Kebijakan yang dipaksakan.
Kalau anda mempelajari tekhnik diplomasi dalam bahasa yang terstruktur dan bersepktrum jauh ke depan, maka anda tidak akan menemukannya pada Trumps. Dia bertolak belakang dari kemapanan kaum intelektual. Coba perhatikan. Tanggal 20 Januari 2025 diumumkan tarif sebesar 25 persen kepada Kanada dan Meksiko. Menurutnya perjanjian sebelumnya tidak masuk akal. Padahal perjanjian perdagangan AS-Meksiko-Kanada (USMCA) itu dia tanda tangani sendiri lima tahun lalu.
Tarif diumumkan, kemudian ditunda, kemudian diberlakukan, kemudian dibatalkan sebagian lagi, kemudian dinaikkan apabila negara yang terkena dampak melakukan pembalasan, dan seterusnya. Tapi apa peduli Trumps. Walau banyak pernyataanya tidak masuk akal, tetapi terus-menerus diulang-ulangnya. Seperti katanya, tarif akan dibayarkan oleh pemerintah asing, bukan konsumen. Kan bego. Tarif itu pajak tidak langsung, yang bayar ya konsumen.
Seperti hal nya kemarin. Trump memberlakukan tarif resiprokal kepada negara mitra dagangnya, termasuk Indonesia. Berdasarkan data UN Comtrade Database, komoditas ekspor unggulan Indonesia ke Amerika meliputi produk-produk seperti mesin dan peralatan listrik, garmen, lemak dan minyak hewan atau nabati, alas kaki, dan produk hewan air. Penerapan tarif impor untuk Indonesia sebesar 32%, karena Indonesia dinilai menerapkan tarif impor 64% atas barang AS. Hitungan Itu termasuk "manipulasi mata uang" dan non tarif barier.
Negara berkembang seperti ASEAN, bisa saja mengubah tarif impor untuk produk AS agar dapat pengurangan tarif dari Trump. Tapi dampaknya kehilangan pajak sebagai trade off impor dari AS. Akan semakin sulit membiayai kemandirian industry. Bagi negara besar seperti India, China, Jepang, Eropa akan mengalihkan pasarnya ke selain AS dan sekaligus memperkuat pasar domestic. Walau memang dalam jangka pendek akan membantu mengurangi defisit perdagangan AS. Tetapi dalam jangka Panjang tidak. Justru konsumen AS dirugikan akibat kenaikan tarif impor dan mendorong inflasi.
Elon Musk dan DOGE lebih ngawur lagi. Lakukan efisiensi tapi pada waktu bersamaan berencana mengurangi pajak korporat agar terjadi relokasi industry ke AS. Ini justru akan memperburuk ketidakseimbangan fiskal. Trumps engga paham bahwa adanya defisit fiscal yang sudah mencapai 5,5% dari PDB itu karena ketidakseimbangan tabungan dan investasi. Sumber masalahnya adalah karena tructure cost ekonomi dan sosial sudah terlanjur mahal. Sulit bersaing secara global dalam perdagangan. Ya, kutukan sebagai negara kaya yang banyak gaya.
Harus dimaklumi bahwa AS menerapkan tarif resiprokal atas dasar situasi dan kondisi dimana AS perlu mengurangi kebijakan tarif impor rendah yang selama ini telah membuat banyak negara diuntungkan. Ya maklum ekonomi AS sedang suffering yang tidak mungkin terus jadi penyelamat ekonomi dunia. Sudah saatnya AS meminta bayaran seimbang, setidaknya dalam sekian decade kedepan mereka harus focus kepada ekonomi domestik.
Penetapan tarif yang subjectif
Menurut hitungan AS bahwa Indonesia yang mengenakan tarif 64% kepada barang impor AS. Maka dikenai tarif balasan setengahnya atau 32%. Yang jadi pertanyakan adalah bagaimana hitungannya sampai ketemu angka 64%? Padahal rata rata tarif impor barang dari AS hanya berkisar 4-5%. Katanya berdasarkan rumus : defisit perdagangan AS terhadap Indonesia dibagi dengan total ekspor Indonesia ke AS. Sepertinya cocok logi. Terkesan menyederhanakan.
Karena data rincian hitungan tarif kepada negara lain lebih jelas seperti China, tarif timbal balik 34%, di samping tarif eksisting 20%, sehingga totalnya menjadi 54%. Vietnam, Tarif Tambahan (Timbal Balik): 46%. Tarif Dasar: 10%. Total Tarif: 10% + 46% = 56%. Uni Eropa. Tarif Tambahan (Timbal Balik): 20%. Tarif Dasar: 10%. Total Tarif: 10% + 20% = 30%. Inggris, Australia, Brasil. Tarif Tambahan: 10%. Tarif Dasar: 10%. Total Tarif: 10% + 10% = 20%.
Kalau memperhatikan tarif pada China, Vietnam, dan Indonesia ada tambahan perhitungan yaitu terkait dengan manipulasi mata uang ( manipulate currency ). Memang sulit untuk tahu kebenaran data ini. Karena ini lebih kepada data intelligent currency. Dan AS punya kemampuan untuk tracking adanya manipulasi mata uang yang dilakukan satu negara.
Melemahkan mata uang dalam kondisi undervalue itu tindakan curang dalam perdagangan international. Bisa membuat produk jadi murah dan punya daya saing di pasar global, yang pada waktu bersamaan memproteksi pasar domestic dari arus barang impor. Jadi walau tarif impor barang dari AS hanya berkisar 4-6% namun kalau dihitung termasuk manipulasi mata uang, itu lebih 50% tarif nya.
Karena AS menganut system keuangan terbuka dan transfarance. Tidak mungkin melakukan manipulasi mata uang. Namun karena adanya manipulasi mata uang oleh mitra dagangnya, AS dirugikan dalam perdagangan international, dengan ditandai defisitnya neraca perdagangan. Bukan itu saja, akibat manipulasi mata uang, banyak pabrik di AS pindah ke China, Vietnam. Nah, perundingan dagang dengan AS, jadi tidak mudah, Karena ini sudah menyangkut idiologi atau politik.
Hambatan tataniaga ekspor dan impor.
AS memang mendorong terbentuknya WTO. Namun dalam prakteknya. Banyak negara hanya melaksanakan dari sisi formal WTO itu. Sementara hambatan non tarif terus aja terjadi. Udah lama AS ingatkan negara lain untuk konsisten menjaga kesepakatan WTO. Namun negara lain selalu berdalih dengan data formal. Dan AS punya bukti data intelligent pelanggaran tarif itu.
Indonesia impor jagung dan Kedelai dari AS. Tarip impor murah. Hanya 0%. Tapi AS tahu, procedure impor itu dengan system quota. Artinya pemerintah Indonesia memberikan konsesi monopoli kepada importir. Secara tak lengsung punya bargain position dalam negosiasi harga. Petani AS tentu dirugikan. Kalau dihitung dengan tarif barrier, itu lebih 50% AS dirugikan. Dan yang miris, negara Indonesai juga engga untung. Yang untung pengusaha rente.
Sama hal nya juga, kita impor shale gas dari AS. Lagi lagi procedure impor walau monopolisi Pertamina namun dibalik itu terjadi kartel. Walau Indonesia kenakan tarif 5% untuk impor namun karena adanya kartel, harga tidak bisa bargain. Eksportir AS dirugikan. Secara tidak langsung tarif jadinya bisa lebih tinggi diatas 30%. Lagi lagi yang untung bukan pemerintah, tetapi pengusaha atau oligarki doang.
Kita terus berupaya membuat lemah kurs IDR dengan RER dibawah 100. Tujuannya agar eksportir bergairah. Bagi AS itu dianggap pelanggaran WTO dan korup dalam mengelola kurs atau terkesan manipulasi. AS merasa dirugikan adanya moneter barrier itu dan itu berdampak sulitnya industry dalam negeri AS bersaing dengan produk impor.
China memang melakukan moneter barrier tetapi itu untuk kepentingan industry padat karya. Tapi kita? yang nikmati moneter barrier adalah eksportir tambang yang nilai tradable nya rendah. Sementara Industri padat karya, tidak tumbuh malah terjadi deindustriaisasi. BI juga tidak diuntungkan. Terbukti DHE masih banyak nangkring di luar negeri. Dan akhirnya kurs IDR loss control pelemahanya. Yang korban ya industry padat karya.
ASTRA memang produk indonesia. Namun AS tahu, pabrik itu hidup dari proteksi pemerintah sejak berdirinya. Nah saat Astra ekspor kendaraan ke AS, tentu harga nya bisa bersaing dengan produk buatan AS. Karena produsen mobil AS tidak dapat proteksi dari pemerintah. Nah sekarang kena tarif 32 % ayolah bisa engga bersaing ASTRA. Pasti keok, entar lagi kena PHK tuh buruhnya. Dan lagi selama ini yang kaya raya pemegang saham ASTRA. Negara hanya dapat secuil.
Dampak kepada perekonomian nasional dan Solusi
AS adalah tujuan eksport kedua terbesar setelah china. Produk ekspor sebagian besar adalah CPO , TPT dan alas kaki. Produk itu semua terkait dengan padat karya. Kenaikan akan membuat produk Indonesia yang masuk ke pasar menjadi lebih mahal, sehingga daya saing produk tersebut akan kalah bersaing dengan produk lain. Hal ini akan menyebabkan pembeli dari AS mengurangi pembelian atau beralih ke pemasok lain.
Nah kalau omzet turun tentu akan berdampak rasionalisasi, yang berpotensi menimbulkan badai PHK besar-besaran. Tentu akan berdampak serius terhadap IHSG.terutama emiten CPO, automative, TPT. Memang ekspor ke AS hanya 10% ( usd 26 miliar/usd 264 miliar) dari total ekspor Indonesia. Namun mengingat surplus neraca perdagangan kita juga 10% dari total ekspor. Tentu kenaikan tarif itu berdampak signifikan atas penerimaan devisa. Rupiah akan sulit stabil.
Penerimaan pajak juga akan turun. Defisit APBN akan melebar. Pertumbuhan ekonomi akan melambat, yang bisa saja terjadi dengan PMI kontraksi. Kalau premium CDS terus naik akibat defisit melebar, harga SBN jatuh dan yields terkerek naik. Resesi melanda tak terelakkan. Yang kemudian berujung kepada krisis hutang.
Mengapa pemerintah lambat bertindak konkret? Karena seperti kata pejabat china, ini bukan sekedar kenaikan tarif resiprokal tetapi lebih kepada politik , ya Amerika gunakan tarif sebagai kebijakan geopolitik nya. Nah sementara Indonesia sejak era Prabowo sudah menentukan pilihan politik luar negeri terkait dengan mengakui nine dash line LCS, masuk BRICS, dan menggunakan asean sebagai bargain dialog dan berbeda sikap atas penyelesaian Gaza. Bagi AS tidak ada lagi ruang negosiasi dengan Indonesia kecuali hanya basa basi diplomatik. Itu resiko yang harus kita terima sebagai konsekuensi pilihan politik luar negeri.
***
Bagaimana sikap Indonesia seharusnya terhdap AS. Tanya teman. Menurut saya, pertama kita tetap perbaiki tataniaga impor dan ekspor kita. Agar lebih fair dan transfarance. Udahan aja bisnis rente. Karena non tarif barrier itu hanya nguntungi pengusaha rente. Engga ada manfaatnya bagi negara. Contoh kita quota gula , kedelay, jagung, dengan harapan bisa melindungi petani local dan bisa mandiri. Nyatanya udah lebih 10 tahun bukannya mandiri malah terus tergantung impor.
Kita tetapkan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) dengan harapan bisa mendorong penggunaan produk dalam negeri dan mendukung pertumbuhan industri lokal. Nyatanya selama 10 tahun malah terjadi deindustrialisasai. Malah semakin membuat kita sulit menggandeng mitra atau vendor tekhnologi high tech yang diperlukan untuk kemajuan. Sebaiknya lepaskan aja TKDN itu.
Kedua, setelah kita perbaiki non tarif barrier, engga perlu negosiasi dengan AS. Karena memang tarif kita udah rendah banget terhadap barang AS, Kebetulan apa yang kita impor dari AS itu memang barang yang kita perlukan dan kita belum bisa buatnya lebih baik. Biarkan aja AS dengan tariff nya. Toh itu akan membebani dalam negeri AS sendiri.
Ketiga, kalaupun Indonesia masuk negosiasi dengan AS. Itu tidak akan mengubah apapun sikap AS kepada Indonesia. Teman saya di Vietnam beritahu. AS inginkan Vietnam meninggalkan semua kerjasama dengan China. Keluar dari BRICS dan batalkan SWAP currency settlement dengan China. Karena Vitnam keberatan usulan non tarif itu, maka usulan tarif 0% oleh Vietnam dibuang ke tong sampah oleh Trumps.
Apa iya Indonesia tega dan berani tinggalkan China. Kita punya hutang besar dengan China untuk pembangkit listrik, pelabuhan dan Kereta cepat. Investasi China di Indonesia juga besar, di nikel saja 90% adalah investasi China. Kalau kita paksakan, itu akan membuka masalah baru dan bisa jadi kena trap seperti presiden Ukraina yang disuruh perang dengan Rusia oleh AS. Setelah babak belur, AS minta agar Ukraina menyerahkan semua mineral tambang kritis kepada AS.. Kalau engga, AS tidak mau lagi memberikan bantuan uang untuk perang. Itu bisa saja terjadi pada Indonesia yang terprovokasi perang dengan China di LCS.
Jadi kita selow aja. Hubungan dengan AS anggap seperti biasa saja. Begitu juga dengan China. Biasa aja. Tapi kalau pro AS apakah PHK akan terhindar? Engga. Tetap aja terjadi PHK. Karena masalah struktur cost industry kita memang engga efisien. Benahi aja strucktur cost industry dengan deregulasi. Saya yakin, dengan tarif diatas 100% yang dikenakan Trumps kepada China, dan kita tetap netral. Bukan tidak mungkin banyak industry padat karya China yang relokasi ke Indonesia. Dan pasti pengusaha AS akan investasi di indonesia. Semua teman saja.