sudah lengser. Tentu ada cahaya terang menyelimuti negeri ini menuju hari esok yang lebih baik. Kita optimis. Ada kebebasan untuk sebuah kebersamaan dalam kesatuan. Melihat kebelakang adalah kebencian tersembunyi. Pancasila kita aminin namun tidak untuk diucapkan maupun dilaksanakan. Semua hal yang dulu dijadikan kekuatan oleh Soeharto adalah keterbelakangan yang tak perlu lagi diingat. Cukup sudah. Kini eranya reformasi. Maka demokrasi adalah keputusan yang benar.

Era reformasi mencatat dengan baik segala dosa masa lalu orde baru. Seminar dan tulisan seakan mengekalkan bahwa Orde Baru adalah order bau. Bau darah dan kekerasan. Kedepan adalah hari esok untuk meniru semua hal yang nampak baik dari Barat /AS. Para lulusan AS/Barat menjadi bintang panggung politik. Kata katanya didengar melebihi pituah sang kyai. Media massa mencatat semua dogma tentang semangat demokrasi karena laku dijual untuk orang ramai yang haus akan kebebasan. Tak jelas lagi apakah berita itu benar atau salah. Yang penting kebebasan adalah milik semua anak bangsa. Semua orang menjadi kolumnis dan analisis politik. Maka kebebasan menjadi penuh sang wasangka dan bertaburah disemua media massa.

Ditengah keasikan mencatat hal hal tentang Orde Bau dan The New Emerging Force, di Era Reformasi kita tersentak ketika pemujaan tentang demokrasi , tentang kebebasan, pada akhinya adalah kebebasan modal dan pasar,. Lambat namun pasti berbagai regulasi dilahir disenayan, dan semua mengarah kepada kebebasan , namun utamanya adalah kebebasan modal dan pasar. Ini resep ampuh untuk menarik dana investor asing masuk uintuk mengurasi harta negeri dan menjadi anak bangsa sebagai kuli dinegeri sendiri. Tak penting siapa memiliki apa , yang penting rakyat dapat bekerja sebagai kuli dan negara mendulang pajak dari itu semua. Maka neoliberal adalah bagian tak terpisahkan dari jargon era reformasi.

Kehebatan Era Reformasi adalah kehebatan media massa. Elite tidak perlu lagi datang menemui petani atau buruh untuk bicara tentang pembangunan. Semua cukup media massa menyampaikannya. Para elite gemar menggunakan data statistic untuk mengukur setiap indek prestasi fiscal dan moneter. Tak jelas apakah data itu benar atau salah. Angkapun bertaburan diberbagai seminar untuk bicara tentang solusi dan prestasi. Tapi rakyat tak juga paham bila pada akhirnya harga semakin mahal , penghasilan menurun dipangkas inflasi, dan..akhirnya tak ada lagi yang murah , apalagi gratis. Layanan public dan perusahaan public milik negara telah berganti baju menjadi perusahaan berbaju wall street. Antara yang membuat aturan, pengawasi dan pelaksana terjalin konspirasi efektif. Maka reformasi juga adalah distribusi kekuasaan secara systematis untuk melahirkan korupsi secara systematis pula tapi ini sudah menjadi pilihan dan hutang luar negeri bertambah dua kali lipat dari jumlah hutang Orde Baru yang berkuasa 32 tahun

Kini orangpun tersentak. Pesimis terjadi dimana mana ketika ditahun 2008 dimusin Panas kebanggan tentang AS/Barat luluh lantak. Wallstreet terjerambab dengan segudang skandal keuangan terbesar sepanjang sejarah. Lembaga keuangan ber Rating tinggi gagal bayar CDS, CDO, CMO. Para elite politik Barat/AS mulai berkata “‘ini semua akibat kebebasan pasar dan modal” . Merekapun mengakui bahwa biang dari persoalan itu semua karena konsep neoliberal yang dipaksakan hingga akibatnya tak ada lagi yang mengawasi. Semua baru menyadari bahwa demokrasi bukan lagi berarti kebebasan tapi adalah kepemimpinan yang tegas untuk menjaga aturan. Maka sosialis mendapatkan angin untuk berkata “ Kami benar “

Di tahun 2009, ditengah pesimisme , orang dikejutkan oleh tampilnya jenderal baret merah mencalonkan diri sebagai president, putra dari seorang sosialis dan berkarir cemerlang dibawah bayang bayang Soeharo, dan akhirnya terlempar ke luar lingkar kekuasaan oleh kasus yang tak selesai. Dia adalah Prabowo Subianto. Dia tak ingin bicara tentang sosialis , juga tak ingin berbaiat dengan kapitalis. Dia hanya berkata tentang “gotong royong dan kekeluargaan “ untuk lahirnya Indonesia yang perkasa bagaikan garuda membelah angkasa. Mungkinkah ini sebuah awal optimisme ditengah pesimisme akibat masa lalu yang selalu salah memilih ?

Wednesday, April 01, 2009

Data dan Demokrasi

Sang dictator berorasi didepan public. Orang mendengar , rasa takut menyelimuti untuk tidak siap mendengar. Walau sebetulnya tak ada yang patut didengar. Karena semua tahu bahwa tak ada kata sang dictator yang dapat dipercaya kecuali keculasannya , arogansinya. Sebab sang diktaror bicara tanpa data yang dapat dipercaya. Data bagi sang dictator tidak diperlukan kecuali kata kata dan ancaman. Kebencian kepada sang dictator lebih kepada keinginan untuk kebebasan. Dari kebebasan ini tentu akan lahir keterbukaan. Sehingga aspirasi kolektive terbangun untuk saling berbagi saran , juga koreksi. Maka lahirlah namanya demokrasi.

Para menteri dan pejabat di era demokrasi kini suka sekali berbicara tentang data dan informasi yang mereka kutip dari berbagai sumber. Kemudian dari data tersebut, mereka bicara tentang indeks pertumbuhan ekonomi, angka kemiskinan ,angka produksi, angka inflasi, dan lain sebagainya. Dari data inipun mereka bicara bahwa mereka berhasil atau kalaupun ada masalah merekapun berkeyakinan dapat mengatasinya karena lagi lagi didasarkan oleh data. Ketika mereka berbicara maka tak ubahnya sang dictator berbicara. Hanya bedanya sang dictator ditakuti karena suka memukul namun politisi democrat dicibirkan karena suka melawak lewat data dagelan.

Demorkasi adalah Keterbukaan ( disclose ) tentang data dan informasi. Tidak ada artinya sebuah keterbukaan bila data dan informasi tidak benar. Bagaimana suatu inisiatip lembaga demokrasi dapat menjawab segala tuntutan rakyat bila data dan informasi yang dipakai untuk mengambil kebijakan tidak akurat ? Diatas banyak symbol tentang berbagai hal yang bernama demokrasi tak lebih hanyalah bentuk lain untuk melegalkan dictator cara lama bila keinginan untuk membangun system data dan informasi tidak diterapkan secara tepat.

Komunitas dari petani, nelayan, pedagang, industriawan dan lain sebagainya bicara tentang demokrasi maka itu adalah keterbukaan segala hal yang berkaitan dengan lingkungan, kesehatan, pendidikan, resource , distribusi, produksi. Pertanahan, kependudukan, perburuhan/ketenaga-kerjaan dan moneter, fiscal, hukum. Semua program demokrasi soal pembangunan komunitas hanya mungkin bila didukung oleh system data center yang qualified and up date. Data dan informasi ini tidak hanya diperlukan untuk lahir berbagai program tapi juga sebagai alat interaksi untuk lahirnya pengendalian langsung antar rakyat dengan rakyat, antar pemerintah dengan rakyat,antar lembaga pemerintah.

Tak akan nampak sebuah idealisme tentang nilai nilai demokrasi bila data dan informasi tidak terbangun dalam sebuah system yang terintegrasi. Tidak akan ada sebuah kebijakan yang bisa dikatakan legitimate sesuai nilai demokrasi bila tidak didukung data dan informasi yang benar. Karena sekecil apapun data dan informasi tentang apa saja, harus menjadi bagian tak terabaikan dan menjadi amanah. Walau itu hanya sekian permil data dan informasi dari total data komunitas nasional. Setiap data adalah pesan yang sacral untuk diperhatikan , dipikirkan , dilaksanakan dengan berbagai kebijakan untuk rakyat.

Sejak awal reformasi , program e goverman sudah dicanangkan. Tujuannya adalah membangun data center nasional ( e-government ) yang terintegrasi dalam UU dan aturan disemua tingkatan pemerintahan ( multi sectoral). Dengan system ini maka siapapun, dimanapun, kapanpun, dapat mengakses data tersebut secara ontime, real time untuk lahirnya perencanaan , pengendalian, pelaksanaan yang accountability, legitimate lahir batin. Tapi sepuluh tahun berlalu , system ini tidak pernah terealisir. Kalaupun ada maka sifatnya tidak terintegrasi dan E governman hanya digunakan sebagai alat memudahkan kerja , bukan sebagai bagian dari sytem pengelolaan untuk lahirnya transparency .

Semua itu kita pahami karena sebuah bukti menjelang pemilu demokrasi bahwa Data Pemilih tidak akurat. Tidak ada satupun pihak yang dapat disalahkan. Lagi lagi itu membuktikan system demokrasi yang kini kita banggakan memang hanya sebuah symbol tanpa ada kemauan untuk lahirnya disclose ( keterbukaan) secara sytematis. Maka jangan pernah berharap akan ada nilai nilai demokrasi yang dapat kita hasilkan dan rasakan dalam pemilu , seperti menerima kalah secara terhormat; Nilai nilai persatuan terancam, kemarahan menanti, kekecewaan terhampar, semuanya karena yang kuat yang menang. Bukan kejujuran dan kebenaran yang menang. Mengerikan dan menyedihkan.

Tuesday, March 17, 2009

Cara yang benar

Sebentar lagi pemilu.Para menteri dan pejabat lainnya sudah pada sibuk menghadapi Pemilu.Soal urusan kerjaan sehari hari sebagai pejabat negara atau abdi negara tentu menjadi side activity. Mereka tidak lagi serius seperti awalnya terpilih sebagai pejabat negara. Kini masalahnya soal kalah atau menang maka kepentingan pribadi atau golongan harus lebih diutamakan. Tugas memang tidak diabaikan namun tidak lagi menjadi prioritas. Itulah kenyataan yang ada.

Saya tidak tahu apa yang ada didalam pikiran pejabat negara yang sedang sibuk ini.Saya hanya tahu bahwa negara ini dalam situasi yang genting oleh masalah perut jutaan rakyat, ditengah krisis global yang melanda. Ditengah ketidak berdayaan negara yang serba tergantung dengan bantuan luar negeri, sementara sumber bantuan semakin sulit dan mahal. Tapi tak nampak sebagai sesuatu yang is not usual. Kita hanya tahu hari hari kedepan akan ada pesta demokrasi terindah didunia,dimana puluhan partai dari berbagai golongan maju bersama sama memeriahkan pesta demokrasi. Pejabat kita boleh berbangga tetang sytem demokrasi yang hebat ini. Di forum international kita dipuja sebagai negara yang paling demokratis dibanding negara pengekspor paham demokratis itu sendiri.

Bagaimanapun system demokrasi sudah menjadi pilihan walau itu bukanlah pilihan yang seratus persen tepat. Bagaimana tidak ? Negeri ini memiliki populasi 242 juta orang dengan tingkat pertumbuhan penduduk rata rata 1,5% pertahun. Artinya setiap tahun ada jumlah penduduk baru yang muncul sebanyak 3.600.000 atau sepuluh kali penduduk Brunei atau sama dengan penduduk Singapore. Ini bukanlah jumlah yang sedikit. Karena para penduduk yang terus bertambah itu menuntut kesiapan dan kecepatan aparatur negara untuk mengambil keputusan dan berbuat untuk menyediakan segala sarana dan prasarana. Satu hari saja keputusan lambat diambil dan tidak ada tindakan maka , ketahuilah ada hampir 10.000 orang pendatang baru yang tidak siap dilindungi. ! apa jadinya bila itu terjadi berbulan bulan ?

Berjalannya waktu segala upaya pemerintah sebelumnya menjadi tak nampak karena jumlah penduduk yang begitu besar , yang tak sebanding dengan kekuatan kinerja pemerintah. Pemerintah mungkin sudah benar karena mengikuti system demokrasi yang sudah ada tapi system ini membuat banyak keputusan dan operasinal berjalan sangat lambat . Bahkan lebih lambat dibandingkan peningkatan jumlah penduduk. Maka jangan kaget bila program ideal yang digelar tak memberikan dampak luas bagi kesejahteraan rakyat. Semua yang dibangun menjadi tidak ada artinya , bahkan untuk memperbaikinya semakin sulit karena dorongan pertambahan penduduk yang juga berperan besar rusaknya lingkungan, moral dan budaya.

Keandaan lambatnya proses pengambilan keputusan dan operasional aparatur negara dapat dilihat dari rendahnya tingkat penyelesaian APBN ditangan Pimpro. Semua pihak dan elite politik tidak pernah melihat masalah ini sebagai suatu hal yeng mendasar sebagai akibat dari pemiskinan rakyat secara systematis. Apapun upaya tidak akan ada artinya, selagi selagi system tidak dirubah. Kita memang terbiasa melihat keluar yang baik bagi orang lain maka kita berharap baik pula bagi kita. Padahal tidak ada satupun system yang ideal bagi kesejahteraan rakyat kecuali mengikuti ketentuan yang sudah ditetapkan oleh Alquran dan Hadith.

Waktu terus berjalan dan kita terus bereksprimen ditengah situasi yang dinams untuk mencari cara yang terbaik tapi kita menutup diri dari kebenaran terbaik sebagai jalan yang benar. Allah telah memberikan cara itu lewat Al Quran dan Nabi , telah memberikan teladan bagaimana membangunn komunitas yang benar. Tapi, lagi lagi kita lupa. Makanya Allah berfirman “ Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. Ar-Ruum, 30:41).

Sunday, March 08, 2009

Kebebasan

“Hal yang esensi dalam perdamaian adalah derajat hidup individual yang pantas bagi pria maupun wanita semua bangsa. Kebebasan dari rasa takut berkaitan dengan kebebasan dari kekurangan. Orang yang hidup dalam kekurangan bukanlah orang yang bebas.” Kata kata ini disampaikan oleh President Rossevelt di tahun 1944 ketika menyatakan Piagam Hak Hak Ekonomi.

Hak Hak Ekonomi itu sekarang dipertanyakan oleh seluruh rakyat AS yang terancam kebebasannya karena krisis ekonomi yang parah di AS. Program Ekonomi yang dicanangkan oleh Obama justru memperparah ekonomi AS dengan ditandai jatuhnya Wall street. Berita CNN tadi malam mengatakan bahwa sudah diatas 12 juta orang kehilangan pekerjaan di AS. Yang lainnya yang belum kehilangan pekerjaan terancam kehilangan pekerjaan. Ada pertanyaan yang mengemuka oleh public AS , “ Apakah pekerjaan yang aman dari krisis dan karir apakah dimasa depan yang stabil.” Pemerintah Obama tidak bisa menjawab kecuali berkeyakinan bahwa We did the right thing !

Jargon demokrasi yang dimotori oleh AS adalah kebebasan individu. Jargon inilah yang dijual keseluruh dunia hingga membuat jatuhnya sosialis di Eropa Timur. Namun perjalanan waktu , AS sendiri kena boomerang dari jargon kebebasan itu.Karena kebebasan diartikan kebebasan kapitalis untuk bebas menentukan harga dan bebas membangun image lewat rating dan media massa. Hingga pemerintah kehilangan control terhadap hal yang essential untuk menciptakan komunitas yang kuat dan kemandirian.

Demokrasi bukanlah kebebasan yang kita maknai secara essential. Ia hanya ada untuk mengukuhkan kelembagaan yang hanya ada ketika PEMILU digelar. Untuk kemudian melahirkan segerombolan orang mengatur negeri ini tanpa hak kontrol langsung dari rakyat. Proses kontrol menjadi sangat birokratis hingga tak mampu ditembus oleh rakyat ditingkat komune terendah.Yang mencoba memaksa akan berhadapan dengan lembaga yang dihasilkan oleh sytem demokrasil. Polisi yang garang siap berbicara demi undang undang untuk menangkap siapa saja yang berani bicara diluar kuridor demokrasi.

Apakah kebebasan diartikan hanya untuk media massa bebas menyampaikan berita. Apakah kebebasan diartikan dalam hal berserikat untuk menyampaikan hak politik dan bikin partai politik ?. Apakah arti kebebasan hanya kebebasan berdemontrasi? Itukah nilai nilai demokrasi yang dibanggakan ? bila pada akhirnya rakyat gagal membangun komunitas yang kuat. Apakah arti kebebasan itu bila pada akhirnya rakyat hidup dalam kekurangan dan akhirnya tak lagi bebas mengakses modal yang semakin sulit, mengakses pasar yang semakin competitive, mengakses pendidikan yang terlanjur mahal, mengakses kesehatan yang mahal, mengakses tekhnologi yang semakin banyak dipatenkan, mengakses layanan social yang sudah diprivatisasi. Lantas dimana HAM yang kita perjuangkan ?

Padahal untuk terjaminnya kebebasan yang sejati ,kita tidak butuh demokrasi , sosialis atau kapitalis , kita butuh hak kesetaraan rakyat untuk mengorganisir dirinya yang secara otomatis mendapat dukungan active dari elite potitik formal. Contohnya bila ada pedagang kaki lima, tidak usah diusir tapi dibina dan dibantu mendapatkan kios yang murah. Kalau rakyat dapat hidup tenang dengan usaha kelontongan maka jangan izinkan pedagang besar hadir. Kalau ada rakyat mengusahakan tambang , maka jangan dilarang. Tapi dibina dengan memberikan izin dan tekhnologi serta permodalan yang pantas. Kalau ada rakyat tinggal dirumah kumuh maka jangan diusir demi keindahan kota tapi dibina untuk dimanusiakan demi kota yang manusiawi.Kalau ada perseteruan antara tuan tanah dengan rakyat penggarap maka belalah rakyat lemah itu karena itu yang mereka butuhkan.

Dan akhirnya kita hanya melihat sebuah lembaga yang berganti baju dari seragam militer menjadia jas berdasi. Reformasi ada tanpa menghasilkan apa apa. Mungkin benar kata Woodrow Wilson dalam Encyclopedia of Social Science bahwa Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang paling sulit.Padahal mengelola rakyat negeri ini tidaklah sulit. Karena rakyat negeri ini sangat kreatif menyelesaikan masalahnya sendiri dan tahu bagaimana mengorganisir dirinya untuk bertahan hidup. Yang diperlukan hanya kepeduliaan dan keberpihakan..itu saja.

Tuesday, March 03, 2009

Wajah

Didepan cermin kita melihat sang wajah kita sendiri. Tapi setiap orang melihat wajah orang lain dalam perspective berbeda beda. Ketika masih kanak kanak, saya meliat ibu seperti wajah sang pahlawan. Namun setelah dewasa , saya meliat ibu sebagai wajah ketulusan dan cinta kasih tak bertepi. Bagi orang lain melihat ibu saya sebagai wajah pekerja sosial yang setiap minggu mendatangi penjara dan rumah sakit untuk berdakwah. Tapi bagi penghuni penjara, ibu saya adalah wajah sejuk yang berbeda dengan wajah sipir penjara yang garang, atau berbeda dengan wajah rumah sakit yang memeras.

Apakah arti sebuah wajah ? wajah adalah sebuah tampilan yang bisa dilihat oleh semua orang. Lewat wajah kita bisa mengenang seseorang tentang kebaikan dan keburukan. Dua duanya dapat mempengaruhi kita. Itu sebabnya wajah begitu berartinya. Karena perkebangan zaman akhirnya wajah tak lagi sesungguhnya wajah.. Cermin tak lagi menjadi ukuran dari sang wajah. Salon kecantikan tak pernah sepi. Bukan hanya untuk kalangan wanita yang ingin mepercantik tampilan wajahnya tapi juga pria. Tujuannya tak lain agar menggoda Kita hidup terperangkap dalam komunikasi sang wajah. Semakin banyak tampil dan diliat lewat poster dan iklan tv, sang wajah akan diingat sesuai kreasi yang diinginkan. Tak peduli bila wajah itu hasil dari create liptik semata , yang segera dapat dihapus.

Sebuah politik berperan mengatur tampilan sebuah wajah pemerintahan.Dimata keluarga Bakrie , pemerintah adalah wajah sang protector yang setia. Bagi rakyat yang terkena korban Lapindo, pemerintah adalah wajah orang sakit mental. Ditangan pengemplang BLBI wajah pemerintah bagaikan wanita cantik yang harus dibelai dan dicintai dengan segala pengorbanan. Dibenci tapi dirindu. Jinak jinak merpati. Wajah sang binal yang menggemaskan diruang remang remang. Bagi pengusaha perikanan besar dan kapal besar bermitra dengan asing, pemerintah adalah wajah malaikat pembawa rezeki siang dan malam, Tapi bagi nelayan, pemerintah adalah wajah yang tak berupa,yang hanya dapat didengar tapi tak nampak. Bagi pengusaha yang mendapatkan konsesi bisnis import bibit, pupuk, pestisida , wajah pemerintah adalah keperkasaan dan kebijakan. Tapi bagi petani , wajah pemerintah nampak bagaikan lukisan abstrak penuh warna darah.

Ketika kita melihat dan mengakui sebuah system lahir dari ruang AC digedung parlemen, kita dihadapkan pada design sang wajah itu sendiri. Bentuk dan ukuran serta tatariasnya adalah cetakan untuk memastikan orang melihat yang sama , dari sudut manapun. Suka tidak suka , terimalah wajah itu dalam keseharian kita. “ Tak ada wajah yang sempurna dan memuaskan semua orang “ begitu philosophy nya. Semua boleh berbeda tapi sang wajah tetaplah sang wajah bila itu lahir dari gedung parlemen. Kini dan hari hari berikutnya kita menyaksikan begitu banyak orang tampil untuk berbicara dan bicara. Mereka ada karena sebuah system demokrasi untuk melahirkan wajah baru republic ini kedepan.

Lantas wajah apakah yang mereka tawarkan untuk kita nikmati, kita pandangi? Bila kita semua tahu bahwa begitu banyak wajah pemerintahan bertopengkan malaikat pemberi dan pelindung seperti halnya sosialisme namun pada akhirnya itu hanya topeng untuk menutupi wajah sang monster dictator untuk mengangkangi hak rakyat. Ada juga yang bertopengkan kebebasan individu , kesetaraan , kedamaian, bagaikan peri keadilan namun sebetulnya menutupi sang wajah kapitalis drakula yang gemar menghisap darah rakyat lewat harga, oligopoly, kartel , privatisasi layanan public. Dari topeng topeng ini, kita mendengar banyak retorika tentang keadilan, kesetaraan , tapi sebetulnya tak ada yang baru kecuali lipstiknya.

Negara adalah cermin yang selalu bersih bagaikan wajah ibu , yang memancarkan sinar terang. Tempat kita berkumpul untuk bersyariah demi tegaknya keadilan dan kemakmuran bagi siapa saja. Tempat yang teduh untuk kita tidur lelap dalam mimpi indah. Tapi ketika kita terjaga semuanya berbeda. Bukan salah bunda mengandung buruk suratan tangan sendiri. Bagaimana wajah pemerintah kita, berpulang kepada kita semua. Jangan salahkan negara atau jangan ada buruk wajah cermin dibelah.

Pemerintah Suriah jatuh.

  Sebelum tahun 2010, kurs pound Syuriah (SYP) 50/1 USD. Produksi minyak 400.000 barel/hari. Sejak tahun 2011 Suriah dilanda konflik dalam n...